Kisah Ken Arok dan Keris Gandring

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ken Arok dijadikan sebagai moyang raja-raja Singasari dan Majapahit, meskipun Ken Arok hanyalah anak desa, Dewa Wisnu dapat menjelma dalam berbagai bentuk untuk menunaikan tugasnya menyelamatkan dunia. Sebenarnya Ken Arok adalah putra Bhatara Bhahma, ulah perselingkuhannya dengan Ken Ndok, istri Gajah Para di ladang Lalateng. Setelah peristiwa itu Dewa Brahma berpesan agar Ken Ndok jangan lagi berkumpul dengan suaminya, Gajah Para. Ken Ndok pulang ke Desa Pangkur, di seberang utara sungai, sedangkan Gajah Para kembali ke Desa Campara, di seberang selatan sungai. Lima hari kemudian, Gajah Para meninggal dunia, konon karena ia melanggar pesan Dewa Brahma dan karena panasnya anak yang berada dalam kandungan. Setelah sampai pada bulannya, Ken Ndok melahirkan bayi laki-laki yang langsung ia buang ke kuburan, akibat malu yang tak tertahankan.[1]

Ken Arok Dipungut sebagai Anak[sunting | sunting sumber]

Pada malam harinya bayi laki-laki tampan itu dipunggut Lembong, ia tercengang melihat sinar yang terpancar dari bayi mungil tersebut. Karena iba, maka bayi itu ia bawa pulang, paginya segera tersebar berita bahwa Lembong mempunyai anak pungut yang berasal dari kuburan. Mendengar berita itu, Ken Ndok datang menemui Lembong dan mengakui bahwa bayi itu adalah anaknya, lahir dari kekuasaan Bhatara Brahma, bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Ken Arok. Ken Arok tinggal di Desa Pangkur bersama ayah angkatnya. Kebiasaan buruk Ken Arok sejak kecil adalah ia suka berjudi,harta kekayaan ayah angkatnya habis di meja judi. Pada suatu hari Ken Arok disuruh mengembalakan kerbau milik kepala Desa Lebak, dan kerbau itu habis juga di meja judi. Akibatnya Lembong, ayah angkatnya harus membayar ganti rugi. Karena kesal Ken Arok diusir dari rumah.

Tunggul Ametung Menculik Ken Dedes[sunting | sunting sumber]

Istri Tunggul Ametung sangat cantik, namanya Ken Dedes, anak tunggal pendeta Budha di Panawijen, Mpu Purwa, konon ketika Tunggul Ametung datang ke Panawijen untuk meminang Ken Dedes, saat itu Mpu Purwa sedang bertapa di Tegal, karena tak kuasa menahan nafsunya, Ken Dedes dilarikan ke Tumapel dan dikawininya. Ketika Mpu Purwa pulang dari pertapaan, ia mendapati rumahnya kosong, lalu menjatuhkan umpat:” Semoga yang melarikan anak saya, tidak akan selamat hidupnya, semoga ia mati kena tikaman keris, semoga sumur dan sumber air di Panawijen semuanya kering sebagai hukuman kepada para penduduknya, karena mereka segan memberitahukan tentang penculikan anak saya. Semoga anak saya yang sedang mendapat wejangan karma amamadangi tetap selamat dan mendapat bahagia.

Ketika Ken Arok datang ke Tumapel, Ken Dedes tengah hamil. Ia bersama suaminya naik kereta melintasi Taman Baboji. Waktu turun dari kereta, kain Ken Dedes, tersingkap dari betis sampai paha. Ken Arok terpesona melihatnya,ada sinar yang memancar dari Ken Dedes. Peristiwa itu diceritakan Ken Arok kepada Pendeta Lohgawe, jawab Pendeta Lohgawe: “ Wanita yang rahasianya menyala, adalah wanita nareswari, betapapun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan menjadi raja besar.” Mendengar ujaran itu Ken Arok terdiam, terbesit niat untuk membunuh Tunggul Ametung, namun Pendeta Lohgawe tidak setuju.

Ken Arok Berencana Memesan Keris Mpu Gandring[sunting | sunting sumber]

Kemudian Ken Arok pergi menemui ayah angkatnya Bango Samparan di Desa Karuman. Sesampai di sana ia menceritakan keinginannya untuk membunuh Tunggul Ametung, dan mengawini Ken Dedes. Bango Samparan memberi nasihat agar Ken Arok sebelum melaksanakan niatnya supaya pergi ke Lulumbang, menemui pandai keris, Mpu Gandring. Konon, barang siapa kena keris buatan Mpu Gandring, pasti mati. Nasihatnya lagi, “Ken Arok baru boleh mengambil pesanannya setelah keris tersebut selesai pembuatannya.

Ken Arok berangkat ke Lulumbang dan memesan keris kepada Mpu Gandring, dalam waktu 5 bulan, keris itu harus selesai, namun Mpu Gandring minta diberi waktu setahun, agar matang pembuatannya. Ken Arok tetap keras kepala, lalu pergi, lima bulan kemudian ia kembali ke Lulumbang untuk mengambil keris pesanannya. Ketika Ken Arok hendak mengambil keris pada bulan kelima, keris tersebut sedang digurinda Mpu Gandring. Ken Arok marah, lalu merebut keris itu dan ia tikamkan kepada Mpu Gandring.

Keris itu ia perangkan ke lumping pembebekan gurinda, lumpang pecah terbelah. Diperangkan lagi pada landasan, hasilnya landasan pecah terbelah. Ken Arok yakin keris itu benar-benar sakti. Sementara itu Mpu Gandring yang sedang berlelaku (bertapa) mengumpat:”Hei Arok! Kamu dan anak cucumu sampai tujuh keturunan akan mati karena keris ini juga!”Setelah menjatuhkan umpat itu beliau meninggal dunia. Pikir Ken Arok, “Kalau kelak aku jadi orang besar, anak cucu Mpu Gandring akan mendapat balas jasa.”Lalu tergesa-gesa pulang ke Tumapel.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Mulyana, Prof. Dr. Slamet (2006). Nagara Kartagama. Jakarta: LKIS. hlm. 20. ISBN 9792552545.