Legenda Ular Kepala Tujuh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Cerita[sunting | sunting sumber]

Alkisah, di sebuah pulau di Bengkulu, Sumatera selatan berdirilah sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Kutei Rukam dan dipimpin oleh seorang raja bernama Raja Bikau Bermano. Sang raja mempunyai delapan orang putra.

Pada suatu waktu, sang raja melaksanakan upacara perkawinan untuk putranya yang bernama Gajah Meram. Sang putra menikahi seorang putri, Putri Jinggai yang berasal dari Kerajaan Suka Negeri.

Mulanya, upacara pernikahan tersebut berlangsung lancar dan meriah. Namun ketika Gajah Meram dan Putri Jinggai melaksanakan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian suci yaitu pemandian Aket yang berada tepat di tepi Danau Tes, tiba-tiba kedua mempelai menghilang dan tidak ada seorang pun yang tau dimana keberadaan mereka pada saat itu.

Hal itu terdengar hingga ke istana, dimana Raja dan sang permaisuri tinggal. Mereka pun merasa cemas dikarenakan sang putra beserta calon istrinya belum kembali ke istana sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Oleh karena rasa khawatir yang semakin menjadi-jadi, sang raja pun memerintahkan beberapa orang hulubalang untuk mencari dua mempelai tersebut.

Alangkah terkejutnya para hulubalang saat mengetahui bahwa Gajah Meram dan Putri Jinggai tidak ada di tempat prosesi pemandian tersebut. Dan setelah mencari selama beberapa waktu di tepi Danau Tes, mereka pun kembali ke istana.

“Ampun, Baginda Raja! Kami tidak menemukan keberadaan Gajah Meram dan Putri Jinggai.” lapor salah seorang hulubalang.

“Apa katamu? Yang benar saja!” Tanya sang raja panik disertai emosi.

“Benar Baginda. Kami sudah menyusuri area di sekitar Batu Bandung dan Batu Kuning tetapi kami tidak dapat menemukan mereka.” Jawab seorang hulubalang secara hormat.

“Kalau begitu, kemana mereka pergi?” Tanya sang raja dengan panik.

“Ampun, Baginda! Kami tidak tahu sama sekali kemana mereka pergi.” Jawab para utusan hulubalang.

Mendengar jawaban para hulubalang, Raja Bikau Bermano terdiam. Dirinya sudah dipenuhi dengan rasa cemas dan gelisah terhadap hilangnya sang putra mahkota dan calon istrinya. Kegelisahan itu pun mulai menjadi-jadi, ia berjalan kesana - kemari sambil mengelus-ngelus jenggotnya yang sudah memutih.

“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” Perintah sang Raja.

Tak butuh waktu lama para hulubalang beserta keluarga istana pun berkumpul.

“Wahai rakyatku! Apakah ada satu di antara kalian yang mengetahui keberadaan putraku dan calon mantu ku?” tanya sang Raja tegas

Tidak seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan sang raja. Suasana berubah menjadi sangat hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang Tun Tuai (orang tua) yang merupakan kerabat Putri Jingai dari Kerajaan Suka Negeri pun akhirnya membuka suara.

“Hormat hamba, Baginda. Jika diizinkan, hamba ingin mengungkapkan sesuatu.” Ucap seorang Tun Tuai.

“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan mereka?” Tanya sang Raja penasaran.

“Ampun, Baginda. Setahu hamba, Gajah Meram dan Putri Jingga diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes.” Jawab Tun Tuai secara hormat.

“Raja Ular sangatlah sakti, Baginda! Ia juga sangat licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes.” Tambahnya.

“Apakah yang kamu katakan itu benar, Tun Tuai?” Tanya sang Raja memastikan.

“Benar, Baginda.” Jawab Tun Tuai sopan.

“Kalau begitu sekarang juga kita harus menyelamatkan putraku dan calon menantuku. Kita tidak berlarut-larut dalam kesedihan ini.” Perintah sang raja tegas.

“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” Tanya seorang hulubalang.

sang Raja pun terdiam. Kebingungan mulai merasuki dirinya. Ia bingung bingung bagaimana ia bisa membebaskan putra dan calon menantunya dari Raja Ular yang kejam.

“Ampun, Ayahanda!” Sahut Gajah Merik, putra bungsu sang Raja.

“Ada apa, Putraku?” Tanya sang Raja sambil melihat ke arah putra bungsunya itu.

“Izinkan saya menyelamatkan abang dan calon istrinya dari Raja Ular.” Pinta Gajah Merik kepada ayahnya.

Semua orang yang berada disitu sangat terkejut, terutama sang Raja. Bagaimana bisa anak bungsunya yang baru berumur 13 tahun mempunyai keberanian untuk melawan Raja Ular?

“Apakah Ananda benar-benar sanggup melawan Raja Ular itu?” Tanya ayahnya

“Sanggup, Ayahanda!” Jawab Gajah Merik

“Apa yang akan kamu lakukan nanti, Putraku?” Abangmu saja yang sudah dewasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk melawan si Raja Ular itu.” Perjelas sang Raja kepada Gajah Merik.

“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, ibu dan semua orang yang hadir disini. Sebenarnya, sejak umur 10 tahun Ananda hampir setiap malam didatangi mimpi oleh seorang kakek yang mengajarkan Ananda ilmu kesaktian.”Cerita Gajah Merik.

Mendengar cerita putra bungsunya tersebut, sang Raja tersenyum. Ia bangga dengan putra bungsunya itu, walaupun memiliki ilmu kesaktian ia tidak pernah sekalipun memamerkannya pada orang lain, termasuk kepada keluarganya.

“Apakah yang kamu katakan itu benar, Putraku?” Tanya sang Raja memastikan.

“Benar, Ayahanda!” Jawab Gajah Merik.

“Baiklah! Kalau begitu, besok kami boleh pergi membebaskan abangmu beserta calon istrinya. Dengan syarat, kau harus pergi bertapa di Bandar Agung untuk memperoleh senjata pusaka.” Ujar sang Raja

“Baik, Ayahanda!” Jawab Gajah Merik

*****

Keesokan harinya, Gajah Merik berangkat untuk bertapa di Bandar Agung yang terletak di antara Desa Merambung dan Batu Kuning. Ia bertapa selama tujuh hari tujuh malam. Walaupun umurnya yang masih 13 tahun, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi tanpa makan dan minum.

Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun akhirnya memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris tersebut mempunyai kekuatan untuk membuat jalan di dalam air, sehingga Gajah Merik bisa mencapai tempat tujuan tanpa menyelam. Sementara, selendang tersebut bisa berubah wujud menjadi sebuah pedang.

Setelah mendapatkan kedua pusaka tersebut, Gajah Merik kembali ke istana. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat para prajurit sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Karena ia tidak ingin para prajurit melihatnya, Gajah Merik memutuskan untuk terjun ke Sungai Air Ketahuan untuk menuju Danau Tes.Dengan memegang keris pusakanya itu, Gajah Merik mampu berjalan di dalam air seakan-akan ia berjalan di daratan, dan ia tidak tersentuh dengan air sedikit pun.

Semula Gajah Merik berniat untuk kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun langsung menyelam hingga ke dasar Danau Tes. Tak perlu waktu lama, ia pun melihat tempat persembunyian si Raja Ular tersebut.

Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menuju mulut gua itu. Namun, baru saja ia hendak memasuki mulut gua tersebut, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.

“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” Ancam salah satu dari ular penjaga tersebut.

“Saya adalah Gajah Merik, saya datang ke sini hendak membebaskan abang saya.” Jawab Gajah Merik tegas.

“Kamu dilarang masuk!” cegat ular itu.

Gajah Merik merasa tertantang, maka terjadilah perkelahian sengit antara Gajah Merik dengan kedua ular penjaga tersebut. Mula-mulanya ular tersebut dapat melakukan perlawanan pada Gajah Merik, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.

Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Ia melewati setiap pintu dan selalu dihadang dua ular besar penjaga. Namun, Gajah Merik tidak pernah kalah dalam melawan para ular penjaga tersebut. Ketika akan melewati pintu ketujuh, Gajah Merik mendengar suara tertawa terbahak-bahak.

“HA..HA...HA.., anak manusia, anak manusia!”

“Hei, Raja Ular keluarlah kamu dari tempat persembunyianmu jika kau berani!” Tantang Gajah Merik.

Merasa dirinya ditantang, Raja Ular pun mendesis. Desisannya menimbulkan asap, dan kumpulan asap-asap tersebut berubah menjadi seekor ular raksasa.

“Hebat sekali! Kau anak kecil. Tidak ada seorang manusia pun yang berani masuk ke istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kesini?” Tanya Raja Ular dengan suara yang menggelegar.

“Aku Gajah Merik, putra bungsu Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam.” Aawab Gajah Merik tegas.

“Lepaskan abangmu dan calon istrinya sekarang juga! Atau aku musnahkan istana ini.” ancam Gajah Merik.

“HA...HA...HA…, dasar anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu dan calon istrinya, tetapi kau harus memenuhi syarat-syarat ku.” Ujar Raja Ular.

“Baiklah! Apa syaratnya?” Tanya Gajah Merik tegas.

“Pertama, kau harus menghidupkan kembali semua penjagaku yang sudah kau bunuh. Kedua, kau harus mengalahkan aku.” Jawab Raja Ular sambil tertawa terbahak-bahak.

“Baiklah, kalau itu maumu, dasar iblis!” Seru Gajah Merik.

Dengan ilmu kesaktiannya yang tinggi, diperoleh dari sang kakek yang datang ke mimpinya hampir tiap malam, Gajah Merik dapat menghidupkan kembali para ular penjaga yang sudah mati tadinya. Hanya dengan satu kali mengusap mata ular-ular tersebut, Gajah Merik dapat mengembalikan mereka seperti semula.

“Aku sangat kagum padamu, anak kecil! Kau telah memenuhi syarat pertamaku. Tetapi kau pasti tidak bisa memenuhi syarat kedua ku. Kau tidak akan bisa mengalahkan ku!” ujar Raja Ular dengan angkuh.

“Tunjukan saja kesaktianmu, kalau kau berani, hei Iblis!” Jawab Gajah Merik menantang.

Tanpa berpikir panjang, Raja Ular mulai mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sedari tadi sudah bersiap, dengan lincahnya ia menghindari serangan pertama dari si Raja Ular. Oleh karena itu, perkelahian sengit pun dimulai. Keduanya pun saling bergantian mengeluarkan jurus andalan masing-masing.

“Aduhhh.. Ini sakit sekali!” Jerit Raja Ular menahan rasa sakit.

Melihat Raja Ular yang sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga serangan dari Raja Ular lagi.

Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun bergegas membebaskan abangnya dan calon istrinya dari sebuah ruangan yang di kunci oleh si Raja Ular.

Sementara itu seluruh orang di kerajaan Raja Bikau Bermano dilanda kecemasan, pasalnya sang putra bungsu belum kembali ke istana selama dua minggu lamanya.

Oleh karena itu, sang Raja memerintah para hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun, sebelum para hulubalang berangkat ke Tepat Topes, salah satu mereka ditugaskan untuk menjaga di tepi Danau Tes.

Tak lama, hulubalang yang ditugaskan berjaga-jaga di Danau Tes tersebut, tergesa-gesa balik ke istana.

“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai dengan selamat.” Lapor si hulubalang.

“Ah bagaimana mungkin? Bukannya Gajah Merik masih melakukan peratapan di Tepat Topes?” Tanya sang Raja memastikan.

“Ampun, Baginda! Saya sedang berjaga-jaga di danau dan tiba-tiba saya melihat kemunculan Gajah Merik disertai dengan Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, setelah bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik tidak langsung kembali ke istana. Melainkan, ia melanjutkan perjalanannya menuju istana Raja Ular untuk menyelamatkan Gajah Meram dan Putri Jinggai.” Jelas hulubalang itu.

“Ooo, begitu.” Jawab Raja sambil tersenyum.

Tidak beberapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram dan Putri Jinggai datang ke istana dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas. Kedatangan mereka bertiga disambut dengan gembira oleh seluruh keluarga di istana.

Kabar kembalinya mereka bertiga menyebar ke pelosok negeri dengan cepat, semua orang pun ikut bergembira. Oleh karena itu, sang Raja mengadakan pesta perayaan selama tujuh hari tujuh malam, dan menyerahkan tahtanya kepada Gajah Meram.

“Ampun, Ayahanda! Tetapi, yang paling berhak atas takhta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini dan ia juga telah menyelamatkan saya dan Putri Jinggai.” Kata Gajah Meram.

“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakan kamu menjadi Raja dari istana yang kita banggakan ini, anakku?” Tanya sang Raja kepada Gajah Merik.

“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi ananda mempunyai satu permintaan.” jawab Gajah Merik memberi syarat.

“Apakah permintaanmu itu, putraku?” Tanya sang Raja Penasaran.

“Jika Ananda menjadi, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular beserta pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” Pinta Gajah Merik kepada ayahnya.

Permintaan Gajah Merik pun dikabulkan oleh Raja. Akhirnya si Raja Ular dan pengikutnya yang berhasil di taklukkan menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam. Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Dan sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah pondok Lucuk. Oleh karena itu masyarakat sana sangat menjaga ucapan mereka saat melintasi danau tersebut, dan mereka percaya jika mereka berkata sembrono, akan ada hal buruk yang menimpa mereka.[1]

Asal-usul[sunting | sunting sumber]

Legenda Ular Kepala Tujuh merupakan cerita yang berasal dari kabupaten Lebong, Bengkulu yang berada di Pulau Sumatera.

Kabupaten Lebong adalah salah sebuah kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Kabupaten Lebong beribu kota di Tubei. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No. 39 Tahun 2003.

Kabupaten ini terletak di posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl. Secara Administratif Kabupaten Lebong terdiri atas 13 Kecamatan dengan 11 kelurahan dan 100 desa. Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha (belum termasuk luas kecamatan Padang Bano yang masih bersengketa dengan Kabupaten Bengkulu Utara).

Analisis Karakter[sunting | sunting sumber]

Raja Bikau Bermano[sunting | sunting sumber]

Sang Raja mempunyai sikap yang tegas dan baik hati serta menjalankan tugasnya sebagai raja dengan baik. Saat salah satu putranya berserta sang calon istri putranya menghilang secara tiba-tiba, raja mengumpulkan semua orang di kerajaan untuk berdiskusi. Hal tersebut menunjukan bahwa Raja Bikau Bermano mencari solusi dengan diskusi/musyawarah.

Gajah Merik[sunting | sunting sumber]

Gajah Merik merupakan seorang anak raja yang tidak sombong dah senang membantu sanak saudaranya.Ia membantu untuk menemukan Gajah Meram beserta Putri Jinggai tanpa memikirkan ganjaran apapun, yang berarti Gajah Merik tidak serakah dan ia juga seorang pemberani karena telah memberanikan diri untuk mengalahkan si Raja Ular.

Putri Jinggai[sunting | sunting sumber]

Putri Jinggai merupakan calon istri dari Gajah Meram.

Hulubalang[sunting | sunting sumber]

Para hulubalang kerajaan merupakan orang-orang pekerja keras dan taat aturan serta menjunjung rasa sopan - santun yang tinggi. Hulubalang sentiasa menjalankan perintah dari sang Raja, dan mereka selalu mengerjakan perintah itu dengan sebaik mungkin.

Tun Tuai[sunting | sunting sumber]

Tun Tuai merupakan orang tua yang berasal dari kerjaan dimana Putri Jinggai tinggal, Tun Tuai berani memberikan opini yang berupa fakta dengan jujur kepada raja, hal tersebut bertujuan untuk membantu sang Raja menemukan putranya dan calon istri dari putranya tersebut. Selain itu Tun Tuai juga memiliki sopan - santun yang tinggi terhadap raja.

Permaisuri Raja[sunting | sunting sumber]

Permaisuri raja merupakan istri dari Raja Bikau Bermano dan ibu dari kedelapan anak Raja.

Raja Ular[sunting | sunting sumber]

Raja Ular merupakan penghuni dari Danau Tes, ia memiliki istana besar berbentuk seperti gua di dasar Danau Tes. Sifatnya sangat licik dan kejam. Ia memiliki kesaktian yang ditakuti banyak orang.

Penjaga Istana Raja Ular[sunting | sunting sumber]

Para penjaga istana di kerajaan Raja Ular memiliki kesaktian, tetapi kesaktian itu dapat dikalakan oleh Gajah Merik, hal tersebut membuat para ular penjaga tak berdaya melawan Gajah Merik. Para ular penjaga tersebut mempunyai sifat yang suka meremehkan orang lain dan mereka sangatlah angkuh.

Amanat[sunting | sunting sumber]

Cerita ini mengandung banyak sekali nilai mengenai keberanian dan kerendahan hati. Gajah Merik, anak bungsu sang raja, memiliki keberanian yang sangat besar karena berani melawan Raja Ular meskipun usianya yang masih berumur 13 tahun. Ketika ditantang oleh sang Raja Ular, Gajah Merik tidak kabur dan menerima tantangan itu agar abang dan istri abangnya dapat terbebas dari Raja Ular.

Selain itu, Gajah Merik juga merupakan seorang yang rendah hati. Meski memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah sekalipun membanggakan dan memamerkannya kepada orang lain.

Gajah Merik juga merupakan seorang yang pemaaf. Pada akhir cerita, Gajah Merik memperbolehkan Raja Ular dan pengawalnya menjadi hulubalang kerajaan yang melindungi Danau Tes.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ PedomanBengkulu.com. "Legenda Ular Kepala Tujuh dalam Cerita Rakyat Bengkulu | Pedoman Bengkulu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-16. Diakses tanggal 2021-05-16. 
  2. ^ "Legenda Ular Kepala Tujuh & Ulasan Menariknya". PosKata. Diakses tanggal 2021-05-16.