Lompat ke isi

Sejarah Buton (Wolio)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan Buton (Wolio))

Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu di daerah ini pernah berdiri kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton.

Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakertagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Sejarah Awal

[sunting | sunting sumber]

Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).

Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.

Bidang Hukum

[sunting | sunting sumber]

Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli .

Bidang Perekonomian

[sunting | sunting sumber]

Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Bidang Pertahanan

[sunting | sunting sumber]

Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu:

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)

“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)

“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)

“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Buton Tengah dan Kota Bau-Bau.

Raja-raja Buton

[sunting | sunting sumber]
  1. Ratu ke I Wa Kaa Kaa
  2. Ratu ke II Bulawambona
  3. Raja ke III Bataraguru
  4. Raja ke IV Tua Rade
  5. Raja ke V Mulae
  6. Raja ke VI La Kilaponto / Timbang Timbaga / Halu Oleo / Murhum

Sultan-Sultan Buton

[sunting | sunting sumber]
  1. Sultan Murhum La Kilaponto(1491-1537),dengan gelar Sultan Kaimuddin
  2. Sultan La Tumparasi (1545-1552) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  3. Sultan La Sangaji (1566-1570) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  4. Sultan La Elangi (1597-1633) dengan gelar Sultan Dayanu Iksanuddin,
  5. Sultan La Balawo (1617-1619)
  6. Sultan La Buke (1632-1645)
  7. Sultan La Saparagau (1645-1646)
  8. Sultan La Cila (1647-1654)
  9. Sultan La Awu (1654-1664) dengan gelar Sultan Malik Sirullah,
  10. Sultan La Simbata (1664-1669) dengan gelar Sultan Adilil Rakhiya,
  11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  12. Sultan La Tumpamana (1680-1689) dengan gelar Sultan Zainuddin,
  13. Sultan La Umati (1689-1697)
  14. Sultan La Dini (1697-1704) dengan gelar Sultan Syaifuddin,
  15. Sultan La Rabaenga (1702)
  16. Sultan La Sadaha (1704-1709) dengan gelar Sultan Syamsuddin,
  17. Sultan La Ibi (1709-1711) dengan gelar Sultan Nasraruddin,
  18. Sultan La Tumparasi (1711-712) dengan gelar Sultan Muluhiruddin Abdul Rasyid,
  19. Sultan La Ngkarieri (1712-1750) dengan gelar Sultan Sakiyuddin Duurul Aalam,
  20. Sultan La Karambau (1750-1752)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
  21. Sultan Hamim (1752-1759) dengan gelar Sultan Sakiyuddin,
  22. Sultan La Seha (1759-1760) dengan gelar Sultan Rafiuddin,
  23. Sultan La Karambau (1760-1763)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
  24. Sultan La Jampi (1763-1788) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  25. Sultan La Masalalamu dengan gelar Sultan Alimuddin (1788-1791)
  26. Sultan La Kaporu (1791-1799) dengan gelar Sultan Muhuyuddien Abdul Gafur,
  27. Sultan La Badaru (1799-1822) dengan gelar Sultan Dayanu Asraruddin.
  28. Sultan La Dani (1823-1824)
  29. Sultan Muh. Idrus Kaimuddin (1824-1851)
  30. Sultan Muh. Isa (1851-1861)
  31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886)
  32. Sultan Muh. Umar (1886-1906)
  33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911)
  34. Sultan Muh. Husain (1914)
  35. Sultan Muh. Ali (1918-1921)
  36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924)
  37. Sultan La Ode Muh. Hamidi (1928-1937)
  38. Sultan La Ode Falihi Qaimuddin (1937-1960)
  39. Sultan Drs. H. La Ode Manarfa (Putra Sultan La Ode Falihi Qaimuddin, Pelaksana Sultan Buton sejak Sultan Falihi Qaimuddin mangkat) (1960 - 2002)
  40. Sultan La Ode Muhammad Jafar (Mei 2012-19 Juli 2013)
  41. Sultan dr. H. La Ode Muhammad Izat Manarfa, M.Sc (13 Des. 2013 – Sekarang)

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37.
  2. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
  3. ^ http://regional.kompas.com/read/2008/12/28/08593188/Puncak.Sanga.Likur.Tempat.Ritual.1.Sura

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]