Locus delicti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Locus delicti adalah tempat terjadinya peristiwa pidana, berasal dari kosakata Latin locus yang artinya 'tempat' atau 'lokasi' dan delicti yang artinya 'delik' atau 'tindak pidana'. Terdapat empat teori dalam menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus delicti. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.[1]

  1. Teori perbuatan materil (leer van de lichamelijkedaad). Teori ini didasakan pada perbuatan fisik, sehingga teori ini menjelaskan terkait dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat di mana perbuatan tersebut dilakukan.
  2. Teori alat (leer van het instrument). Teori ini didasarkan terhadap fungsinya suatu alat digunakan dalam perbuatan pidana. Teori ini menegaskan bahwa dianggap tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat di mana alat digunakan dalam tindak pidana bereaksi.
  3. Teori akibat (leer van het gevlog). Teori ini menjelaskan mengenai akibat dari suatu tindak pidana. Hal ini menjelaskan bahwa locus delicti adalah tempat di mana akibat dari pada tindak pidana tersebut timbul.
  4. Teori beberapa tempat (leer van de lichamelijke daad). Teori ini menjelaskan mengenai tempat terjadinya tindak pidana mengenai tempat-tempat perbuatan tersebut secara fisik terjadi, tempat di mana alat digunakan bereaksi, serta tempat adanya akibat dari tindak pidana tersebut timbul.

Tempus delicti[sunting | sunting sumber]

Selain locus delicti terdapat Alasan adanya tempus delicti (waktu tindak pidana). Tempus delicti adalah waktu terjadinya pidana. tempus delicti selalu bersesuaian dengan locus delicti.[2] Tempus delicti penting diketahui untuk menentukan:[1]

  1. Pasal 1 ayat 1 KUHP dengan menentukan apakah suatu perbuatan pada waktu itu telah dilarang dan dincam dengan pidana.
  2. Pasal 1 ayat 2 KUHP dengan menentukan apakah terjadi perubahan dalam perundang-undangan, ketentuan manakah yang diterapkan, undang-undang baru atau yang lama.
  3. Pasal 44 KUHP dengan menentukan apakah terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
  4. Apakah terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana sudah berumur 12 tahun atau belum, sesuai dengan ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  5. Pasal 74 KUHP bahwa batas waktu pengajuan pengaduan, dimulai dari orang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan.
  6. Pasal 75 KUHP bahwa batas waktu menarik kembali pengaduan.
  7. Pasal 79 KUHP bahwa daluwarsa penuntutan.[3]
  8. Pasal 1 butir 19 KUHAP bahwa tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu melakukan tindak pidana atau seterusnya.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Sastrawidjaja, Sofjan (1990). Hukum Pidana I. Bandung: C.V. Armico. 
  2. ^ Sianturi, S.R. (1986). Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem. 
  3. ^ Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 
  4. ^ Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.