Pembuktian (hukum)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pembuktian adalah suatu bentuk uraian yang berkaitan dengan kebenaran suatu peristiwa, sehingga diperoleh status kebenaran yang dapat diterima akal[1]. Peristiwa merupakan proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan, ataupun dipertahankan dalam hukum acara yang berlaku. Adapun tujuan dari pembuktian ialah untuk mengambil keputusan yang bersifat defenitif, pasti, tidak meragukan, dan memiliki akibat hukum.[2]

Sedangkan Membuktikan adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan alat bukti. Alat bukti adalah sesuatu yang digunakan untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian.

Dalam hukum acara perdata. Sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RGB, alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata terdiri dari[3]:

  1. Surat
    1. Akta; dan
    2. Surat biasa
  2. Saksi-saksi
  3. Persangkaan
    1. Pasal 1915 KUHPerdata. Persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.[4]
      1. Persangkaan yang didasarkan atas undang-undang (praesumptiones juris) dan
      2. Persangkaan berdasarkan kenyataan (praesumptiones factie).
    2. Pasal 1916 KUHPerdata. Persangkaan yang berdasarkan undang-undang ialah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang, Persangkaan semacam itu antara lain adalah;
      1. perbuatan yang dinyatakan batak oleh undang-undang, karena perbuatan itu semata-mata semacam itu berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang;
      2. pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adamnya hak milik atau pembebasan utang dari keadaan tertentu;
      3. kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu putusan Hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti;
      4. kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau kepada sumpah salah-satu pihak.[4]
  4. Pengakuan; dan

Menurut KUH Perdata pasal 1926

Suatu pengakuan di hadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikanbahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Dengan alasan terselubung yang didasarkan atas kekeliruan-kekeliruan dalam menerapkan hukum, pengakuan tidak dapat dicabut.[4]

5. Sumpah

Menurut KUH Perdata Pasal 1940

Hakim, Karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ https://www.hukumonline.com/berita/a/pembuktian-alat-bukti-dalam-perkara-pidana-dan-perdata-lt62d51f4edb81b/
  2. ^ "Mengenal Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata". https://www.djkn.kemenkeu.go.id. Diakses tanggal 13 November 2023.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  3. ^ Ramlan, Prilia Geonestri (2022-06-30). "Mengenal Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata". Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Diakses tanggal 2023-11-13. 
  4. ^ a b c d Perdata, KUH. "Kitab Undang Undang Hukum Perdata" (PDF). Pengadilan Militer. Diakses tanggal 2023-11-18.