Konservasi tumbuhan obat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Minimnya perhatian terhadap tumbuhan obat dikarenakan bahwa lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obat hanya terdapat 1.000 jenis saja yang sudah didata, dan baru sekitar 300 jenis yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional oleh masyarakat.[1] Konservasi tumbuhan obat (KTO) adalah salah satu alat untuk memenuhi pengetahuan masyarakat lokal di daerah pedalaman tentang pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Mulainya pengetahuan tentang tumbuhan obat sejak dilakukannya percobaan pada berbagai tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tradisi pemanfaatan tumbuhan obat pada sebagian percobaan telah dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, namun masih banyak yang belum tercatat secara ilmiah dan disebarluaskan melalui publikasi-publikasi[2]

Penggunaan tumbuhan obat sangat beraneka ragam, dapat dipergunakan sebagai obat kuat (tonikum), sebagai obat penyakit maupun tujuan untuk mempercantik diri (kosmetika).[3] Namun, pengenalan tentang tanaman obat masih terlalu minim, apalagi untuk memanfaatkan dalam bentuk segar atau dalam bentuk lainnya. Hal ini disebabkan karena pada zaman sekarang ini lebih mudah dalam melakukan pengobatan modern yang didukung oleh segala fasilitas dan pelayanannya. Selain itu, layanan pengobatan modern juga hampir tersedia diseluruh pelosok Indonesia.

Peran tumbuhan obat tradisional di Indonesia sangat penting terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang fasilitas kesehatannya masih sangat terbatas. Obat-obatan tradisional yang berasal dari tumbuhan di sekitar pekarangan rumah maupun yang tumbuh liar di semak belukar dan hutan-hutan telah dikenal sejak zaman nenek moyang kita. Masyarakat sekitar kawasan hutan memanfaatkan tumbuhan obat yang ada sebagai bahan baku obat-obatan berdasarkan pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat yang diwariskan secara turun-temurun.[4] Dimulai saat zaman nenek moyang peranan tumbuhan obat sangat terbatas pada sekelompok daerah tertentu dan pada keadaan tertentu, serta dipengaruhi pula oleh kepercayaan tertentu serta mantera-mantera yang diyakini mempunyai kekuatan penyembuh bila digunakan oleh orang-orang tertentu seperti dukun[5]. Oleh karena itu perlunya perhatian dan informasi mengenai konservasi tumbuhan obat untuk mengembangkan pengetahuan masyarakat mengenai tumbuhan obat dalam penggunaannya di kehidupan sehari-hari.

Sejarah Tumbuhan Obat[sunting | sunting sumber]

Praktek etnobiologi sebenarnya sudah ada sejak bangsa Yunani Kuno berjaya sekitar tahun 800 SM. Namun dalam catatan sejarah, perkembangan etnobiologi dibagi dalam 3 fase utama. Fase awal merupakan fase yang bersifat elementer dimana sejatinya kajian etnobiologi lebih fokus pada hubungan antara masyarakat tradisional dengan biodiversitas disekitar. Fase kedua lebih terfokus pada studi konsepsi manusia dan klarifikasi mengenai alam. Kemudian pada fase ketiga terjadi perkembangan pesat dengan kajian yang bersifat narasi serta deskripsi objek secara cermat dan tepat.[6]

Sejarah awal perkembangan etnobiologi di dunia sering dikaitkan dengan tokoh penjelajah seperti Christopher Columbus (1492-1620) yang dalam catatannya Colombus menemukan pemanfaatan tembakau (Nicotina tabacum) di Cuba.[7] Colombus melakukan pengamatan dan pendokumentasian aneka ragam penggunaan jenis-jenis tumbuhan dan hewan oleh berbagai kelompok penduduk tradisional.[8] Kemudian pada tahun 1900-an diperkenalkanlah etnoekologi melalui sebuah disertasi berjudul “Hanunoo Culture to the Plant World” yang ditulis Coklin. Pada kajian ini mendokumetasi tentang sistem sistem klasifikasi dari penduduk lokas tentang berbagai jenis tumbuhan, binatang, tanah, air, iklim, tipe-tipe vegetasi, tingkat-tingkatan suksesi ekologi vegetasi dan berbagai tataguna lahan.[9] Tahun 1990-an muncul berbagai pengetahuan tradisional yang menjadi landasan studi etnobiologi hingga saat ini. Kemudian studi etnobiologi dimanfaatkan berbagai program seperti pembangunan,pertanian, peternakan, konservasi, pengobatan, dan lain-lain.[10]

Tercatat sejarah etnobotani Indonesia berawal dari abad ke-18 dimana Rhumpius membuat Herbarium Amboinenses yang mengarah pada ekonomi botani. Lalu pada 1845 Hasskarl mencatat lebih dari 900 penggunaan tumbuhan di Indonesia.[7] Kemudian tahun 1982 muncul sebuah gagasan dimana Prof. Sarwono Prawirohardjo yang menjabat sebagai ketua LIPI, membangun sebuah museum etnobotani di Balai penelitian Botani Puslit Biologi dan diresmikan pada 18 Mei 1982 oleh Bapak B.J. Habibie selaku Menristek pada waktu itu.[11]

Pentingnya Konservasi Tumbuhan Obat[sunting | sunting sumber]

Indonesia memiliki kurang lebih 30.000 jenis tumbuhan obat dari 40.000 jenis yang telah dikenal di dunia. Sebanyak 90% tumbuhan obat berasal dari wilayah asia dan dari jumlah tersebut sekitar 25% tumbuhan obat sudah diketahui khasiatnya.[12] Tumbuhan obat dikategorikan sebagai tanaman biofarmaka di Indonesia.[13] Komoditas dengan kontribusi terbesar adalah jahe sebesar 37,98%. Sedangkan, dengan kontribusi terendah adalah jenis tumbuhan obat selain jahe, kunyit, kapulaga, laos/lengkuas, dan kencur sebesar 5%.[14] Potensi ini berkontribusi pada sektor ekonomi Indonesia. Tumbuhan obat termasuk dalam sub sektor hortikultura. produktivitas tanaman obat khususnya pada jahe pada tahun 2021 di Indonesia sebanyak 183.517.778 kg. Nilai Tukar Petani hortikultura pada tahun 2021 yang tertinggi terdapat pada bulan Agustus sebesar 107,10 dan mengalami penurunan pada bulan Oktober dengan nilai NTP sebesar 99,45. Nilai yang lebih dari 100 menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dari konsumsi sehingga mendapatkan surplus penjualan.[15] Diantara tumbuhan obat tersebut, terdapat 44 spesies yang dikategorikan langka di Indonesia, seperti pulasari, kedawung, jambe, pasak bumi, gaharu, dan sanrego.[16][17]

Keberadaan tumbuhan obat harus tetap dijaga agar tidak punah melalui kegiatan konservasi. Prinsip konservasi terdiri dari kegiatan perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan.[18] Keberadaan tumbuhan obat seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Kurangnya pengetahuan mengenai pengenalan jenis dan manfaatnya menjadi salah satu penyebab. Salah satunya yaitu aspek budidaya tanaman obat terutama tanaman herbal yang rendah permintaan pasarnya atau yang keberadaan di alam masih melimpah, belum banyak diteliti sehingga informasinya terbatas.[19] Seseorang yang mengetahui mengenai manfaat tumbuhan obat akan menjaga keberadaannya dengan tidak merusak atau mengeksploitasi secara berlebihan. Oleh karena itu, prinsip konservasi ini harus diterapkan pada setiap segi kehidupan. Dibutuhkan aksi yang kolektif untuk menjaga keberadaannya. Namun, kepedulian terhadap tumbuhan obat semakin menurun.[20] Berdasarkan hal tersebut, diperlukan aksi konservasi tumbuhan obat untuk mendukung keberlangsungannya melalui pengetahuan untuk menanamkan prinsip konservasi tersebut.

Metode Konservasi Tumbuhan Obat[sunting | sunting sumber]

Pengguanaan obat-obatan tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat indonesia. Tidak hanya diolah menjadi jamu-jamuan, tumbuhan obat sekarang telah menjarah ke dunia industri farmasi.[21] Pernyataan ini sesuai dengan,[22] pola hidup manusia yang telah mengalami perubahan yaitu beralih ke obat-obatan tradisional dengan mengurangi obat-obatan kimia yang sesuai dengan konsep kembali ke alam. Peralihan ini menyebabkan permintaan akan bahan baku obat-obatan tradisional semakin meningkat. Meningkatnya bahan baku ini, maka diperlukan upaya untuk memenuhi kebutuhan sekaligus menjaga agar ekosistem tumbuhan obat tetap terjaga. Terdapat 4 strategi untuk melakukan konservasi tumbuhan obat, yaitu konservasi tumbuhan obat in-situ, konservasi tumbuhan obat ex-situ, membangun stakeholders, dan kerjasama internasional.[23] Keempat strategi tersebut dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:

1. Konservasi Tumbuhan Obat In-situ[sunting | sunting sumber]

Pelaksanaan konservasi tumbuhan obat di dalam kawasan konservasi terkait dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2011[24] tetang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pada peraturan ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat sekitar untuk dapat memanfaatkan obat-obatan yang ada di kawasan hutan. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1999 Pasal 35,[25] pemerintah memberikan izin pemanfaatan jenis tumbuhan liar yang berasal dari habitat alam diperbolehkan untuk keperluan budidaya tumbuhan obat dengan tetap menjaga kelangsungan potensi, populasi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan liar. Pemerintah dalam pengambilan kebijakan, harus mencakup identifikasi kawasan di indonesia yang diprioritaskan untuk kelestarian tumbuhan obat, sarana dan teknik dalam inventaris tumbuhan obat dalam kawasan konservasi, tenik dan prosedur pengkoleksian, mekanisme yang diperbolehkan untuk masyarakat menpatkan kesejahteraan ekonomi, pelatihan penelolaan kawasan, dan pendidikan untuk masyarakat tentang tumbuhan obat.[23]

2. Konservasi Tumbuhan Obat Ex-situ[sunting | sunting sumber]

Konservasi tumbuhan obat Ex-situ dapat dilakukan melalui Pembangunan kebun botani dan pengembangan budidaya tumbuhan obat.[23] Pembangunan kebun botani dapat dilakukan dengan membangun kebun botani yang berkerjasama dengan pemerintah setempat atau lembaga lainnya serta dapat dilakukan dengan mengkoleksi biji di dalam Bank Biji. Pengembangan budidaya tumbuhan obat dapat dilakuakan dengan koordinasi antara disiplin ilmu seperti pertanian, kehutanan dan kesehatan.[23] Sesuai dengan Nu,[22] pensingkronan penelitian etnobotani kehutanan dengan teknologi farmasi merupakan salah satu upaya konservasi keanekaragaman hayati.

3. Membangun Stakeholders[sunting | sunting sumber]

Pelaksanaan konservasi tidak dapat dilakukan hanya dengan satu pihak sehingga memerlukan adanya stakeholders terkait. Stakeholders yang dimaksud yaitu masyarakat yang memiliki pola pemikiran efisien dalam penggunaan kehati khususnya tumbuhan obat, penyuluhan dan pendidikan konservasi berbasis etnobotani diperlukan untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat. Pembukaan lapangan pekerjaan di bidang Agroindustri-Wanafarm juga dapat dilakuakan untuk membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat sehingga pemanfaatan tumbuhan obat secara ilegal dan berlebihan dapat di kendalikan.[23]

4. Kerjasama Internasional[sunting | sunting sumber]

UU No 11 tahun 2013 tentang Protokol Nagoya,[26] pemerintah berkomitmen dalam upaya Convention on Biological Diversity. Karena perjanjian ini Indonesia mendapat manfaat positif yaitu indonesia menciptakan peluang untuk alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati berkelanjutan.

Klasifikasi Tumbuhan Obat[sunting | sunting sumber]

Indonesia merupakan negara biodiversitas yang memiliki potensi hutan tropika yang sangat tinggi.[27] Hingga tahun 2000, telah ditemukan sebanyak 1.845 jenis tumbuhan obat berada di ekosistem hutan alam Indonesia. Selain itu, Indonesia juga kaya akan pengetahuan tradisiona[23]l. Indonesia memiliki lebih dari 300 etnis masyarakat dan sebagian besar diantaranya telah melestarikan pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat.[28] Potensi ini perlu dimuat dalam suatu pangkalan data yang rapi serta berstandar internasional agar dapat digunakan baik dalam upaya konservasi, maupun kerjasama antar lembaga penelitian secara global. Proses membangun suatu pangkalan data yang baik membutuhkan sistem klasifikasi yang tepat sesuai dengan tujuan dibangunnya pangkalan data tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sistem klasifikasi tumbuhan obat yang resmi dan paten supaya tidak menimbulkan kekacauan di masa yang akan datang.

Umumnya metode klasifikasi tumbuhan obat dapat dikelompokkan menjadi metode klasifikasi klasik dan kontemporer.[29] Perbedaan mendasar antara kedua metode tersebut terletak pada pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode klasifikasi klasik menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan, klasifikasi kontemporer menggunakan pendekatan kuantitatif matematis sebagai dasar klasifikasi. Belakangan ini, perkembangan teknologi melahirkan bidang taksonomi numerik sehingga komputer dapat membantu dalam melakukan perhitungan dengan cepat dan tepat, serta hasil kesimpulannya selalu dapat diuji melalui observasi dan eksperimen.[29]

Metode klasik dapat dibagi menjadi klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan organ tumbuhan, kelompok penyakit, dan habitus. Metode ini lebih umum, mudah dipahami, dan dikenal oleh masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar. Klasifikasi berdasarkan organ tumbuhannya, terbagi menjadi 15 kelompok, berdasarkan kelompok penyakitnya, paling sedikit, terbagi menjadi 25 kelompok, dan berdasarkan habitusnya terbagi menjadi 8 kelompok.[23]

Metode klasifikasi tumbuhan obat kontemporer biasanya menggunakan ciri morfologi daun, karena daun merupakan organ yang senantiasa muncul sepanjang hidup tumbuhan. Penggunaan ciri morfologi daun dalam klasifikasi kontemporer dilakukan dengan berbagai pendekatan algoritma matematis untuk mendapatkan hasil identifikasi dan klasifikasi yang baik.[30][31] Metode ini dapat mengklasifikasikan tumbuhan lebih akurat meskipun prosesnya hanya bisa dilakukan oleh para ahli.

Pengelolaan Tumbuhan Obat[sunting | sunting sumber]

Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Permenkes RI No. 007 Tahun 2012).

Tumbuhan obat dapat diolah dengan direbus (jamu godok) yang telah banyak digunakan untuk pengobatan, karena manfaatnya sudah dirasakan dan efek samping yang ringan, serta mudah didapatkan. Cara pemanfaatan lainnya secara turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat dengan dimakan langsung (dilalap), direbus, dibuat teh, di jus.[32] Hal ini karena masyarakat meyakini bahwa tumbuhan obat yang mengandung senyawa kimia alami, memiliki efek farmakologis dan bioaktivitas yang penting terhadap penyakit infeksi sampai penyakit degeneratif. Saat ini informasi mengenai klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan menyediakan tanaman obat sudah banyak terutama di puskesmas.[33] Selain itu, pengonsumsian tumbuhan obat dapat dilakukan dengan cara diminum. Tumbuhan obat yang dilakukan dengan diminum merupakan cara yang dipercaya dapat menimbulkan reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan cara penggunaan lainnya.[34] Penggunaan tumbuhan obat dengan cara diminum biasanya digunakan untuk mengobati penyakit organ dalam, sedangkan cara dioles, dibalurkan dan ditetes digunakan untuk mengobati penyakit luar.[35] Contoh tumbuhan obat yang pemanfaatannya dengan direbus dan diminum adalah pemakaian daun sirsak (Annona muricata) untuk mengobati penyakit paru. Pemakaian yang dihaluskan lalu dioleskan untuk mengobati luka gores yaitu daun Jukut bau (Ageratum conyzoides).

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hariana, Arieh (2017). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penebar Swadaya. 
  2. ^ Windadri, Florentina Indah; Rahayu, Mulyati; Rustiami, Himmah (2006). "Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Bahan Obat Oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara". Jurnal Biodiversitas. 7 (4): 333–339. 
  3. ^ Haharap F.H. 2007. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. https://docplayer.info/78738442-Pemanfaatan-tumbuhan-obat-oleh-masyarakat-sekitar-taman-nasional-batang-gadis-tnbg-skripsi-oleh.html
  4. ^ Hidayat, Deden; Hardiansyah, Gusti (2012). "Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Kawasan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Camp Tontang Kabupaten Sintang" (PDF). Jurnal Vokasi. 8 (2): 61–68. 
  5. ^ Zein, Umar (2005). "Pemanfaatan Tumbuhan Obat Dalam Upaya Pemeliharaan Kesehatan". Jurnal Universitas Sumatera Utara Medan. 23: 1–7. 
  6. ^ Iskandar, Johan (2016). "Etnobiologi dan Keragaman Budaya di Indonesia". Umbara : Indonesian Journal of Anthropology. 1 (1): 27–42.  horizontal tab character di |journal= pada posisi 29 (bantuan)
  7. ^ a b Acharya, Deepak; Anshu (2008). Indigenous Herbal Medicines: Tribal Formulations and Traditional Herbal Practices. Jaipur: Aavishkar Publishers Distributor. 
  8. ^ Cotton, Caterine (1996). Ethnobotany: Principles and Applications. England: John Willey and Sons.Ltd. 
  9. ^ Martin, GJ (1995). Ethnobotany: A Methods Manual - Gary J. Martin - Google Buku. London: Chapman & Hall. 
  10. ^ Permana, Sidik (2016). Antropologi Perdesaan dan Pembangunan Berkelanjutan - Sidik Permana - Google Buku. Yogyakarta: Deepublish. 
  11. ^ Dimyati, Edi (2014). [Panduan Sang Petualang - 31 Museum di Jawa Barat + Banten - Edi Dimyati - Google Buku Panduan Sang Petualang-31 Museum di Jawa Barat + Banten] Periksa nilai |url= (bantuan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
  12. ^ Salim, Zamroni; Munadi, Ernawati (2017). Info Komoditi Tanaman Obat (PDF). Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-09. Diakses tanggal 2021-12-07. 
  13. ^ Khalida, Rakhmi; Bharata, Hudi Kusuma (2020). "Analisa Komparasi Tiga Metode Data Mining dalam Prediksi Impor Komoditas Tanaman Biofarmaka". Jurnal Ilmu Komputasi. 19 (2). 
  14. ^ Kementan. 2015. Statistika Produksi Hortikultura Tahun 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian.
  15. ^ BPS. 2021. Nilai Tukar Petani. [diakses 2021 Nov 13]. https://www.bps.go.id/subject/22/nilai-tukar-petani.html.
  16. ^ Rifai, Mahmoad Al; Rugayah; Widjaja, Elizabeth Anita (1992). Tiga puluh tumbuhan obat langka Indonesia. Bogor: Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia. 
  17. ^ Zuhud, Evrizal A; Haryanto (1994). Pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. 
  18. ^ UU. 1990. Undang-Undang no 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
  19. ^ Evizal, Rusdi (2013). Tanaman rempah dan fitofarmaka. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 
  20. ^ Ismawati, Lisa (2019). "Potensi tumbuhan liar sebagai obat tradisional masyarakat di kecamatan bluto". Seminar Nasional Optimalisasi Sumberdaya Lokal di Era Revolusi Industri 4.0: 107–111. 
  21. ^ Dewi, Resmi; Nur (2021). "Analisis cemara kapang/khamir pada serbuk simplisi obat tradisional di Pasar Tradisional Aceh". Jurnal Farmasi Udayana. 10 (1): 86–92. doi:https://doi.org/10.24843/JFU.2021.v10.i01.p10 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  22. ^ a b Nugroho, Ardiyanto W (2017). "Konservasi keanekaragaman hayati melalui tumbuhan obat dalam hutan di Indonesia dengan teknologi farmasi". Jurnal Sains dan Kesehatan. 1 (7): 337–383. doi:https://doi.org/10.25026/jsk.v1i7.71 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  23. ^ a b c d e f g Zuhud, Ervizal AM (2018). Buku Ajar Mata Kuliah Konservasi Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor: IPB Press. 
  24. ^ Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2011tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alamhttps://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5157#:~:text=PP%20No.%2028%20Tahun%202011,Pelestarian%20Alam%20%5BJDIH%20BPK%20RI%5D
  25. ^ Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1999 Pasal 35 tentang izin pemanfaatan jenis tumbuhan liar http://www.bphn.go.id/data/documents/99pp008.pdf
  26. ^ UU No 11 tahun 2013 tentang Protokol Nagoya https://jdih.bumn.go.id/lihat/UU%20Nomor%2011%20Tahun%202013 Diarsipkan 2021-12-07 di Wayback Machine.
  27. ^ Kusmana, Cecep; Hikmat, Agus (2015). "Keanekaragaman hayati flora di Indonesia". Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkung. 5 (2): 187–199. 
  28. ^ Na’im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, Dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 
  29. ^ a b Tjitrosoepomo, Gembong (1993). Taksonomi Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University. ISBN 978-602-386-819-3. 
  30. ^ Rajani, Shankar; Veena (2018). "Study on identification and classification of medicinal plants" (PDF). International Journal of Advances Science Engineering and Technology. 6 (2): 13–18. 
  31. ^ Saputra, Kana; Perangin-angin, Mochammad Iswan (2018). "Klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan ekstraksi fitur morfologi daun menggunakan jaringan syaraf tiruan". Jurnal Informatika. 5 (2): 169–174. 
  32. ^ Hadi, Etik Erna Watu; Widyastuti, Siti Muslimah; Wahyuono, Subagus (2015). [KEANEKARAGAMAN DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN BAWAH PADA SISTEM AGROFORESTRI DI PERBUKITAN MENOREH, KABUPATEN KULON PROGO (Diversity and Untilization of Understorey in Agroforestry System of Menoreh Hill, Kulon Progo Regency) | Hadi | Jurnal Manusia dan Lingkungan (ugm.ac.id) "Keanekaragaman dan Pemanfaatan Tumbuhan Bawah Pada Sistem Agroforestri di Perbukitan Menoreh, Kabupaten Progo"] Periksa nilai |url= (bantuan). Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23 (3): 206–215. 
  33. ^ Ahmad, AF (2012). Analisis Penggunaan Jamu Untuk Pengobatan Pada Pasien Di Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus Tawangmangu. Depok: Universitas Indonesia. 
  34. ^ Gunadi, Deny; Oramahi, HA; Tavita, Gusti Eva (2017). [STUDI TUMBUHAN OBAT PADA ETNIS DAYAK DI DESA GERANTUNG KECAMATAN MONTERADO KABUPATEN BENGKAYANG | Gunadi | JURNAL HUTAN LESTARI (untan.ac.id) "Studi tumbuhan obat pada etnis dayak di Desa Gerantung, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang"] Periksa nilai |url= (bantuan). Jurnal Hutan Lestari. 5 (2): 425–436. 
  35. ^ Utami, Revina Dwi; Ervusak, AM; Hikmat, Agus (2019). [230355069.pdf (core.ac.uk) "Etnobotani dan potensi tumbuhan obat masyarakat etnik anak rawa Kampung Penyengat Sungai Apit Siak, Riau"] Periksa nilai |url= (bantuan). Jurnal Media Konservasi. 24 (1): 24–51.