Kultur simbolis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kultur simbolis adalah suatu konsep yang digunakan oleh arkeolog, [1] [2] [3] sosial antropolog [4] [5] dan sosiolog [6] untuk membedakan dunia kultural yang dibentuk dan dihuni secara unik oleh Homo sapiens dengan "kultur" biasa, yang banyak dimiliki juga oleh hewan lain. Kultur simbolis mensyaratkan tidak hanya kemampuan untuk belajar dan menyebarkan tradisi kebiasaan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Ia membutuhkan penemuan dari semua jenis barang-barang baru, sesuatu yang tidak ada di dunia 'nyata' tapi secara keseluruhan ada di alam simbolis. Contohnya pada konsep seperti baik dan jahat, penemuan mitos seperti dewa-dewi dan neraka, dan konstruksi sosial seperti janji dan permainan sepak bola. [7] Kultur simbolis adalah suatu domain dari fakta objektif yang keberadaannya bergantung, secara paradoks, pada kepercayaan kolektif. Sistem mata uang, contohnya, hanya ada selama orang-orang terus percaya terhadapnya. Saat kepercayaan pada fakta-fakta mata uang runtuh, fakta-fakta itu sendiri langsung lenyap. Hal yang sama berlaku pada kewarganegaraan, pemerintahan, pernikahan dan banyak hal lainnya yang masyarakat di kultur kita sendiri menganggapnya sebagai 'nyata'. Konsep dari kultur simbolis diambil dari semiotika, dan menekankan cara di mana perbedaan kultur manusia dimediasi lewat tanda dan konsep. Aspek simbolis dari perbedaan kultur manusia telah ditekankan dalam antropologi oleh Emily Durkheim, Claude Lévi-Strauss, Clifford Geertz, dan banyak lainnya.

Kemunculan evolusioner[sunting | sunting sumber]

Dari sudut pandang Darwinian, kultur simbolis telah dibuktikan susah untuk dijelaskan. Salah satu kesulitannya adalah bahwa konsep itu sendiri sering tampak tidak tetap dan secara filosofi tidak dapat diterima oleh ilmuwan alam. Ilmu modern kemudian berdiri sebagai oposisi terhadap ide bahwa fiksi yang diterima secara kultural dapat disamakan dengan fakta. Tetap saja konsep dari kultur simbolis mengharuskan kita memahami kemungkinan paradoks tersebut. Jauh sebelum penemuan Internet pada akhir abad ke-20, evolusi membolehkan manusia berganti-ganti antara dua alam, realitas di satu sisi, virtual realitas di sisi lain. Kultur simbolis adalah suatu lingkungan dari entitas-entitas virtual yang memiliki kekurangan pasangannya di dunia nyata.

Pernah dianggap bahwa seni dan kultur simbolis muncul permata kali di Eropa sekitar 40.000 tahun lalu, selama transisi Paleolitik Tengah-ke-Atas -- sering diistilahkan dengan 'ledakan simbolis' atau 'revolusi Paleolitik Atas'. Beberapa arkeologis masih memegang pandangan ini. Yang lain sekarang menerima bahwa kultur simbolis mungkin muncul di sub-Sahara Afrika jauh lebih awal, selama periode yang dikenal dengan Zaman Batu Pertengahan. [8] Bukti-buktinya terdiri dari tradisi dari okre tanah dengan pilihan yang kuat pada warna merah, contohnya yang disebut dengan okre 'krayon' yang tampak telah digunakan secara sengaja untuk merancang, mungkin pada badan, dan ukiran geometris dengan balok okre. Semua ini tampaknya membentuk suatu bagian dari industri kosmetik sekitar 100.000 dan 200.000 tahun lalu. [9] Salah satu teori adalah hal tersebut merupakan bukti bagi suatu tradisi ritual. [10] Sebagai tambahan, sekitar 100.000 tahun lalu, kita telah menguntai kerang-kerang yang tampaknya memperlihatkan tanda-tanda pemakaian, menyarankan bahwa kerang tersebut diikatkan bersama untuk membentuk kalung. Jika tradisi okre diinterpretasikan secara benar, ia merupakan bukti bagi 'seni' pertama di dunia -- suatu aspek dari 'kultur simbolis' -- dalam bentuk ornamen pribadi dan lukisan badan. [11] Pandangan alternatif adalah sistem dekoratif pigmen hanyalah penampilan individu, belum tentu menandakan ritual, sedangkan tradisi manik-manik memberi kesaksian tentang bahasa, hubungan yang diresmikan dan ritual secara keseluruhan dan kultur simbolis. [12] [13]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Marshack, A. 1972. The Roots of Civilization. The cognitive beginnings of man’s first art, symbol and notation. London: Weidenfeld and Nicolson.
  2. ^ Chase. P. G., 1994. On symbols and the palaeolithic. Current Anthropology 35(5), 627-9.
  3. ^ Watts, I., 1999. The Origins of Symbolic Culture, in R. Dunbar, C. Knight, C. Power, (eds) The Evolution of Culture: An Interdisciplinary View, Edinburgh University Press.
  4. ^ Geertz, C. 1973. Interpreting Cultures. New York: Basic Books.
  5. ^ Knight, C. 2010. The origins of symbolic culture. In U. Frey, C. Stormer and K. P. Willfuhr (eds), Homo Novus - A Human Without Illusions. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, pp. 193-211.
  6. ^ Durkheim, E., 1965 [1912]. The Elementary Forms of the Religious Life. New York (NY): Free Press.
  7. ^ Chase. P. G., 1994. On symbols and the palaeolithic. Current Anthropology 35(5), 627-9.
  8. ^ Henshilwood, C. and C. W. Marean 2003. The origin of modern human behavior. Diarsipkan 2020-07-30 di Wayback Machine. Current Anthropology 44(5): 627-651.
  9. ^ Knight, C., C. Power and I. Watts, 1995. The Human Symbolic Revolution: A Darwinian Account. Diarsipkan 2020-08-01 di Wayback Machine. Cambridge Archaeological Journal 5(1): 75-114.
  10. ^ Watts, I. 2009. Red ochre, body painting, and language: interpreting the Blombos ochre. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 62-92.
  11. ^ Power, C. 2010. Cosmetics, identity and consciousness. Journal of Consciousness Studies 17, No. 7-8, pp. 73-94.
  12. ^ Henshilwood, C. S. and B. Dubreuil 2009. Reading the artifacts: gleaning language skills from the Middle Stone Age in southern Africa. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 41-61.
  13. ^ Kuhn, S. L. and Stiner, M. C. 2007. Body ornamentation as information technology: towards an understanding of the significance of beads. In P. Mellars, K. Boyle, O. Bar-Yosef and C. Stringer (eds), Rethinking the Human Revolution, Cambridge: McDonald Institute Research Monographs, pp. 45-54.

Templat:Kultur