Pemanfaatan herpetofauna

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Definisi Herpetofauna[sunting | sunting sumber]

Herpetofauna merupakan salah satu kelompok satwa bertulang belakang yang terdiri dari kelas amfibi dan kelas reptilia. Kelas amfibi dan reptil diklaim mempunyai kesamaan pada habitat dan cara hidupnya. Herpetofauna merupakan kelompok satwa yang melata dan suhu tubuhnya bergantung pada suhu lingkungan sekitarnya atau disebut poikilotermik, vertebrata ini juga memiliki sistem metabolisme eksotermal (Hidayah 2018).[1] Herpetofauna memegang peran yang relatif penting pada ekosistem contohnya sebagai komponen rantai makanan yang berperan dalam menjaga kestabilan ekosistem (Cahyadi dan Arifin 2019).[2] Herpetofauna merupakan salah satu potensi keanekaragaman hayati hewani yang bisa dimanfaatkan secara luas, akan tetapi kebanyakan masyarakat belum begitu menyadari eksistensi dan manfaatnya.

Berdasarkan hasil penelitian Mardiastuti et al. (2020) [3],masyarakat lokal di Indonesia diketahui baru memanfaatkan 74 spesies herpetofauna yang terdiri atas 14 spesies amfibi dan 60 spesies reptil. Herpetofauna sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Contohnya pemanfaatan herpetofauna sebagai campuran dari bahan-bahan obat tradisional yang secara turun-temurun telah dipergunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Selain sebagai obat tradisional contoh pemanfaatan herpetofauna lainnya yaitu ular yang dimanfaatkan sebagai bahan percobaan medis (Situngkir 2009).[4] Sekresi kulit dari beberapa jenis amphibi juga dikembangkan sebagai antibiotika dan obat penghilang rasa sakit (Stebbins and Cohen 1995).[5] Beberapa masyarakat Indonesia juga memanfaatkan reptil dan amfibi untuk berbagai keperluan seperti ritual adat, kesehatan, budaya, konsumsi, dan lain sebagainya. Secara awam, pemanfaatan spesies herpetofauna oleh masyarakat lokal di Indonesia bisa dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu kesehatan, konsumsi, serta pemanfaatan lainnya.

Pemanfaatan Herpetofauna[sunting | sunting sumber]

Kesehatan[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan herpetofauna di bidang kesehatan telah banyak digunakan sejak zaman dahulu. Banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan herpetofauna sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit terutama masyarakat lokal. Beberapa masyarakat lokal yang memanfaatkan herpetofauna sebagai obat tradisional dan medis diantaranya Suku Jerieng di Kepulauan Bangka Belitung yang memanfaatkan ular sabek (Phyton reticulatus) sebagai obat untuk mengatasi sakit tulang, gatal-gatal, dan patah tulang (Nukraheni et al. 2019).[6] Contoh lain yakni masyarakat lokal Sumatera Barat yang memanfaatkan kadal kebun (Eutropis multifasciata) sebagai bahan utama ramuan obat tradisional (Hamdani et al. 2013).[7] Selain itu kadal kebun (Eutropis multifasciata) juga dimanfaatkan oleh masyarakat lokal cirebon sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit kulit seperti eksim, gatal-gatal, dan alergi (Rahma 2021).[8]

Bagian tubuh herpetofauna secara keseluruhan bisa dimanfaatkan, terkhusus sebagai obat tradisional maupun obat yang terbukti secara medis. Herpetofauna merupakan spesies yang bisa dimanfaatkan semua bagian tubuhnya seperti daging, telur, kulit, cangkang, minyak, serta empedu. Bagian-bagian tubuh herpetofauna tersebut dapat digunakan untuk berbagai penyakit diantaranya penyakit kulit, penyakit mata, demam, serta meningkatkan stamina (Mardiastuti et al. 2021).[9] Selain itu menurut Nukraheni et al. (2019)[6] feses pada ular sabak (Phyton reticulatus) dapat digunakan untuk mengobati luka.

Jenis-jenis herpetofauna yang sering digunakan sebagai obat tradisional maupun obat yang terbukti secara medis yaitu kodok (Bufo sp.) yang merupakan spesies amfibi. Khasiat dari jenis kodok (Bufo sp.) antara lain sebagai obat tradisional, obat penyakit kulit, obat neoplasma, obat penyakit seksualitas, dan obat penyakit sistem pernapasan, selain itu kulit amfibi telah teruji oleh farmakologi modern sebagai obat anti kanker, pembunuh rasa sakit, atau agen pencegah serangan virus HIV (Alves et al. 2013).[10] Kelas reptil yang banyak digunakan dalam bidang kesehatan yakni spesies ular seperti ular sendok jawa (Naja sputatrix) dan ular king kobra (Ophiophagus Hannah) yang banyak memiliki khasiat antara lain, obat penyakit kulit dan obat penyakit sistem peredaran darah (Mardiastuti et al. 2020). Contoh lain pada spesies reptil yang bisa dimanfaatkan dalam bidang kesehatan adalah jenis kadal contohnya spesies kadal kebun (Eutropis multifasciata) dan tokek rumah (Gekko gecko) yang memiliki khasiat antara lain sebagai obat penyakit kulit dan obat penyakit sistem pernapasan (Mardiastuti et al. 2020).[3]

Konsumsi[sunting | sunting sumber]

Selain di bidang kesehatan, beberapa wilayah di Indonesia juga memanfaatkan kelompok herpetofauna sebagai bahan konsumsi masyarakat setempat terutama sebagai sumber protein. Manusia memperoleh protein dari makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Protein yang berasal dari hewan tersebut disebut sebagai protein hewani. Protein hewani memiliki susunan asam amino yang sesuai untuk kebutuhan manusia. Fungsi dari protein berguna untuk perkembangan dan pembentukan otot, pembentukan sel-sel darah merah, pertahanan tubuh terhadap penyakit, enzim dan hormon, dan sintesis jaringan-jaringan tubuh lainnya. Protein yang dicerna kemudian menjadi asam-asam amino, selanjutnya dibentuk protein tubuh di dalam otot dan jaringan lain (Rismayanthi 2006).[11] Jenis amfibi merupakan salah satu yang dapat memberikan manfaat bagi manusia, seperti sebagai sumber protein hewani ataupun manfaat tak langsung sebagai bagian dari rantai makanan (Hamdani et al. 2013).[7]

Spesies herpetofauna yang dikonsumsi bertujuan untuk tambahan sumber protein hewani sehari-hari (Mardiastuti et al. 2020).[3] Banyak spesies herpetofauna yang bagian-bagian tubuhnya dapat dikonsumsi sebagai sumber pangan manusia. Terdapat empat jenis katak yang banyak diperjualbelikan untuk konsumsi di Indonesia, diantaranya jenis Fejervarya cancrivora, Fejervarya limnocharis, Limnonectes macrodon, dan Rana catesbeiana. Jenis-jenis yang ditangkap ini bervariasi tergantung pulau, meskipun ada kesamaan dari jenis yang dikonsumsi ini yaitu berukuran relatif besar dan memiliki kulit tanpa kelenjar racun (Kusrini 2007).[12] Beberapa produk makanan dari reptil banyak dijual seperti sate reptil, sop reptil, daging reptil goreng tepung, daging reptil goreng, dan abon reptil (Arisnagara 2009).[13]

Sementara itu, spesies reptil yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan berasal dari ordo Squamata, Testudines, dan Crocodilia dimana seluruhnya berjumlah 22 spesies. Ordo Squamata merupakan ordo yang paling banyak dijadikan sebagai sumber pangan di Indoneia. Ordo Squamata terbagi lagi menjadi dua sub-ordo, yaitu sub-ordo kadal (Lacertidae) dan ular (Serpentes) di mana spesies kadal lebih banyak dimanfaatkan dibandingkan spesies ular. Bagian tubuh reptil yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan yaitu daging yang berasal dari seluruh bagian tubuh seperti bagian kaki, dada, dan abdomen (Mardiastuti et al. 2020).[3] Contoh pemanfaatan herpetofauna di masyarakat yakni pada masyarakat Haya di daerah Papua yang membunuh buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae) untuk mengambil dan menjual kulitnya, serta dagingnya dijadikan sebagai bahan konsumsi masyarakat (Krey 2008).[14]

Budaya[sunting | sunting sumber]

Selain sebagai bahan obat dan bahan pangan, pemanfaatan herpetofauna juga dapat ditemukan di bidang budaya terutama dalam budaya masyarakat adat. Budaya merupakan salah satu aspek penting dalam masyarakat karena dalam budaya dapat memunculkan karakteristik atau ciri dari masyarakat tersebut. Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)[15] dapat diartikan sebagai adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang atau sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya juga sering dikaitkan dengan kepercayaan atau mitos yang biasa diturunkan oleh masyarakat dari generasi ke generasi selanjutnya.

Pemanfaatan herpetofauna dalam segi budaya dapat dikelompokan menjadi dua, yakni pemanfaatan untuk keperluan adat istiadat dan mitos (Mardiastuti et al. 2020).[3] Herpetofauna dalam adat istiadat biasanya digunakan sebagai alat ritual adat masyarakat setempat, sebagai jimat keberuntungan, sesajen, kesenian, dan lain sebagainya. Herpetofauna dalam mitos dianggap sebagai sesuatu yang sakral atau memiliki kekuatan supranatural yang dapat memengaruhi pemiliknya. Contoh pemanfaatan herpetofauna di dalam segi budaya yakni suku Yaur di Papua yang memanfaatkan gigi biawak sebagai kalung jimat yang memiliki fungsi sebagai penunjuk arah ketika tersesat di hutan dan sebagai pelindung diri dari kekuatan jahat, selain itu kulit biawak juga digunakan suku Yaur sebagai bahan membuat hiasan dinding dan tifa yang merupakan alat musik tradisional daerah Papua (Iyai et al. 2011).[16] Selain biawak, jenis herpetofauna yang juga dimanfaatkan dalam segi budaya adalah kodok atau katak, ular, cicak, dan jenis kura-kura. Masyarakat desa Gurung Mali, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat menganggap kodok yang masuk ke rumah masyarakat sebagai pertanda akan datang kesulitan keuangan bagi pemilik rumah dan dianggap sebagai pengingat agar masyarakat pintar dalam mengatur keuangannya (Dewin et al. 2017)[17].

Pemanfaatan ular dalam budaya contohnya di kampung Uling-Uling daerah Kalimantan yang mempercayai kekuatan magis ular kolar malaya (Calliophis bivirgata) atau lebih dikenal sebagai ular tanggal bajo. Ular tanggal bajo dipercaya masyarakat setempat sebagai pertanda buruk apabila memasuki rumah, selain itu ular ini juga dipercaya dapat digunakan sebagai pembuat teluh yang dapat mencelakai orang lain (Susandarini et al. 2012).[18] Kura-kura dalam mitos masyarakat Suku Anak Dalam, desa Lantak Seribu, kabupaten Merangin, Jambi dipercaya sebagai sebuah kutukan karena apabila kura-kura dikonsumsi laki-laki maka hidupnya akan susah untuk mendapat rezeki dan jodoh (Farida et al. 2014).[19]

Pemanfaatan cicak dalam segi budaya contohnya adalah pemanfaatan cicak dalam budaya masyarakat Dayak, Jelai Hulu Embulu Lima, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Masyarakat setempat mempercayai cicak (Hemidactylus platyurus) yang jatuh ke tubuh seseorang sebagai pertanda akan datangnya kemalangan (Sunaryo et al. 2019).[20] Namun disisi lain, menurut masyarakat Dayak Bakati di Kabupaten Bengkayang cicak juga dianggap sebagai hewan mistis yang bisa mengusir setan dalam tubuh manusia (Rusmiati et al. 2018).[21]

Lain-lain[sunting | sunting sumber]

Bentuk pemanfaatan lain dari herpetofauna diantaranya adalah bidang ekowisata, ekonomi, dan sebagai hewan peliharaan. Kehidupan herpetofauna di alam yang sangat memikat dapat dijadikan sebagai daya tarik ekowisata. Berbagai aktivitas atau atraksi unik yang ditampakkan menjadikan hal tersebut dapat disajikan sebagai objek wisata dalam kemasan ekowisata kepada wisatawan. Bentuk ekowisata pada herpetofauna contohnya yaitu anura jantan yang kerap berkumpul membentuk “grup nyanyi” dengan suara bersahut-sahutan yang lantang dan menarik untuk didengar seolah-olah sebuah nyanyian yang memikat wisatawan. Selain itu, pemanfaatan herpetofauna dapat berupa cinderamata atau kerajinan tangan seperti gantungan kunci, patung dan boneka karena bentuknya yang unik sebagai buah tangan bagi wisatawan yang datang (Arista et al. 2017).[22] Ekowisata juga dapat menjadi alat pengembangan karena dapat memberikan manfaat untuk konservasi dan juga secara ekonomi (Riyanto et al. 2019).[23]

Secara ekonomi, beberapa herpetofauna dapat dijual sebagai hewan peliharaan, dijadikan sumber protein, dijadikan daya tarik wisata, dan bahan obat-obatan (Arista et al. 2017).[22] Herpetofauna yang tidak termasuk dalam spesies yang dilindungi dapat diperdagangkan baik di pasar domestik maupun internasional untuk mendorong roda perekonomian bagi masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tercatat 10 spesies herpetofauna yang memiliki nilai ekonomi, yaitu 3 spesies kadal, 3 spesies kura-kura, dan 1 spesies buaya. Herpetofauna akan diburu secara komersial kemudian diperdagangkan sebagai bahan sumber pangan, obat-obatan, satwa peliharaan, hingga souvenir. Sebagian spesies herpetofauna yang dimanfaatkan bagian tubuhnya untuk kegiatan ekonomi biasanya perlu melalui pengolahan terlebih dahulu, contohnya pada spesies reptil (Mardiastuti et al. 2020).[3]

Spesies reptil yang diperdagangkan umumnya akan diolah terlebih dahulu sebelum dijual ke masyarakat. Olahan bagian reptil yang diperdagangkan contohnya kulit buaya, kulit biawak, kulit ular sanca, dan penyu yang mempunyai nilai tambah jual produk sehingga dapat menarik minat pembeli. Selain diperdagangkan dalam bentuk olahan, spesies reptil juga dapat diperdagangkan secara utuh atau seluruh tubuhnya, contohnya seperti tokek dan ular king kobra (Mardiastuti et al. 2020).[3] Herpetofauna yang diperdagangkan biasanya dibawa oleh pedagang dalam keadaan hidup dan akan dipotong saat ada permintaan pembeli, seperti ke rumah makan atau ke pedagang kaki lima yang menjual hasil olahan labi-labi di Jakarta (Prastiwi et al. 2015).[24] Selain itu, terdapat jenis kura-kura yang diperdagangkan di pasar dalam negeri seperti Jakarta untuk konsumsi maupun hewan peliharaan (Purwantono et al. 2016).[25]

Herpetofauna juga dapat dijadikan sebagai hewan peliharaan (pet). Umumnya herpetofauna yang diminati oleh konsumen dalam negeri sebagai hewan peliharaan adalah jenis kura-kura seperti kura-kura brazil dan kura-kura leher ular rote yang diminati karena harganya yang relatif murah, mudah untuk dipelihara, serta menarik ketika masih anakan. Herpetofauna yang baik untuk dijadikan hewan peliharaan adalah hasil perkembangbiakan dari penangkaran yang sudah siap panen dalam waktu tertentu (Purwantono et al. 2016).[25] Herpetofauna yang dijadikan hewan peliharaan dianggap dapat menyelamatkan jenis terancam oleh para penghobi (Jayanto et al. 2014)[26].

Status Konservasi Satwa yang Dimanfaatkan[sunting | sunting sumber]

Manfaat Herpetofauna tersebut tentunya harus memperhatikan status dari setiap jenis herpetofauna dalam kegiatan pemanfaatannya, salah satu yang harus diperhatikan adalah status konservasi atau status perlindungan Herpetofauna tersebut. Sistem perlindungan jenis di Indonesia mengacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 1990 (UU No. 5/1990) tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya [27] yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 (PP No. 7/1999) tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar.[28] Lampiran PP No. 7/1999[28] mencakup daftar jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) yang dilindungi termasuk kelompok herpetofauna. Berdasarkan peraturan tersebut, satwa herpetofauna yang dilindungi hanya berjumlah 31 spesies dari kelas reptil sedangkan kelas amfibi belum ada yang termasuk satwa dilindungi. Kemudian peraturan tersebut diganti dan direvisi menjadi Peraturan Menteri LHK No. 20 Tahun 2018,[29] yang selanjutnya kembali direvisi lagi menjadi Peraturan Peraturan Menteri LHK No. 106 Tahun 2018. Peraturan Menteri LHK No. 106 Tahun 2018 mencantumkan 1 jenis amfibi dan 37 jenis reptil sebagai satwa yang dilindungi. Jenis-jenis dari kelas reptil terdiri dari 12 suku: Agamidae (1 jenis), Geoemydidae (3 jenis), Lanthanotidae (1 jenis), Carettochelyidae (1 jenis), Chelidae (2 jenis), Pythonidae (4 jenis), Testudinidae (1 jenis), Trionychidae (1 jenis), Cheloniidae (5 jenis), Crocodylidae (4 jenis), Dermochelyidae (1 jenis), dan Varanidae (13 jenis).[30]

Amfibi dan reptil di Indonesia juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan internasional dan domestik. Semua amfibi yang dimanfaatkan oleh masyarakat memiliki status konservasi yang rendah, artinya tidak ada spesies amfibi yang termasuk dalam kategori terancam punah berdasarkan daftar merah IUCN, dibatasi kuotanya dalam perdagangan internasional, atau dilindungi oleh negara, sedangkan sebagian jenis reptil telah termasuk satwa dilindungi atau dibatasi jumlahnya dalam perdagangan (Mardiastuti et al. 2020).[3] Jumlah amfibi dan reptil yang dimanfaatkan (diperdagangkan) diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No: SK.1/KSDAE/KKH/KSA.2/1/2020 tentang kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar.[31] Jika dilihat dari Keputusan Jenderal KSDAE terdapat 44 jenis reptil termasuk kategori CITES Apendiks II serta 131 jenis reptil dan 29 jenis amfibi termasuk kategori non Apendiks telah diatur kuota perdagangannya.

Menurut Mardiastuti et al. (2020),[3] spesies-spesies yang dimanfaatkan masyarakat lokal dengan status konservasi CR (Critically Endangered/Kritis) adalah baning coklat (Manouria emys), tuntong laut (Batagur borneoensis), dan kura-kura byuku (Orlitia borneensis). Satu spesies lain termasuk EN (Endangered/Genting) adalah penyu hijau (Chelonia mydas) sedangkan lima spesies yang dikategorikan sebagai spesies VU (Vulnerable/Rentan) diantaranya ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular sanca bodo (Python molurus), kura-kura tempurung datar (Notochelys platynota), bulus (Amyda cartilaginea) dan buaya sepit (Tomistoma schlegelii). Spesies reptil lainnya yang dikatakan tidak atau belum terancam kepunahan dapat dikategorikan sebagai NT (Near Threatened/Hampir Terancam) atau LC (Least Concern/Resiko Rendah). Jika dilihat dari status perdagangan internasional, spesies-spesies dengan status konservasi tinggi sudah dimasukkan dalam CITES Apendiks I, yang berarti tidak boleh diperdagangkan antar negara secara komersial, namun dalam praktiknya sering terjadi perdagangan ilegal. Oleh karena itu pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, serta meningkatkan pengetahuan tentang berbagai jenis satwa yang diperbolehkan atau dilarang perdagangannya, serta mendidik konsumen tentang dampak tingginya permintaan spesies-spesies dilindungi untuk dijadikan makanan, obat, maupun peliharaan (Natusch dan Lyons 2012).[32]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hidayah A. 2018. Keanekaragaman herpetofauna di kawasan wisata alam coban putri desa tlekung kecamatan junrejo batu jawa timur [skripsi]. Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
  2. ^ Cahyadi, Ganjar; Arifin, Umilaela (2019-11-29). "Potential and Challenges on Amphibians and Reptiles Research in West Java". Jurnal Biodjati. 4 (2): 149–162. doi:10.15575/biodjati.v4i2.4820. ISSN 2548-1606. 
  3. ^ a b c d e f g h i Mardiastuti A; Masy'ud B; Ginoga LN; Sastranegara H; Sutopo (2020). Pemanfaatan Herpetofauna oleh Masyarakat Lokal di Indonesia. Bogor: IPB Press. 
  4. ^ Situngkir, S. 2009. Perdagangan dan Pemanfaatan Ular Secara Tradisional di Wilayah Bogor [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
  5. ^ Stebbins, Robert C; Cohen, Nathan W. (1995). A Natural History of Amphibians. New Jersey: Princeton University Press. 
  6. ^ a b Nukraheni, Yola Nazelia; Afriansyah, Budi; Ihsan, Muhammad (2019-12-21). "The ethnozoology of Jering ethnic society in utilizing the animals for halal traditional medicine". Journal of Halal Product and Research. 2 (2): 60. doi:10.20473/jhpr.vol.2-issue.2.60-67. ISSN 2654-9778. 
  7. ^ a b Hamdani R; Tjong DH; Herwina H (2013). "Potensi Herpetofauna Dalam Pengobatan Tradisional Di Sumatera Barat". J Biologi Universitas Andalas. 2 (2): 110–117. 
  8. ^ Rahma, Siti (2021-10-26). "PEMANFAATAN KADAL (Eutropis multifasciata) SEBAGAI OBAT ALERGI GATAL OLEH MASYARAKAT SUMBER, KABUPATEN CIREBON". Bio-Lectura : Jurnal Pendidikan Biologi (dalam bahasa Inggris). 8 (2): 152–157. doi:10.31849/bl.v8i2.7920. ISSN 2598-2427. 
  9. ^ Mardiastuti, A; Masy’ud, B; Ginoga, L N; Sastranegara, H; Sutopo (2021-05-01). "Traditional uses of herpetofauna practiced by local people in the island of Sumatra, Indonesia: Implications for conservation". IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 762 (1): 012003. doi:10.1088/1755-1315/762/1/012003. ISSN 1755-1307. 
  10. ^ Alves, Rômulo Romeu Nóbrega; Vieira, Washington Luiz Silva; Santana, Gindomar Gomes; Vieira, Kleber Silva; Montenegro, Paulo Fernando Guedes Pereira (2013). Alves, Rômulo Romeu Nóbrega; Rosa, Ierecê Lucena, ed. Herpetofauna Used in Traditional Folk Medicine: Conservation Implications (dalam bahasa Inggris). Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 109–133. doi:10.1007/978-3-642-29026-8_7. ISBN 978-3-642-29025-1. PMC 7123210alt=Dapat diakses gratis. 
  11. ^ Rismayanthi, Cerika (2006). "KONSUMSI PROTEIN UNTUKPENINGKATAN PRESTASI". MEDIKORA (dalam bahasa Inggris). 11 (2). doi:10.21831/medikora.v11i2.4763. ISSN 2721-2823. 
  12. ^ Kusrini MD (2007). "Konservasi amfibi di Indonesia: masalah global dan tantangan". Media Konservasi. 7 (2): 89–95. 
  13. ^ Arisnagara F. 2009. Pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
  14. ^ Krey, Keliopas (2008-04-01). "HERPETOFAUNA DI HUTAN DATARAN RENDAH HAYA, MAMBERAMO, PAPUA". Jurnal Natural. 7 (1). doi:10.30862/jn.v7i1.675. ISSN 1412-1328. 
  15. ^ KBBI https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/budaya. Diakses tanggal 2 September 2021.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  16. ^ Iyai, Deny A; Murwanto, A. Gatot; Killian, A. M. (2011). "Hunting and Ethnozoology Systems of Monitor Lizards (Fam. Varanidae) Utilized by Yaur Tribe at National Park of Cenderawasih Gulf". Biota. 16 (2): 278–286. 
  17. ^ Dewin, Veneranda Lusiana; Anwari, Sofwan; Prayogo, Hari (2017). [Kajian etnozoologi masyarakat Dayak Seberuang di desa Gurung Mali kecamatan Tempunak kabupaten Sintang "Kajian etnozoologi masyarakat Dayak Seberuang di desa Gurung Mali kecamatan Tempunak kabupaten Sintang"] Periksa nilai |url= (bantuan). Jurnal Hutan Lestari. 5 (4): 978–986. 
  18. ^ Susandarini, Ratna; Purnomo; Sancayaningsih, Retno Peni; Astuti, Inggit Puji; Sari, Rismita; Irawati; Yudha, Donan Satria; Eprilurahman, Rury; Trijoko (2012). Flora dan Fauna Kalimantan: Dokumentasi Hasil Tim Peneliti Ekspedisi Khatulistiwa (PDF). Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. ISBN 978-979-8969-08-9. 
  19. ^ Farida, Mutia Yuli; Jumari; Muhammad, Fuad (2014). "Etnozoologi Suku Anak Dalam (SAD) kampung Kebun Duren desa Lantak Seribu kecamatan Renah Pamenang kabupaten Merangin provinsi Jambi". Jurnal Biologi. 3 (1): 29–39. 
  20. ^ Sunaryo, Eko; Anwari, M. Sofwan; Yani, Ahmad (2019-10-04). "ETNOZOOLOGI MASYARAKAT DAYAK JELAI HULU EMBULU LIMA DI DESA MEKAR UTAMA KECAMATAN KENDAWANGAN KABUPATEN KETAPANG". JURNAL HUTAN LESTARI (dalam bahasa Inggris). 7 (3). doi:10.26418/jhl.v7i3.36436. ISSN 2776-1754. 
  21. ^ Rusmiati; Anwari, M. Sofwan; Tavita, Gusti Eva (2018). "Etnozoologi masyarakat Dayak Bakati di Desa Seluas Kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang". Jurnal Hutan Lestari. 6 (3): 594–604. 
  22. ^ a b Arista, Angga; Winarno, Gunardi Djoko; Hilmanto, Rudi (2017-10-13). "Keanekaragaman Jenis Amfibi untuk Mendukung Kegiatan Ekowisata di Desa Braja Harjosar Kabupaten Lampung Timur". Biosfera. 34 (3): 103. doi:10.20884/1.mib.2017.34.3.458. ISSN 2528-2050. 
  23. ^ Riyanto, Awal; Sulaeman, Taufan Nurzaman; Rachman, Nur; Chaidir, Diki Muhamad; Trilaksono, Wahyu; Farajallah, Achmad (2019-04-01). "Short Communication: Herpetofauna diversity, potential ecotourism in Mount Galunggung, West Java, Indonesia". Biodiversitas Journal of Biological Diversity. 20 (4): 1173–1179. doi:10.13057/biodiv/d200433. ISSN 2085-4722. 
  24. ^ Eko Prastiwi, Dhian; D. Kusrini, Mirza; Mardiastuti, Ani (2015). "PERDAGANGAN SUKU LABI-LABI (Tryionichidae) UNTUK KONSUMSI DI PROVINSI DKI JAKARTA". Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 12 (1): 75–87. doi:10.20886/jphka.2015.12.1.75-87. 
  25. ^ a b Purwantono, Purwantono; Dikari Kusrini, Mirza (2016). "Manajemen Penangkaran Empat Jenis Kura-Kura Peliharaan dan Konsumsi di Indonesia". Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 13 (2): 119–135. doi:10.20886/jphka.2016.13.2.119-135. 
  26. ^ Jayanto H; Cega GF; Tarekat AA; Damayanti M; Eprilurahman R (2014). "Survey paradigma masyarakat Yogyakarta terhadap keberadaan serta konservasi amfibi dan reptil". Indonesian Journal of Conservation. 3 (1): 26–31. 
  27. ^ [UU] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistemnya. 1990.
  28. ^ a b [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan Dan Satwa Liar. 1999.
  29. ^ [Permen LHK] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi. 2018.
  30. ^ Permen LHK] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindung. 2018.
  31. ^ Keputusan Direktur Jendral Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No : SK.1/KSDAE/KKH/KSA.2/1/2020 Tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar. 2020.
  32. ^ Natusch, Daniel J. D.; Lyons, Jessica A. (2012-10). "Exploited for pets: the harvest and trade of amphibians and reptiles from Indonesian New Guinea". Biodiversity and Conservation (dalam bahasa Inggris). 21 (11): 2899–2911. doi:10.1007/s10531-012-0345-8. ISSN 0960-3115.