Jurnalisme advokasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jurnalisme advokasi adalah salah satu bentuk praktek jurnalisme yang memberikan ruang kepada jurnalis sebagai penafsir aktif dan mewakili kelompok tertentu di media[1]. Salah satu bentuk jurnalisme advokasi adalah jurnalisme advokasi sipil. Bentuk ini mengacu kepada kelompok terorganisir yang menggunakan berita untuk mempengaruhi kebijakan publik. Organisasi sipil melalui jurnalisme advokasi bertujuan untuk menghasilkan debat publik, mempengaruhi opini publik, meningkatkan kesadaran, dan mempromosikan perubahan kebijakan dan program pada isu tertentu [1]

Jurnalisme advokasi mengacu pada bentuk jurnalisme yang menggabungkan sudut pandang dengan pelaporan yang dapat ditemukan di semua jenis outlet media di seluruh dunia[2]

“Produk” jurnalistik yang dari jurnalisme advokasi dapat berupa rubrik opini surat kabar, halaman surat kabar, majalah politik partisan, dan pers aktivis dan radikal.[3]

Beberapa unsur yang membedakan antara jurnalisme advokasi dengan jurnalisme pada umumnya antara lain:

  1. Titik berat berita: Mengungkapkan permasalahan serius terhadap kelompok minoritas dengan titik berat pada unsur kebenaran berdasarkan hasil investigasi
  2. Isu yang diangkat: Mengangkat permasalahan, perlawanan, dan keberanian masyarakat kecil
  3. Narasumber utama: Melibatkan masyarakat kecil, saksi mata, dan kelompok minoritas
  4. Prioritas kerja: Memunculkan masalah pelanggaran negara terhadap masyarakat yang tidak mampu bersuara
  5. Asas legalitas: Jurnalis menyembunyikan identitas dirinya dan narasumber untuk menghindari ancaman
  6. Harapan pasca pemuatan berita: Muncul polemik di masyarakat dengan tujuan penguatan hak masyarakat dan perbaikan kebijakan

Jurnalisme advokasi menempatkan wartawan sebagai interpreter dan partisipan aktif yang mewakili kelompok tertentu, khususnya yang terabaikan oleh media. Pada saat melaksanakan tugas jurnalisme, para jurnalis dilandasi oleh dorongan melakukan reformasi untuk menampilkan perspektif yang seringkali salah ditampilkan pada media massa.[4]

Jurnalisme advokasi masih patuh pada prinsip jurnalisme, yaitu berdasar pada fakta (factuality), kebenaran (truth), dan kejujuran (fairness). Indikator jurnalisme oleh Westerthall yaitu imparsial dan faktual juga dipatuhi oleh jurnalisme advokasi, dalam rangka menegakkan keadilan dan keberimbangan yang terjadi dalam masyarakat.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Jurnalisme advokasi populer di Amerika Serikat pada 1960-an dengan cara melibatkan opini jurnalis dengan tujuan menyuarakan dan bertindak atas nama kelompok tertentu yang tidak berdaya untuk bersuara di media. Jurnalisme advokasi ingin memberikan inovasi dan perspektif lain yang tidak terwakili oleh media.[5]

Jurnalisme advokasi di negara demokrasi Eropa dapat ditemui di surat kabar dan publikasi dalam sistem media pluralis dan korporatis. Jurnalis biasanya mendekati pelaporan berita agar terlibat secara politik dan untuk mempromosikan sudut pandang yang diasosiasikan pada partai politik. Di Amerika Serikat, praktik jurnalisme advokasi dapat dilihat pada pertengahan 1800-1900an seperti promosi atas pemungutan suara, hak-hak pekerja, abolisionisme, feminisme, lingkungan, LGBTQ, anti-perang, dan hak etnis.[1]

Perkembangan di Negara Berkembang[sunting | sunting sumber]

Negara-negara yang memiliki sejarah demokrasi yang minim, mengartikan bahwa pers harus memperjuangkan sudut pandang politik. Perkembangan jurnalisme advokasi di bagian selatan mencerminkan pandangan dari penerbit atau penulis yang bersekutu dengan pemerintah tertentu serta kepentingan politik. Selama pemerintah dan politisi menggunakan kekuatan dalam ekonomi pers, maka organisasi berita cenderung akan bertindak untuk mempromosikan kepentingan politik mereka. Dana pemerintah dan pribadi menjadi sumber kehidupan keuangan media di banyak negara seluruh dunia, akses uang pemerintah, pundi partai dan keuangan individu menjadi hal yang penting untuk membuat organisasi tetap berjalan.[1]

Fakta bahwa pemerintah dan pemodal politik terus menggunakan kekuasaan dalam ekonomi pers, dikarenakan pemerintah mengesampingkan prinsip-prinsip penting dalam kemerdekaan pers. Sedangkan, landasan cita-cita jurnalisme profesional adalah kelayakan berita, keadilan, minat penonton, dan layanan publik harus mengalahkan politik pribadi, nilai informasi berita, metode pengumpulan berita, bingkai berita, pemilihan sumber, dan sebagainya. Namun, di belahan dunia Selatan, mengamati prinsip-prinsip semacam itu dalam praktik nyata pada umumnya sulit dilakukan.[1]

Jurnalisme Advokasi Masyarakat di Ruang Lingkup Global[sunting | sunting sumber]

Dalam ruang lingkup global, pertumbuhan model jurnalisme advokasi sipil naik signifikan. Wartawan merepresentasikan upaya advokasi kelompok sipil sebagai kelompok yang mendorong perubahan sosial. Jurnalisme advokasi akan meningkatkan kesadaran, memberikan informasi, dan mempengaruhi opini publik serta debat kebijakan kepada kelompok yang secara tradisional memiliki akses terbatas ke media berita. Jurnalisme advokasi sipil didorong oleh gagasan bahwa media berita harus menjadi alat perubahan sosial, karena pers berkontribusi baik untuk meningkatkan kesadaran di kalangan publik maupun menetapkan prioritas dan agenda kebijakan, dan aktor sipil bertujuan untuk membentuk liputan berita.[1]

Jurnalisme advokasi sipil dikaitkan dengan beberapa taktik media baru yang bersinggungan dengan ke-profesionalisasian. Demokrasi liberal di bagian Utara menciptakan berbagai gerakan sosial dan kelompok kepentingan yang mencoba mempengaruhi liputan berita seperti kesehatan, pengendalian tembakau, kebijakan lingkungan, dan kebijakan melawan kekerasan dalam rumah tangga. Namun ternyata organisasi dan gerakan sosial ini tidak memanfaatkan jurnalisme advokasi untuk mempromosikan tujuan mereka.[1]

Perubahan media baru-baru ini juga memfasilitasi jurnalisme advokasi sipil. Karena ekonomi dan sistem media berbeda di setiap negara, proses ini terjadi dengan kecepatan yang berbeda-beda. Seperti, perluasan radio, televisi kabel, satelit, berita dalam bentuk cetak dan siaran, munculnya situs berita tanpa henti, hal ini akan membuka peluang baru bagi advokasi sipil. Perubahan ini dihasilkan dari kombinasi perubahan hukum, inovasi teknologi, dan perhitungan ekonomi.[1]

Pertama, kombinasi privatisasi, deregulasi, dan perubahan teknologi telah memperbesar jumlah outlet berita. Di sebagian besar belahan dunia Selatan, media berita sangat berbeda, di mana pemerintah secara historis mengontrol berita terutama melalui kepemilikan media langsung atau penyensoran langsung. Kedua, berbagai macam inovasi dalam teknologi informasi juga telah berkontribusi pada media yang diwakili oleh stasiun televisi kabel dan satelit serta situs Web Internet. Ketiga, proses segmentasi berita mengakibatkan terbukanya “niche” berita yang ditujukan kepada khalayak tertentu. [1]

Praktek[sunting | sunting sumber]

Jurnalisme advokasi adalah tindakan berbicara secara terbuka mengungkapkan bahwa jurnalisme advokasi hanya ingin memberikan suara kepada kelompok atau individu yang sering diabaikan suaranya. Mengharapkan dengan melalui advokasi pers, suara-suara yang terpinggirkan ini dapat lebih didengar melalui dukungan publik.[6]

Dalam jurnalisme advokasi, jurnalis bekerja ekstra, tidak hanya memenuhi tugas menginformasikan (informasi), tetapi juga membuat cerita yang mendorong pembaca untuk bertindak. Jurnalisme advokasi sendiri muncul karena jurnalis melihat ketimpangan dan penderitaan di masyarakat.[6]

Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji jurnalisme advokasi sipil. Bagian pertama berfokus pada bagaimana tujuan organisasi sipil mempengaruhi liputan media, sedangkan bagian yang kedua membahas mengenai dampak dari upaya ini untuk memperluas jangkauan suara dan opini dimunculkan. Organisasi sipil seringkali tidak beruntung dalam “mendapatkan berita”. Mereka bukanlah sumber resmi dan tidak memiliki pengaruh terhadap berita maupun akses mudah ke ruang redaksi.[1]

Mereka bukan bisnis kaya, mereka kekurangan sumber daya untuk menyewa firma hubungan masyarakat untuk mengamankan liputan berita yang menguntungkan dan berkelanjutan. Mereka sering menantang aktor politik dan ekonomi yang kuat, mereka cenderung menghadapi ruang redaksi yang pemalu, dan kadang-kadang, langsung menentang. Tidak seperti sumber pemerintah, mereka kekurangan "hak untuk menentukan".[1]

Dalam konteks tradisi ini, jurnalisme sipil menunjukkan berbagai kepekaan di antara organisasi yang terlibat dalam perubahan sosial. Hal ini mencerminkan persepsi bahwa iklan media sangat penting untuk memajukan tujuan politik di era politik "medianisasi". Mendekati media arus utama sebagai "sekutu strategis" potensial dalam pertempuran untuk mempromosikan perubahan. [1]

Media jurnalisme advokasi warga tidak terbatas pada praktik kehumasan standar. Menggabungkan tradisi manajemen informasi arus utama dan politik radikal. Dari gerakan protes, ia meminjam demonstrasi, aksi duduk, pawai, dan bentuk teater publik lainnya (misalnya pertunjukan drama, pertunjukan musik) untuk menarik liputan media. Hal ini bertujuan untuk mempromosikan perubahan sosial, pers memobilisasi warga untuk secara ketat mematuhi standar.[1]

Jurnalisme advokasi mirip seperti pelangi yang memiliki banyak warna, tergantung dengan apa yang ia bela. Ada saatnya warna jurnalisme advokasi tidak terlihat karena sedang membela rakyat jelata.[7]

Jurnalisme advokasi banyak berperan menyuarakan kelompok tertentu yang tidak tergabung di dalam lingkaran kekuasaan yang jarang mendapat tempat di media.[7]

Contoh hasil jurnalis advokasi adalah “Belakang Hotel”. Film ini menunjukan pembangunan hotel penyebab penyusutan tanah di beberapa daerah di Yogyakarta. WatchDoc dan sejumlah aktivis LSM masuk ke kampung untuk menyuarakan suara warga.[7]

Contoh kedua “Rayuan Pulau Palsu” dibuat menggunakan metode advokasi yang sama. Film dokumenter reklamasi di pesisir utara Jakarta itu merupakan suara nelayan.[7]

Jika dilihat "berita" terlihat semakin mirip terlepas dari perbedaan politik, ekonomi, dan budaya, strateginya sama di seluruh dunia. Jurnalisme sipil hampir tidak mewakili terobosan dalam berita, sebaliknya, ini adalah pendekatan manajemen berita yang konservatif dan tidak inovatif yang memanfaatkan bias jurnalisme kontemporer untuk memajukan tujuan keadilan sosial.[7]

Prinsip jurnalisme advokasi:

  1. Keberpihakan terhadap korban: Jurnalis harus bersikap sensitif dan adil, serta berpihak pada korban untuk dapat membela kebenaran dan keadilan bagi korban
  2. Advokasi mengutamakan pemulihan dan pemberdayaan korban: Jurnalis harus dapat menjaga kondisi psikologis korban
  3. Advokasi sebagai alat transformasi sosial: Liputan yang dibuat jurnalis harus bertujuan untuk membawa pengaruh pada perubahan sosial yang lebih baik bagi korban
  4. Penegakan HAM dan HAP: Advokasi yang dilakukan harus memandang manusia sebagai sosok yang memiliki hak untuk memperoleh keadilan

Tahapan dalam melakukan liputan jurnalisme advokasi:

  1. Merumuskan isu/topik liputan: Topik yang dipilih dapat berasal dari sebuah kasus yang sudah lebih dulu ditemukan atau topik baru yang berpotensi dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat
  2. Investigasi/mengumpulkan data dan fakta: Data dan fakta dapat dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti korban, masyarakat, maupun instansi terkait. Jurnalis harus membongkar konstruksi sosial yang sudah tertanam di masyarakat
  3. Mengidentifikasi aktor-aktor kunci: Jurnalis harus memetakan pihak yang akan dijadikan narasumber
  4. Memetakan potensi dan ancaman: Ancaman yang mungkin dapat terjadi harus dapat diidentifikasi lebih awal oleh jurnalis
  5. Membangun jaringan dan koalisi: Jaringan perlu dibangun untuk mendapatkan dukungan dari organisasi maupun lembaga yang konsen dan komitmen terhadap isu
  6. Menentukan strategi advokasi: Strategi dapat dipilih sesuai efektivitas dan kebutuhan

Dampak[sunting | sunting sumber]

Dampak yang ditimbulkan oleh jurnalisme advokasi terhadap liputan berita adalah berkontribusi terhadap memperdalam berita dengan mengidentifikasi isu dan suara-suara yang seringkali tidak terdengar.[1]

Suara dari masyarakat yang seringkali tidak terdengar dikarenakan dikucilkan atau disalahartikan oleh masyarakat, menantang para penguasa, dan menawarkan berita dari sudut pandang yang berbeda.[1]

Konten dari jurnalisme advokasi dari satu negara dengan negara lainnya berbeda. Akan tetapi, masyarakat lokal yang lemah dalam upaya memobilisasi konten tersebut, tentunya mengurangi kesempatan bagi jurnalisme advokasi untuk menyuarakan suara yang seringkali tidak terdengar.[1]

Di seluruh dunia, kelompok-kelompok aktivis seringkali telah mencapai tujuan yang mereka inginkan melalui advokasi jurnalisme. Isu dan berita yang telah dikemas ulang biasanya menjadi kunci masalah untuk topik berbasis kekerasan gender.[1]

Hubungan Masyarakat dan Advokasi Jurnalis[sunting | sunting sumber]

Isu dan berita yang dibingkai ulang telah menjadi kunci bagi pergerakan yang berada dalam bidang kekerasan yang berbasis gender.[1]

Ketika terjadi suatu peristiwa, jurnalisme advokasi harus ditempatkan kepada konteks yang spesifik agar dapat menjalankan jurnalisme advokasi secara seutuhnya.[1]

Negara-negara yang menganggap bahwa objektivitas yang ideal merupakan suatu hal yang umum, dapat memberikan tanggapan yang tidak bisa dipungkiri bahwa argumen normatif dapat terbentuk mengenai peran jurnalisme di lingkungan masyarakatnya. Masyarakat dapat membela objektivitas dan akan tidak setuju dengan pelaporan secara advokasi.[1]

Oleh sebab itu, jurnalistik harus tetap dipertahankan dari segi keadilan maupun integritasnya sebagai prioritas yang paling utama.[1]

Beragam kumpulan argumen serta reaksi sangat dipungkiri di negara-negara yang baik objektivitas maupun prinsip-prinsip lainnya yang berhubungan dengan norma profesional jurnalisme yang umum.[1]

Norma jurnalistik sendiri merupakan subjek yang diperdebatkan di dalam demokrasi dan transisi rezim yang baru.[1]

Di negara berkembang, banyak organisasi wartawan secara aktif mencoba untuk meningkatkan kegiatan dalam memberitakan serta memperluas perspektif dalam sebuah berita mengenai isu sosial. Organisasi-organisasi ini memberikan informasi kepada ruang berita, menyediakan bantuan logistik untuk memfasilitasi liputan, membawa para wartawan bersama-sama melalui jaringan virtual, membentuk aliansi dengan organisasi berita, mengorganisir pelatihan loka karya, memproduksi artikel dan serial untuk kepentingan produksi, dan lain sebagainya.[1]

Jaringan advokasi jurnalisme menargetkan untuk membujuk para editor berita untuk memberikan ruang bagi isu-isu sosial, serta mempresentasikan bingkai berita yang alternatif. Mereka seringkali berkolaborasi dengan institusi secara lokal maupun global di saat mengerjakan isu sosial yang mirip, dan bermitra dengan kolega di negara lain. Mereka telah bergerak secara cepat dengan organisasi global, termasuk kelompok yang sudah ahli serta aktivis, yang mendedikasikan segelintir sumber daya dan waktu untuk mendukung berita lokal melalui program pelatihan yang disponsori, beasiswa jurnalisme, dan penghargaan.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Wahl-Jorgensen, Hanitszch, Karin, Thomas, ed. (2009). The Handbook of Journalism Studies. United Kingdom: Routledge. hlm. 378–380. ISBN 0-203-87768-3. 
  2. ^ Cáceres, Ingrid (2019). "Advocacy Journalism". Advocacy Journalism. doi:https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228613.013.776 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ Thomas, Ryan (2022). "Advocacy Journalism". Advocacy Journalism. doi:10.1093/OBO/9780199756841-0281. 
  4. ^ a b Astrid, A. Fauziah (2019 Juni). "JURNALISME ADVOKASI PADA ISU PERNIKAHAN ANAK DI SULAWESI SELATAN". Jurnal Komodifikasi. 7: 158–172.  line feed character di |title= pada posisi 25 (bantuan);
  5. ^ "Analisis Wacana Jurnalisme Advokasi dalam Film Dokumenter Sexy Killers | E-Jurnal Medium" (dalam bahasa Inggris). 
  6. ^ a b Surabaya, A. J. I. (2022-02-11). "Membangkitkan Jurnalisme Advokasi – ajisurabaya.org" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-23. 
  7. ^ a b c d e Media, Kompas Cyber (2016-10-27). "Membongkar Kubur Jurnalisme Advokasi". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-23.