Palangka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Palangka berarti tempat (wahana) yang suci menurut agama Kaharingan yang dianut oleh suku Dayak. Sedangkan dalam budaya Sunda dan Jawa, Palangka berarti batu datar tempat penobatan raja, yang biasa disebut Palangka Sriman Sriwacana alias Watu Gilang atau Watu Gigilang.[1][2]

Palangka Raya[sunting | sunting sumber]

Dengan dibentuknya Provinsi Kalimantan Tengah maka ditetapkan lokasinya di Pahandut. Guna mencari nama ibu kota provinsi tersebut, Gubernur RTA. Milono menugaskan Panitia yang sama dengan Panitia yang mencari dan merumuskan calon Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah untuk mencari nama bagi Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.

Panitia terus bekerja keras untuk mencari nama bagi ibu kota itu. Mereka mengumpulkan berbagai pendapat dari bermacam-macam kalangan antara lain pendapat/pandangan dari tokoh-tokoh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah seperti Damang H.S. Tundjan, Damang Saililah dan Tjilik Riwut termasuk saran dan pandangan dari Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah RTA. Milono.

Akhirnya, nama ibu kota itu berhasil disepakati dan disetujui sepenuhnya oleh Gubernur RTA. Milono dan kepastian tentang nama itu akan diumumkan sendiri oleh Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah. Demikianlah kurang lebih 4 bulan kemudian, dengan didahului upacara adat dari suku dayak yang bertempat dilapangan Bukit Ngalangkang, Pahandut pada tanggal 18 Mei 1957 diumumkan nama ibu kota provinsi Kalimantan Tengah. Gubernur RTA. Milono dalam pidatonya antara lain mengemukakan cita-cita dia bahwa untuk memberi nama Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah harus disesuaikan dengan jiwa pembangunan dan tujuan suci. Nama yang dipilih adalah PALANGKA RAYA.

Nama Kota Palangka Raya diambil dari istilah dalam agama leluhur suku Dayak yaitu agama Kaharingan yang berbahasa Sangiang. Dalam agama Kaharingan, dijelaskan bahwa manusia pertama kali diturunkan ke bumi oleh Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa) dengan menggunakan Palangka Bulau. "Palangka" berarti tempat yang suci, sedangkan "Bulau" berarti emas atau logam mulia. Kata "Palangka" inilah yang diambil kemudian ditambah dengan kata "Raya" yang berarti besar hingga akhirnya ditetapkan sebagai nama kota Palangka Raya. Dengan demikian, Palangka Raya berarti tempat suci dan mulia yang besar.

Gubernur berpesan “sesuaikanlah nama ini dengan cita-cita dilahirkannya Kalimantan Tengah”, lalu diingatkan oleh Gubernur Milono seraya mengungkapkan: “…. Kalimantan Tengah yang dilahirkan dalam suasana suci Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Paskah agar tetap memlihara kesucian dan kemuliaan ……. ” Demikianlah akhirnya Kota Palangka Raya menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah

Palangka Sriman Sriwacana[sunting | sunting sumber]

"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Artinya:

"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Berakhirnya zaman Pajajaran (1482 - 1579) ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:

"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Artinya:

"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Kata palangka secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti tahta. Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman

Sumber rujukan[sunting | sunting sumber]