Masjid Al-Atiiq

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sejarah Masjid[sunting | sunting sumber]

ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦧꦼꦱꦫꦭꦠꦶꦲꦶꦛ꧀ꦏꦲꦸꦩꦤ꧀ꦱꦭꦠꦶꦒ (Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga. Masjid ini oleh masyarakat disebut dengan nama Masjid Kauman Salatiga atau Masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga. Masjid tertua kedua di Kota Salatiga memiliki sejarah panjang dan erat kaitannya dengan sejarah Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada Tahun 1825-1830. Masjid dibangun sekitar tahun 1247 H/1832 M oleh Kyai Rono Sentiko/ Ki Rono Sentiko yang merupakan Abdi Ndalem Kraton Surakarta dan sekaligus Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro ( hal ini berdasarkan dari tulisan di Mihrab Masjid). Masjid ini dulunya oleh Dinas Terkait akan dimasukkan dalam Situs Cagar Budaya sekitar tahun 2004-an. Namun, karena lamanya proses tersebut dan kurangnya edukasi terkait akan pentingnya sebuah sejarah, oleh pengurus Ta'mir dilakukan pembongkaran total bangunan masjid. Dalam sejarahnya Majid ini dahulu digunakan sebagai pusat keagamaan dan sebagai tempat untuk mengatur siasat perang.[1]

Laskar Prajurit Diponegoro di Salatiga[sunting | sunting sumber]

Ketika Vereenigde Oot-Indische Compagnie (VOC) berkuasa di Jawa, Salatiga pun berada di bawah kekuasaaan kongsi dagang Belanda itu. Oleh VOC Salatiga di pandang sangat strategis, karena berada di jalur utama persimpangan Semarang, Surakarta, dan Magelang. Selain itu, Salatiga juga dipandang sangat strategis dalam kegiatan lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa sehingga dijadikan sebagai pusat persinggahan para pedagang. Oleh karena itu, maka Pemerintah Hindia Belanda memandang Salatiga sangat strategis untuk dijadikan sebagai kota militer. Sehingga pada tahun 1746 VOC mulai menempatkan pasukannya di Salatiga dan membangun sebuah benteng yang diberi nama Benteng De Hersteller.[1]

Pembangunan Benteng De Hersteller di Salatiga tersebut terutama dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan di sepanjang jalur Semarang-Surakarta. Selain itu, juga bermanfaat ketika terjadi suksesi di Kerajaan Surakarta tahun 1746-1757 yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti Tahun 1755 yang melahirkan kesultanan Yogyakarta dan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran.[2]

Pecahnya Perang Jawa atau juga disebut dengan Perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830, sebagiamana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Pada waktu itulah muncul semangat dari warga primbumi dalam melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Disebutkan bahwa awal mulanya peperangan tersebut dilandasi oleh kekecewaan Pangeran Diponegoro terhadap Kraton Yogyakarta yang tunduk pada pemerintahan Kolonia Hindia Belanda.

Pada masa perang Diponegoro, salah satu pendukung per-juangan beliau dalam melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda, adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI (Bahasa Jawa : Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono VI) yang lahir di Surakarta pada tanggal 26 April 1807, merupakan raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1823 -1830. [3]

Hubungannya dengan Pangeran Diponegoro adalah sebagai pendukung pergerakan atau perjuangan dalam Perang Jawa sebagai bentuk perlawanan atau pemberontakan terhadap Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terkait dengan perjanjian dengan Belanda, Paku Buwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Paku Buwana VI dengan pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya dulu dikisahkan Paku Buwana VI pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. [4]

Dalam sejarahnya diceritakan bahwa Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam Kraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera di tanam di dalam Kraton Surakarta oleh Pakubuwana VI. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda.

Pakubuwana VI dalam aksi ganda tersebut, dalam kaitannya membantu perlawanan dan perjuangan Pangeran Diponegoro salah satunya adalah mengirim pasukannya ke daerah-daerah untuk ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dalam pasukan tersebut terdiri atas prajurit dan abdi dalemnya.

Pada waktu meletus Perang Diponegoro tahun 1825 pengaruhnya juga sampai ke daerah Semarang. Perjuangan Pangeran Diponegoro berkobar di daerah Surakarta bagian Barat, daerah Bagelan, Banyumas, Tegal, Pekalongan dan Semarang. Perjuangan di daerah Semarang dipimpin oleh seorang Bupati/Patih yang bernama Pangeran Serang II (Pangeran Kusumowijoyo adalah Putra Pangeran Mutia Kusumowijoyo/ Pangeran Serang I). Pada tanggal 22 April 1826 Pangeran Serang II berhasil merebut daerah Purwodadi dan perlawanan rakyat menjalar ke daerah Demak, Kudus, Wirosari, Grobogan dan Semarang. Pertahanan Kota Semarang dipimpin oleh Jenderal Van Goen yang mendatangkan bala bantuan dari Kota Surabaya, Solo dan Sumenep (Madura). Dalam pertempuran di sekitar Kota Demak pada tanggal 15 September 1926 Pangeran Serang II bersama pengikutnya dapat terdesak oleh pasukan Van Goen dan terpaksa mengundurkan diri. [5]

Kota Salatiga kala itu, dipimpin oleh seorang Asisten Residen yang bernama Reede Van Oudtschoen. Kota Salatiga dahulunya merupakan tempat peristirahatan bagi para pejabat pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun orang-orang Eropa. Tempatnya yang berada diperbukitan dengan hawa sejuk sangat memungkinkan Salatiga menjadi kawasan favorit untuk berlibur dan beristirahat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh di Salatiga.

Pada masa Perang Jawa atau Perang Diponegoro, bahwa Kota Salatiga merupakan kota favorite sangat memungkinkan banyak para pejabat Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang bertempat tinggal di Salatiga. Dengan demikian Kota Salatiga bisa disebut sebagai markas militer Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.

Dalam upaya membantu perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Pakubuwana VI mengirim utusan abdi dalemnya yang bernama Kyai Rono Sentiko. Beliau ditugaskan untuk memata-matai pergerakan Pasukan Militer Pemerintahan Hindia Belanda di Salatiga. Di salatiga beliau bertemu dengan para laskar prajurit Pangeran Diponegoro, antara lain yakni Kyai Condro yang berasal dari magelang dan Kyai Sirojudin atau Kyai Damarjati.

Kyai Sirojudin / Kyai Damarjati[sunting | sunting sumber]

Kyai Sirojudin atau lebih di kenal dengan nama Kyai Damarjati adalah seorang ulama Salatiga yang berperan sebagai penyebar agama Islam dan seorang Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro. Beliau adalah sahabat dari Kyai Rono Sentiko yang merupakan sahabat seperjuangan. Beliau bertempat tinggal di Dusun Krajan Salatiga. Beliau yang dulunya berjuang bersama dengan Kyai Rono Sentiko harus berpisah karena untuk menghindari kecurigaan pihak Belanda. Maka Kyai Rono Sentiko tetap di Bancaan Kauman sedangkan Kyai Damarjati pindah ke daerah Krajan.Beliau dalam perjuangannya beliu juga mendirikan sebuah masjid yang bernama Masjid Damarjati yang didirikan pada tahun 1826 atau satu tahun setelah Masjid Besar Kauman. [2]

Kyai Rono Sentiko/ Ki Rono Sentiko[sunting | sunting sumber]

Tak banyak yang tahu mengenai sosok pahlawan yang satu ini, beliau adalah pahlawan yang menyebarkan agama Islam serta memerangi pasukan militer Pemerintahan Hindia Belanda. Beliau adalah Kyai Rono Sentiko yang sampai sekarang belum diketahui kapan lahir dan wafatnya beliau. Kyai Rono Sentiko merupakan Abdi Dalem Keraton Surakarta pada Masa Pangeran Pakubuwana VI. Kyai Rono Sentiko diutus oleh Pakubuwana VI untuk membantu Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kyai Rono Sentiko di Salatiga ditugaskan untuk memata-matai gerakan militer Pemerintah Kolonial Belanda.

Dalam stategi perlawanannya beliau mendirikan sebuah Masjid yang terletak di Dusun Kauman (Sekarang Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga) yang dibangun pada tahun 1247 H/ 1832 M (tertulis dalam mihrab tempat imam memimpin shalat) atau bertepatan pada setelah perang Diponegoro yakni tahun 1825 M. Masjid tersebut di bangun disamping untuk tempat ibadah juga digunakan sebagai tempat musyawarah dan tempat menyusun strategi peperangan melawan pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Salatiga. Dalam perlawanan-nya beliau ditemani oleh dua tokoh yang juga laskar prajurit Pangeran Diponegoro yakni Kyai Sirojudin/Kyai Damarjati dan Kyai Condro.

Beliau wafat dan di makamkan di pema-kaman umum di daerah Blotongan Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Kono beliau memiliki anak angkat yang menurunkan keturunan seorang Jenderal Polisi bernama Jenderal Polisi (Purn) Prof. Drs. Budi Gunawan, S.H., M.Si, Ph.D yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 11 Desember 1959. Beliau pernah menjabat sebagai WAKAPOLRI dan Kepala BIN serta sekarang beliau menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Kyai Condro[sunting | sunting sumber]

Kyai Condro yang awalnya ikut mengawal Pangeran Diponegoro ke Magelang bersama 79 prajurit lainnya, saling berpencar. Sehingga, masing- masing berupaya menyelamatkan diri tanpa melalui koordinasi seperti pasukan jaman sekarang. Kyai Condro yang waktu itu belum memiliki ilmu agama (Islam) mencukupi, belakangan getol menyebarkan syiar. Di luar urusan keagamaan, ia juga menularkan ilmu bela diri, maklum, mantan veteran perang. Jadi ya ajar kalau dirinya menguasai berbagai cabang bela diri. Hal inilah yang membuat perkam-pungan sepi penduduk jadi semakin ramai hingga menjadi sebuah dusun.

Keberadaan kampung yang berubah menjadi dusun, belakangan membuat masyara-katnya makin religius sehingga membutuhkan satu tempat untuk beribadah secara berjamaah. Sayang, Kyai Condro ilmunya belum dianggap mumpuni, sehingga ia mengundang sahabatnya asal Magelang bernama Hasan Muarif yang memang piawai dalam mengupas agama Islam. Duet dua sahabat itu, akhirnya menyepakati untuk mendirikan mushola kecil yang bisa digunakan sholat berjamaah. Hingga pemeluk agama Islam semakin banyak, maka dusun tanpa nama itu mulai dikenal sebagai kawasan Muslim. Dalam perkembangannya, sesudah Kyai Condro mau pun Hasan Muarif wafat, tahun 1919 , Mushola dibongkar dan diperbesar jadi masjid

Sementara dusun yang semakin besar, atas kesepakatan masyarakat setempat dinamakan Desa Kecandran, diambil dari nama Kyai Condro. Dulunya, wilayah ini masuk Kabupaten Semarang. Setelah Salatiga mengalami pemeka-ran, akhirnya Desa Kecandran diubah menjadi Kelurahan dan termasuk Kecamatan Sidomukti hingga sekarang.[1]

Arsitektur Bangunan Masjid[sunting | sunting sumber]

Sebelum Renovasi[sunting | sunting sumber]

Tipologi Bangunan[sunting | sunting sumber]

Adaptasi percampuran budaya di Indonesia menandai adanya sebuah inovasi baru tentang arsitektur, ketika eksperimen dan penciptaan bentuk-bentuk arsitektur baru lahir dengan didorong oleh asimilasi budaya, sosial dan etika maupun norma. Walaupun berbagai jenis bangunan memiliki karakter utama struktural dan tradisi bersama, akan tetapi masing-masing juga pasti mengandung sejumlah karakter atau fitur yang dapat dikatakan sebagai pengaruh eksternal yang berasal dari sejumlah tradisi arsitektural asing.[1]

Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga dulunya dapat diketahui bahwa bentuk masjid sangat unik dan khas, membedakannya dengan masjid-masjid di Kota Salatiga. Tampak masjid memiliki bentuk atap tumpang bersusun empat yang merupakan bagian kepala masjid, menampilkan bangunan masjid yang khas dan membedakannya dengan jenis atau tipe bangunan tradisional Jawa lainnya.

Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga yang memiliki karakter bangunan sebagaimana yang ada pada arsitektur Jawa memiliki tipologi tertentu yang mendasari dan menjadi ciri-ciri khas masjid tersebut. Apabila dibagi menjadi tiga bagian yaitu; kepala, badan, dan kaki, tampak bahwa masjid ini memiliki elemen-elemen yang berada pada tiga bagian tersebut serta memperlihatkan struktur bangunannya. Yang mengandung makna filosofi Iman, Islam dan Ihsan[2]

a. Struktur Denah Masjid

Denah pada Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga dahulu memiliki unsur-unsur ruang yang terbagi menjadi dua ruangan mendasar, yaitu ruang induk atau dalem yang merupakan ruang utama shalat dan bersifat tertutup dan terdapat dua pintu di sebelah kanan dan dua pintu di sebelah kiri serta terdapat emperan atau teras dengan pagar kayu. Sedangkan ruang serambi atau pendopo yang merupakan ruangan terbuka, berfungsi sebagai ruang shalat juga sebagai ruang untuk kegiatan yang lain seperti pengajian dan musyawarah.

Di dalam masjid terdapat ruangan di sebelah kanan dan sebelah kiri tempat shalat Imam. Sebelah kanan digunakan untuk menyimpan Bandoso atau kerenda mayat dan sebelah kiri digunakan sebagai gudang. Selain itu, di dekat tempat shalat imam terdapat ruangan/omah-omahan yang dulunya dipakai untuk sholat pejabat sekelas Bupati/Patih, dan terdapat mimbar untuk menyampaikan khutbah.[3]

Struktur denah pada Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga lebih sederhana dari pada rumah Jawa. Namun, unsur-unsur utama pada denah tetap menjadi struktur denah utama yaitu pada ruang shalat utama (dalem), dan pada ruang serambi (pendopo). Tambahan ruang mihrab berupa ceruk kecil pada sisi barat ruang shalat utama dan menyatu.[4]

b. Atap Masjid

Atap tajug merupakan atap dengan bentuk spesifik yang menjadikan Masjid Besar AL-Atiiq Kauman Salatiga memiliki nuansa spiritualitas dan sakral, berperan sebagai rumah ibadah, pemberi identitas yang sangat kuat sebagai masjid tradisional Jawa. Diatas ujung atap tajug diletakkan mustaka atau mahkota yang mencerminkan puncak kedudukan.[5]

Menurut filosofi bangunan Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga memiliki arti mendalam dalam sebuah perjalanan rukhani untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta (Sang Khaliq). Dalam bengunan masjid terdapat empat elemen dimana empat elemen tersebut mengartikan bahwa manusia dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT harus melalu empat tingkatan.[6]

Sedangkan pada bagian cungkup atap yang terletak pada puncak masjid dihiasi dengan mahkota atau mustoko/ kubah kecil. Diatas mahkota diletakkan tulisan Allah dalam kaligrafi arab. Atap piramida tajug berakhir pada ujung tanpa bubungan dan bertumpuk semakin keatas semakin kecil menandakan adanya unsur vertikalitas berkaitan dengan hubungan ketuhanan dan pencapaian nilai-nilai ibadah. [7]

Empat tingkatan ini adalah Syariat, Thariqat, Haqiqat dan Ma’rifat. Dimana syariat ini tertuang di dalam hukum-hukum fiqih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada, dengan tingkata kesadaran ada milikku dan ada milikmu. Kemudian thariqat yang artinya jalan untuk memahami haqiqat, dengan tingkat kesadaran milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.

Setelah melalui Syariat dan Thariqat, tahap yang ketiga adalah Haqiqat yang artinya kebenaran, wujud dan kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang memahami makna ibadah yang dilakukan, dengan tingkat kesadaran tidak ada milikku, tidak ada milikmu, semua milik Allah. SWT. Tingkatan yang terakhir adalah Ma’rifat yang artinya tahu; kenal pada Sang Pencipta, batinnya sudah dekat dengan Allah dan semua gerakannya lillahita’ala. “Tuhan sedekat nadi di leher atau ana al-haq, tidak ada aku tidak ada kamu, yang ada hanyalah Allah SWT.”[8]

Selain itu, pada bangunan serambi atau pendopo beratapkan limasan dengan di topak empat soko atau pilar di dalamnya. Dengan lima daun pintu di bagian depan dengan pagar pintu besi dan dua daun pintu di bagian barat kanan dan kiri serambi. Terdapat pula menara papak pada bagian pintu serambi sebelah kanan dan sebelah kiri dimana dahulu digunakan sebagai tempat tidur penjaga masjid dan untuk menyimpan barang. Selain itu terdapat tlondak atau tangga yang menjulur dari selatan sampai utara depan masjid, dan memiliki pelataran yang luas, dan disisi bagian utara pelataran terdapat jam bencet/jam matahari.


Sisa Peninggalan[sunting | sunting sumber]

a. Mihrab

Mihrab

Mihrab atau dikenal sebagai tempat imam. Masjid Besar Al-Atiiq kauman Salatiga memiliki Mihrab yang dulunya digunakan sebagai tempat shalat pejabat Bupati/Patih. Mihrab ini sampai sekarang masih dan dipergunakan sebagai tempat imam sholat. Mihrab ini dibuat pada saat masjid di bangun yakni sekitar tahun 1837 M.

b. Jam Bencet/Jam Matahari

Jam matahari/jam bencet/sundial adalah sebuah perangkat sederhana yang menunjukkan waktu berdasarkan pergera-kan matahari di meridian. Jam matahari merupakan perangkat petunjuk waktu yang sangat kuno. Rancangan jam matahari yang paling umum dikenal meman-faatkan bayangan yang menimpa permukaan cekungan yang ditandai dengan jam-jam dalam suatu hari. [1] Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga memiliki sebuah jam matahari/jam bencet yang dulunya digunakan untuk melihat waktu shalat. Namun, sekarang sudah tidak digunakan lagi karena perkembangan zaman.

c. Atap Mimbar

Mimbar atau minbar adalah platform di dalam masjid dimana khotib berdiri mem-beri khotbah jum’at-an, khutbah Idul Fitri, khutbah Idul Adha serta yang lainnya.[2] Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga memiliki sebuah mimbar bersejarah, dimana dahulu digunakan untuk menyampaikan khutbah. Namun, sisa mimbar kini tinggal atapnya saja karena tidak diketahui keberadaanya pada saat renovasi.

d. Pagar Emperan /Teras Masjid Utama

Dahulu Masjid Besar Al – Atiiq Kauman Salatiga pada masjid utama memiliki emperan atau teras di sebelah selatan dan utara masjid. Emperan tersebut memiliki pagar pembatas. Namun, setelah renovasi pada masjid pagar tersebut kini di pasang di tembok serambi masjid.

e. Bedug dan Kentongan

Bedug merupakan isntrumen musik tradisi-onal yang digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagi alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Bedug sejarahnya berasal dari India dan China. Sejarahnya ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang. Kemudian Cheng Ho pergi dan hendak memberikan hadiah, raja Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug menjadi bagian dari masjid dan digunakan sebagai panggilan sebelum adzan waktu shalat.[3]

Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga memiliki sebuah bedug dan kentongan yang dulunya digunakan sebagai penanda masuknya waktu shalat sebelum adzan dikumandangkan dan ketika iqomah diperdengarkan. Yang artinya digunakan sebagai penada waktu sholat dan penanda waktu akan dimulainya sholat berjamaah di masjid. Tapi, bedug ini sekarang di tabuh atau dibunyaikan ketika akan shalat Jum’at, kemudian ketiha hari raya dan ketika selesai shalat tarawih pada bulan Ramadhan.

f. Sisa-sisa kayu

Bangunan Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga dahulunya didominasi dengan kayu-kayu yang berkualitas. Hal ini, dibuktikan masih ada sebagian kayu yang masih utuh sampai sekarang. Kayu-kayu yang dulunya merupakan soko guru/ pilar masjid kini digunakan sebagai blandar, pintu maupun jendela dan yang lainnya.

Setelah Renovasi[sunting | sunting sumber]

Masjid Utama[sunting | sunting sumber]

Bangunan induk yang merupakan ruang utama Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga ditandai deng-an denah bujur sang-kar, memiliki empat soko guru/pilar di tengah bangunan, din-ding bata pada tiap sisi-sisinya, pintu dan jendela, dan beratap tajug berjenjang lima yang meliputi tajuk dasar beratapkan genting, tajug kedua sampai empat beratapkan beton dengan kubah/ mustoko di tajug bagian pucuknya. Menurut maknanya memuat filosofi adanya Rukun Islam yang lima.

Selain itu, yang dulunya di masjid utama di sebelah kiri dan kanan ada emperan atau teras, sekarang sudah digabung masuk menjadi ruang utama masjid dengan empat jendela, dua di sebelah kiri dan dua lagi disebelah kanan. Kemudian terdapat tiga daun pintu masuk ruang masjid utama. Dengan dua jendela di sebelah kiri dan kanan.

Kemudian, di sisi sebelah barat terdapat empat ruangan, dari selatan terdapat ruang pertama digunakan sebagai gudang, ruang kedua dan ketiga digunakan untuk shalat imam (mihrab) dan khutbat (mimbar), dan yang satunya digunakan sebagai tempat menyimpan bandoso/kerenda mayat. Disisi kanan dan kiri ruangan mihrab dan mimbar ada ruang kecil digunakan sebagai tempat sound system (kanan) dan jam (kiri). Selain itu juga terdapat geber/pembatas antara pria dan wanita.

Serambi Masjid[sunting | sunting sumber]

Serambi masjid terdiri dari dua lantai yang ditopang dengan empat pilar beton. Pada lantai dasar digunakan sebagai tempat shalat, musyawarah, dan pengajian. Sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat shalat ketika di lantai dasar sudah penuh.

Menara al-Anbiya[sunting | sunting sumber]

menara ini berada di depan bagian utara masjid yang dibangun pada tahun 2015 yang menelan biaya Rp. 200.605.000 selama 9 bulan. Menara ini di resmikan pada tanggal 18 Oktober 2015 oleh Walikota Salatiga Yuliyanto, SE., MM. keberadaan menara ini digunakan sebagai tempat toa/ speaker, sebagai keamaan dan kemegahan serta setetika masjid. Menara ini dinamakan dengan Menara al-Anbiya dikarenakan tinggi menaran kurang lebih 25 meter dan disesuaikan dengan 25 jumlah Nabi dan Rasul.

Fasilitas Masjid[sunting | sunting sumber]

Terdapat fasilitas pendukung yang berada di masjid antara lain tempat wudhu (WC dan Toilet) pria dan wanita, parkir mobil dan sepeda motor, TPQ dan PAUD, Pondok Tahfidhul Qur'an, Mess Musafir, Menara Masjid, Gudang, Tempat Penitipan, Sound System, Multimedia, Sekretariat, Genset, Sekretariat.

Peran Masjid Dari Masa Ke Masa[sunting | sunting sumber]

asjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga merupakan masjid tertua di Kota Salatiga ini merupakan bagian dari sejarah penyebaran agama Islam di Kota Salatiga. Masjid ini di bangun pada saat Perang Diponegoro (1825-1830) pada tahun 1247 H atau 1832 M oleh seorang Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro dan sekaligus abdi dalem Pangeran Pakubuwana VI. Sebagai bukti bahwa Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga merupakan masjid tertua bisa di lihat di Mihrab tempat imam memimpin shalat.

Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, Jepang sampai pada masa Kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Besar Kauman Salatiga telah banyak memberikan sumbangsih kepada masyarakat di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang khususnya masyarakat yang beragama Islam. Karena pada saat itu Masjid Besar Kauman Salatiga digunakan sebagai tempat untuk memutus suatu perkara perdata Islam yakni peradilan Agama.

Pada masa Kolonial Belanda, Masjid Besar Kauman Salatiga merupakan tempat menyusun strategi perang pada Perang Jawa (1825-1830), kemudian setelah itu digunakan sebagai tempat peradilan agama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penerbitan Pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang peradilan yaitu berdirinya Raad Islam [1], disamping itu pemerintah Kolonial Belanda mengintruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam dalam staatblad tahun 1820 Nomor 22 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan masyarakat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama .[2]

Sejarah Peradilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940, kantor yang ditempatinya masih di serambi Masjid Besar Kauman Salatiga dengan Ketua dan Hakim Anggotanya diambil dari alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu ada 3 orang yakni, Kyai Salim sebagai Ketua; Kyai Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota dan Kyai Muh. Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara meliputi wilayah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.[3]

Pada masa penjajahan Jepang, Masjid Besar Kauman Salatiga masih digunakan sebagai kantor pengadilan Agama Kota salatiga pada tahun 1942-1945. Pada masa penjajahan Jepang ini memang hanya sebentar karena pada saat itu Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran.[4]

Pada masa Kemerdekaan serambi Masjid Besar Kauman Salatiga masih digunakan sebagai Peradilan Agama Kota Salatiga yakni pada tahun 1945 sampai sekitar tahun 1960an.[5] Pada tahun 1949 yang menjabat sebagai Ketua adalah Kyai Irsyam yang dibantu 7 pegawai. Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 Masjid Besar Kauman Salatiga juga digunakan sebagai Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Semarang di Kota Salatiga sekitar pada tahun yang sama.[6]

Selain sebagai tempat Peradilan Agama, Masjid Besar Kauman Salatiga dahulu juga digunakan sebagai kantor Departemen Agama Kabupaten Semarang (sekarang: Kementerian Agama yang sebelumnya bernama Kantor Urusan Agama (KUA)). Kementerian Agama Kabupaten Semarang berdiri pada tahun 1974 dengan nama Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Semarang yang berlokasi di Salatiga. Pada saat itu, Kepala Kantor Perwakilan Depertemen Agama adalah Bapak KH. M. Bakrie Tolchah (Alm) yang juga merupakan pengelola Masjid Besar Kauman Salatiga. Kantor Perwakilan Depertemen Agama Kabupaten Semarang di salatiga ini menenpati area Masjid Besar Kauman Salatiga selama kurang lebih 3 tahun yakni sekitar tahun 1974 sampai dengan tahun 1976.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Gayeng, Marbot. "AL-ATIIQ ONLINE". https://alatiiqonline.blogspot.com/. Diakses tanggal 2021-11-26.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  2. ^ "Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Dibangun Abdi Dalem Keraton Surakarta". Wawasan. Diakses tanggal 26 Mei 2022.