Munasabah Qur'an

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Munasabah Qur'an adalah menjelasakan korelasi makna antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat, baik korelasi itu bersifat secara umum atau khusus, rasional, persepsi, imajinatif, atau korelasi sebab akibat, perbandingan dan perlawanan. Kata munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi berarti al-musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi memberi contoh sebagai berikut: fulan yunasib fulan, berarti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Dari kata itu, lahir pula kata "an-nasib," berarti kerabat yang mempunyai hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra paman. Istilah munasabah digunakan dalam lillat dalam bab qiyas, dan berarti Al-wasf al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).[1]

Lahirnya pengetahuan tentang teori korelasi (munasabah) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Quran sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Quran. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itü didasgrkan pada tauqifidari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itü didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan penama, kecua!i surat Al-Anfal dan Bara'ah yang dipandang bersifat ijtihadi.[1]

Pendapat pertama di atas didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakar İbn Al-Anbari, Al-Kirmani dan İbn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan İbn Al-Faris, sedangkan pendapat ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi datam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat lqra', kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian Madani). Adapun mushaf İbn Mas'ud dimu!ai dengan surat Al-Baqarah kemudian An-Nisa lalu surat Ali Imran.

Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi Al-Quran kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni Ulum Al-Quran. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul beberapa ulama ahli tafsir seperti Abu Ja'far bin Jubair dalam kitabnya Tanib As-SuwarAl-Quran, Syekh Burhanuddin Al-Biqa'i dengan bukunya Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar At-Tattib Al-Quran. Di antara ulama Iain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja'farAhmad bin Ibrahim bin Al-ZubairAl-Andalusi (W. 807 H) dalam karyanya Al-Burhan fi Munasabah Tattib Suwar Al-Quran. Dalam konteks ini, Tafsir Al-Kabir yang ditulis Oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir Yang banyak mengemukakan Sisi munasabah dalam Al-Quran.[1]

Munasabah Menurut Beberapa Ulama[1][sunting | sunting sumber]

  • Az-Zarkasyi

Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.

  • Manna' Al-Qaththan

Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat atau antara ayat pada beberapa ayat atau di antara surat di dalam Al-Qur'an.

  • Menurut Ibn Al-Arabi

Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Quran sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.

  • Menurut Al-Biqa'i

Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur'an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.

Cara Mengetahui Munasabah[sunting | sunting sumber]

Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, AlQuran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang mufasir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh 'Izzuddin bin 'Abd As-Salam berkata: "Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antarkalam mensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik."[1]

Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam AlQuran diperiukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk mgnemukan munasabah ini, yaitu:

  1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
  2. Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
  3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
  4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapanungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

Macam-macam Munasabah[1][sunting | sunting sumber]

  • Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya.
  • Munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya.
  • Munasabah antarbagian suatu ayat
  • Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
  • Munasabah antarsuatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
  • Munasabah antarFashilah (Pemisah) dan isi ayat
  • Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama
  • Munasabah antarpenutup suatu surat dengan awal surat berikutnya

Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah[1][sunting | sunting sumber]

  • Dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Quran kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.
  • Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
  • Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat/surat yang satu dari yang lain.
  • Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
  1. ^ a b c d e f g Anwar, Rosihon (2007). Ulum Al-Qur'an. Bandung: CV. Pustaka Setia. ISBN 978-979-730-105-7.