Protes anti pemerintah sedang berlangsung di Thailand sejak awal November 2013. Setelah stabilitas yang cukup memuaskan selama 3 tahun, demonstrasi di Bangkok kembali terjadi sebagai bentuk ketidakpuasan kepada Perdana MenteriYingluck Shinawatra, dipicu oleh RUU amnesti yang diusulkan untuk mempermudah kembalinya mantan perdana menteri, Thaksin Shinawatra, yang sedang diasingkan. RUU ini disahkan oleh Partai Pheu Thai yang mendominasi DPR pada 1 November, dan menimbulkan perlawanan dari Partai Demokrat dan gerakan yang mendukung pemerintah, Kaos Merah. RUU tersebut kemudian ditolak oleh Senat pada 11 November, tetapi unjuk rasa, yang dipimpin oleh Suthep Thaugsuban, semakin menjadi-jadi.
Pada 20 November 2013, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perubahan terhadap UUD kerajaan adalah tidak sah. Tetapi Partai Pheu Thai tidak menyetujui keputusan tersebut karena mereka beranggapan bahwa MK tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Unjuk rasa anti pemerintah terus meningkat sampai akhir pekan, namun Kaos Merah juga menggelar unjuk rasa yang mendukung pemerintah. Pada 25 November, para pengunjuk rasa mulai mengepung balai-balai pemerintahan. Selama ini, unjuk rasa digelar damai, sampai terjadinya bentrokan antara kelompok anti pemerintah dengan kelompok pendukung pemerintah pada 30 November dan 1 Desember yang mengakibatkan 4 orang tewas dan 57 terluka. Meningkatnya protes pada 1 Desember ditunjukkan dengan terjadinya bentrokan antara demonstran dengan aparat kepolisian, yang menembakkan gas air mata dan meriam air untuk menghalau para demonstran yang berjalan menuju Thamniap Ratthaban, dengan 119 orang terluka. Pada 3 Desember, aparat kepolisian mulai membubarkan barisan mereka dan memperbolehkan para pengunjuk rasa untuk memasuki kawasan yang dilarang sebagai penghormatan terhadap Hari Ulang Tahun Raja Bhumibol Adulyadej,[6] walaupun demonstran akan tetap melanjutkan gerakan mereka untuk memberantas "pengaruh Thaksin influence" dari pemerintahan Kerajaan Thailand.