Negeri ludai

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


HIKAYAT BERDIRINYA

NEGERI LOEDAI

A. Tigo Koto Di Batang Bio

Sungai Batang Bio adalah anak sungai Sibayang sebelah kanan, sepanjang aliran sungai Bio ini terdapat tiga negeri tua yaitu Negeri Koto Lamo, Negeri Ludai dan Negeri Pangkalan Kapas. Awalnya Batang Bio terdiri dari satu Negeri yakni negeri Ludai dengan tiga koto. Dalam Otok Cacae Adat dikatakan tentang Luwak Bio yakni “ Ikue Koto di Koto lamo, Kapalo Koto di Pangkalan Kape dan ibu Koto di Koto Ludai”.

Negeri-Negeri Luwak Batang Bio dikuasai oleh Datuk Nan Tigo Koto yakni Datuk Bandaro di Koto Lamo, Datuk Sutan Majolelo di Ludai dan Datuk Mangun di Pangkalan Kapas. Sementara penguasa Adat Negeri Ludai adalah Datuk Rajo Pengulu sebagai Pucuk Adat (Perdana Mentri) Negeri Ludai, sementara sebagai Penguasa (Rajo) Rantau Luwak Bio adalah Datuk Maharajo Besar Khalifah Van Ludai dari suku Malayu Koto Ludai.

Menurut sumber lisan dari para tetuo adat Luwak Ludai Perjalanan sejarah terbentuknya Negeri Negeri di Luwak Bio dimulai sekitar abad ke 14 Masehi. Disaat sumatera tengah dibawah kekuasaan Adityawarman dalam kerajaan Malayapura, Pada masa kekuasaan Kerajaan Malayupura adalah masa damai di Sumatera tengah, sebab dari abad ke 12-14 Sumatera tengah dilanda peperangan yang disebut Ekpedisi Pamalayu. Orang kampar Kiri menyebutnya masa peperangan dengan kaum gagak jawo. dalam masa perang itu bumi Pariangan (Gunung Ijau) dalah tempat bertahan dan berkumpul bagi penduduk Minangkabau di Sumatera Tengah. Masa Perang ini dimulai dari serangan Kaum gagak jawo kepada Kerajaan Kampar Kiri yang beribu Kota di Kuntu Kampar. Seraangan besar kaum Gagak jawo ini tidak dapat ditahan sehingga Puti Lindung Bulan bersama Rakyat Kampar Kiri berpindah ke Gunung Hijau untuk bertahan. Penguasaan Rantau kampar Kiri oleh tentara gagak jawo ini berlansung cukup lama dengan pusat pemerintahan di Pasir Amo (Gema )di Ujung Bukit.

Pada abad ke 14 masehi Penguasa Palembang bernama Sang Hiyang Sono Sri Patih Adityawarman merebut Rantau Kampar Kiri dan Sumatera tengah. Adityawarman ini memiliki ibu yang berasal dari keturunan Penguasa Adat di Kuntu bernama "Dagha Pitok". Keturunan Datuk Rajo Godang di Negeri Kuntu. Kekuasan Adityawarman ini di dukung oleh Ninik-mamak dan penghulu di Rantau Kampar Kiri. Adityawarman Dang Tuanku Raja Alam Minangkau ini akhirnya menikah dengan Puti Jailan di Negeri Pariangan semenjak itu Adityawarman di akui sebagai Raja Alam Minangkabau seluruhnya. Semenjak Adityawarman menguasai sumatera tengah kaum malayu minangkabau yang mengungsi kegunung hijau kembali kedaerah asal moyangnya masing-masing salah satunya Rantau Kampar Kiri di tepi Sungai Kampar. Pendirian kembali Negeri Ludai dimulai dari Peristiwa berpindahnya rombongan rombongan kaum malayu beserta clan-clan sukunya dari Gunung Hijau Pariangan. Penyebab dari perpindahan ini karena daerah Gunung Hijau Pariangan sudah sangat ramai penduduknya, sehingga sebagai penduduknya melakukan migrasi wilayah sebelah timur Gunung Hijau yakni ke Luwak Batang Bio.

Kaum yang pertama selakukan perjalanan Migrasi ketimur ini dari Pariangan Padang Panjang pada abad ke 14 masehi adalah Datuk Sayyi Penghulu dengan tiga orang adeknya yaitu Puti Sangko Bulan, Datuk Pandak Manogha dan Puti Taman Ijuk ( Pitopang Baompek). Rombongan klan Pitopang Jambak/Basah Negeri Pariangan ini menuruni Gunung Hijau sampai kehulu Air Hitam singgah di pangkalan Tuo (Pangkalan Kapas). Setelah sampai di pangkalan tuo maka dijumpai batu besar di pinggir sungai di Muara Air Hitam. Dibalik batu tersebut didengar ada suara manusia sedang bercakap-cakap , maka segera disapa dengan memperkenalkan diri dan maksud perjalanan. Kaum yang berhenti dibalik batu tersebut juga memperkenalkan diri bahwa mereka adalah Kaum Datuk Rajo Malano dan kaum Datuk Mangun yang berasal dari kaum Pitopang Jambak Gunung Hijau yang sedang mencari tanah peladangan juga.

Setelah saling memahami maksud dan tujuan dan hubungan kekerabatan maka Datuk Rajo Malano mengatakan bahwa rombongan dia akan berhenti membuat kampung di Muara Air Hitam sampai kehulu. Dan meminta Datuk Sayyi Penghulu dan rombongannya untuk membuka tanah ulayat pula dari Batu Gunjo kehilirnya. Maka Datuk Sayyi Penghulu beserta rombongan diantar oleh Datuk Mangun kehilir.Suangai.

Maka dari wilayah Batu Gunjo, Datuk Sayyi Penghulu menandai pula batas ulayatnya terus kehilir Batang Bio, sampai di Muara Sungai Ngungun, Datuk Sayyi Penghulu berjumpa Dengan Datuk Paduko Bosaegh (Besar) di Koto Landai/Koto Lamo, setelah berkenalan dan Datuk Paduko Besar mengatakan bahwa mereka juga dari Gunung Hijau. Maka dibuatlah perbatasan ulayat antara Datuk Sayyi Penghulu dan Datuk Paduko Bosegh, Sehingga batas sulayat awal di Batang Bio adalah terdiri dari tiga kabung Ulayat yaitu Ulayat Datuk Rajo Malano di Hulu, Ulayat Datuk Rajo Penghulu di tengah dan Ulayat Datuk Paduko besar di Hilir.

Pembagain Ulayat ini nantinya akan menjadikan Luwak Bio menjadi tiga koto yakni di hilir bediri Negeri Koto Lamo, Di tengah bediri negeri Koto Loedai dan di hulu berdiri negeri Koto Pangkalan Kapas. Masing-masing datuk penguasa Ulayat tersebut mencari kawan dan saudara untuk diajak menetap bersama di Koto masing- masing sehingga Ramailah masing-masing koto tersebut, setelah masing-masing koto di huni oleh minimal empat Suku “ Elok negeri empat Suku”.

Setelah mentap di Batang Bio, Datuk Rajo penghulu padawalnya menetap sebuah kampaung yang bernama "Koto Onda" atau Koto rendah yang terletak lebih kurang 5 Km di Hilir Koto Ludai sekarang. Disebabkan Koto ini rendah maka sering ditimpah musibah banjir. oleh sebab itu datuk Rajo penghulu memimpin kaumnya untuk mencari tempat pemukiman baru, maka dijumpailah sebuah bekas negeri tuo yang telah lama ditinggalkan penduduknya yag mengungsi pada masa perang dengan gagak jawo dahulu namanya Negeri Malako Kociek. Negeri Malako Kociek yang sudah tinggal tersebut akhirnya dihuni oleh kaum Datuk rajo penghulu beserta kaumnya dari suku Pitopang Basa dan Domo nan oso (Piliang darat).

Negeri Malako Kociek ini terletak di tempat yang agak tinggi, sehingga jarang tertimpah banjir dari luapan sungai Batang Bio. ditepi sungai tersebut tumbuh pohon kayu Ludai yang besar-besar dan pohon kayu Ludai tersebut dijadikan dermaga tempat menambatkan perahu oleh kaum Datuk Rajo Penghulu.Lama-kelamaan Nama Pohon Kayu Ludai ini menjadi nama Kampuang tersebut yakni Negeri Ludai menggantikan nama Malako Kociek.

Negeri Ludai ini berkembang pesat dimana Datuk Rajo Penghulu berhasil menghimpun beberapa suku untuk tinggal bersama di Koto Ludai, yakni Suku Piliang Bawuo dari Sitingkai dan Suku Malayu Dari talawi berhasil di ajak untuk menetap di Koto Ludai, sebab suku ini memiliki anak buah suku yang banyak, kedatangan suku Piliang Bawuo dan Suku Malayu ini membuat Koto Ludai menjadi Koto yang ramai penduduknya.

Setelah masing – masing Koto dihuni oleh empat suku, maka pembagian ulayat di masing masing negeri menjadi sejarah adat pula bagi negeri masing-masing. Secara umum ulayat Sungai Batang Bio dibagi menjadi dua yaitu Ulayat sebelah Kanan untuk Soko Pesukuan Datuk Pucuk Rantau dan sebelah kiri mudik untuk Soko Pasukuan Datuk Pucuk Negeri, sehingga Pemukinan Penduduk atau Koto dibatang bio terletak di sebelah kiri mudik.

Berbeda halnya dengan Ulayat Loedai yang berbatasan dengan Ulayat IV Koto Sitingkai di Sungai Batang Kotua Muara Selaya. Dimana ulayat ini adalah milik soko pasukuan Datuk Gomuok Hitam Lidah dari suku Piliang Bawuo Koto Ludai.

B. Lahirnya Kekhalifaan Loedai

Pada sekitar abad ke 16 masehi, menghilir di sungai Batang Bio satu rombongan anak Raja Pagaruyung dari Gunung Hijau Negeri Talawi, rombongan ini dikepalai oleh Datuk Penghulu Antau. Setelah sampai di Koto Loedai rombongan ini diminta berhenti oleh Datuk Khalifah penguasa Negeri Loedai yakni Datuk Raja Penghulu. Maksud Datuk Raja Penghulu ialah meminta Anak raja ini untuk menetap di Negeri Loedai sebab di Koto Loedai masih terdiri dari tiga suku yakni suku Pitopang, Suku Piliang Bawuo dan Suku Piliang Bukit.

Setelah niat ini disampaikan Rombongan Datuk Penghulu Antau menolak, karena maksud kedatangan mereka ialah hendak menuju negeri Gunung Sailan. Sebab Raja Gunung Sailan adalah Adik mereka satu ayah lain Ibu. Setelah menolak rombongan ini melanjutkan perjalanan, sampai di Muara Sidu perahu mereka terbalik/karam. Mendengar kabar ini Datuk Raja Penghulu segera menjemput mereka kembali dan menawarkan untuk tinggal di Koto Loedai saja, tidak usah ke Gunung Sailan.

Melihat kesungguhan Datuk Rajo Penghulu, maka Datuk Penghulu Antau mengajukan beberapa syarat :

1. Mereka besedia Tinggal jika diangkat menjadi Raja di Luwak Bio (Khalifah), sebab di Pagaruyung mereka adalah anak-anak raja.

2. Mereka meminta diberikan tempat tinggal di kepala Koto Loedai sebab di Pagaruyung mereka adalah Suku Melayu Palokoto.

Setelah kedua pintak dan pinto ini dikabulkan maka menetaplah rombongan anak raja tersebut di Koto Loedai diberi nama Suku Malayu Palokoto dan Kemudian Datuk penghulu Rantau diangkat menjadi Raja Luwak Bio dengan gelar DATUK MAHARAJA BESAR, mengantikan Datuk Rajo Penghulu. Kemudian oleh adiknya Raja Gunung Sailan, Datuk Maharaja Besar ini diangkat menjadi Khalifah Luwak Bio dengan gelar Datuk Maharaja Besar Khalifah Van Loedai. Transisi damai ini akhirnya menjadikan Keturunan Puti Bijo sebagai Khalifah Luwak Bio secara turun-temurun sampai sekarang, sedangkan Keturunan Puti Sangko Bulan diberi posisi baru sebagai Pucuk Adat negeri Ludai dengan gelar adalah Datuk Rajo Penghulu dan Datuk Rajo Menanti. Posisi Datuk Rajo Penghulu adalah Perdana mentri bagi Negeri Ludai yang memegang kekuasaan pemerintahan adat sehari-hari,sedangkan Datuk Marajo Besar Khalifah Ludai adalah Raja Negeri Ludai sekaligus sebagai Khalifah Raja Gunung Sailan yang mengurus Rantau.

C. Tapal Batas Ulayat Tigo Koto

“ Air Nan Bakacucuran Jo Tanah Nan Bakatalerengan”

Sebelah Kiri Mudik Batang Bio ( Ulayat Datuk Pucuk Negeri )

Ulayat Batuk Bandaro (Pitopang Koto lamo) Dari Muara Bio Kiri sampai Muara Ngungun

Ulayat Datuk Rajo Penghulu (Pitopang Koto Ludai) Dari Muara Ngungun sampai Muara air Hitam

Ulayat Datuk Mangun (Pitopang Pangkalan kape) Dari Muara Air Hitam sampai ke Hulu

.

Sebelah Kanan Mudik Batang Bio ( Ulayat Datuk Pucuk Antau)

Ulayat Paduko Bosaegh ( Malayu Koto Lamo): Batu Ayo mudik Batu Tangguak Muara Bio sampai ka Muagho Manadar sebelah Kanan Batang Bio

Ulayat Datuk Bijo Ludai ( Malayu Koto Lodai)Dari Muara Mandar sampai ke Pontian Mpuyan

Ulayat Datuk Majo Indo ( Pangkalan kape )Dari Muara Lipai sampai ka Batu Sambuik

Ulayat datuk Rajo Malano ( Malayu Pangkalan) Dari Batu sambuik sampai ke hulu batang Lipai sebelah kanan

Batas Ulayat Khalifah Ludai di atas Bukit

Dari Batu Ayo Mudaik Batu Tangguk di tepi Sungai Bio, sampai ke Pematang Sikai.. menurun ke Bonca Dalam,Batu Ngiong, Kompe Buwuok, mendaki Bukit Sianjung sampai ke Penyeberangan Dalam batas dengan IV Koto Sitingkai ke hulu Sungai batang Kotuo, hulu Muara Selaya.

Ulayat Air nan bakakcucuran dan Tanah Nan bakatalerengan anatara Datuk Paduko Bosae datuk Bijo sebelah kanan adalah air nan babacucuran jo tanah nan bakatalerengan yang jatuh ke Sungai Batang Bio. SementaraAir nan bakacucuran Jo tanah nan bakatalerengan yang Jatuh ke Sungai Batang Kotuo dan Sungai Muara Sei laya adalah ulayat Datuk Gomuok Hitam Lidah dari Suku Piliang Bawuo.

D. Penutup

Demikianlah sekelumit tapak sejarah Negeri Ludai Luwak Batang Bio yang dapat penulis sampaikan, tentu masih banyak kekurangan-kekurangannya, untuk itu penulis harap dimaklumi dan di maafkan. Adapun tulisan ini merupakan rangkuman dari berbagai macam sumber lisan turun temurun yang masih bisa digali tentang sejarah Luwak Batang Bio. Berdasarkan Waghi Nan Bajawek, Piagam Nan Bapocik Jo Katoghanan Nan Badogaeh.

Sekian dan Terimakasih………………

Lipatkain, 23 Desember 2017

Penulis

ZALDI ISMET, S.Sos