Lompat ke isi

Ibrahim bin Fadlil

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kyai Ibrahim)

Ibrahim bin Fadlil
Ketua Umum Muhammadiyah ke-2
Masa jabatan
23 Februari 1923 – 1934
Informasi pribadi
Lahir7 Mei 1874
Meninggal13 Oktober 1932(1932-10-13) (umur 58)
AgamaIslam
PasanganSiti Moechidah
Moesinah
Orang tua
  • K. H. Fadlil Rachmaningrat (ayah)
DenominasiSunni

K. H. Ibrahim bin Fadlil (7 Mei 1874 – 13 Oktober 1932). Ia adalah ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan K. H. Ahmad Dahlan. K. H. Ibrahim adalah putra K. H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwana VII dan ia adalah adik kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. K. H. Ibrahim adalah ulama yang hafal Al-Quran (Hafiz), ahli seni baca Al-Quran (Qira'at), serta mahir dalam berbahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak didirikan di berbagai wilayah di Indonesia.

K. H. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra dari K. H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwana VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim bin Fadlil menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. Kiai Ibrahim kemudian menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari K. H. Abdulrahman dan adik kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

Kiai Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit agak lama.

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Masa kecil Ibrahim bin Fadlil dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu K. H. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

[sunting | sunting sumber]

Setibanya di tanah air dari menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Ibrahim mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, dan banyak orang mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh Kiai Ibrahim memakai metode sorogan dan weton. Sorogan adalah mengaji dengan diajar satu per satu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu; sedangkan weton adalah kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton.

Sebelum K. H. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan agar kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula Kiai Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya akhirnya ia bersedia menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

K. H. Ibrahim termasuk seorang yang cerdas, luas wawasannya, dalam ilmunya dan disegani. Ia adalah seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan ahli qira'ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan Kiai Ibrahim, Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan Kiai Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air di bawah kepemimpinannya.

Kiai Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah agar rajin beramal dan beribadah melalui sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh, dan bagian Taman Poestaka.

Peristiwa penting

[sunting | sunting sumber]

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan dia. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
  • K. H. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia lebih banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerja sama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang bertujuan untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar karena Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerja sama dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan K. H. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak benar.
  • Pada periode kepemimpinan K. H. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus memilihnya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
Didahului oleh:
Ahmad Dahlan
Ketua Umum Muhammadiyah
1923—1932
Diteruskan oleh:
Hisjam bin Hoesni