Kiai Madja: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Toonyf (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Kyai Modjo.jpg|jmpl|Kyai Mojo]]
[[Berkas:Kyai Modjo.jpg|jmpl|Kyai Mojo]]
'''Muslim Mochammad Khalifah''' atau dikenal '''Kiai Madja''', '''Kiai Mojo''' (lahir di [[Solo]], [[Jawa Tengah]] pada 1792) adalah seorang [[ulama]] yang dikenal sebagai orang kepercayaan Pangeran [[Diponegoro]] sekaligus panglima selama berlangsungnya [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]].<ref name="a">{{Cite news|url=https://tirto.id/pecah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-mojo-cwyp|title=Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo|last=Raditya|first=Iswara N|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2020-01-25}}</ref>
'''Kyai Madja''' adalah seorang [[ulama]] dari [[Jawa Tengah]] yang menentang gerakan pemurtadan di kalangan bangsawan dan [[sultan]] oleh pemerintahan kolonial [[Belanda]] pada masa penjajahan.<ref name=a /> Kyai Madja lahir pada tahun 1792 dan memiliki nama asli '''Muslim Mochammad Khalifah'''.<ref name="a">{{id}} {{cite journal
| author = Majalah Nurhidaya Solo
| year =
| month =
| title = Kyai Modjo: Sang Ulama Kharismatik
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://majalah.nurhidayahsolo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:kyai-modjo-sang-ulama-kharismatik&catid=72:siroh&Itemid=238
| format =
| publisher =
| accessdate = 24 Mei 2014
}}
</ref>


== Keluarga ==
== Kehidupan awal ==
===Keluarga===
Kyai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah.<ref name=a /> Ayah Kyai Madja adalah seorang ulama di desa Baderan dan Modjo.<ref name=a /> Desa tersebut berada di daerah Pajang dan merupakan tanah pemberian Raja [[Surakarta]].<ref name=a /> Ibu Kyai Madja, R.A Mursillah, merupakan saudara perempuan [[Sri Sultan Hemangkubuwono III]].<ref name=a /> Meskipun ibunya seorang ningrat keraton, Kyai Madja dibesarkan di luar keraton.<ref name=a />
Kiai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah. Ayah Kiai Madja adalah ulama besar yang dikenal dengan nama Kiai Baderan.<ref name=a /> Baik ayah dan ibunya adalah keturunan bangsawan. Abdul Ngarip keturunan keluarga Kraton Surakarta yang memilih mengabdikan diri berdakwah agama [[Islam]]. Ibunya, R.A. Mursilah, merupakan saudara perempuan Sultan [[Hamengkubuwana III]]. Sejak lahir, Kiai Mojo tidak pernah berada di dalam lingkungan kraton.


Secara garis silsilah keluarga, Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan. Diponegoro yang sempat bergelar Bendara Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir. Dengan demikian, Diponegoro adalah saudara sepupu Kiai Mojo. Sama seperti Kiai Madja, Diponegoro juga hidup di luar istana sejak kecil. Hubungan kekeluargaan antara keduanya semakin erat setelah Kiai Madja menikahi janda [[Hamengkubuwana II|Pangeran Mangkubumi]] yang tidak lain adalah paman Diponegoro. Pangeran Diponegoro pun memanggil Kiai Madja dengan sapaan "paman" meski keduanya adalah saudara sepupu.<ref name=a />
== Kehidupan ==

===Dakwah Islam===
Dasar pengetahuan agama Kiai Madja berasal dari ayahnya yang seorang ulama besar. Setelah menunaikan ibadah haji, Kiai Madja sempat bermukim di [[Mekkah]]. Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut. Bersama para santrinya, Kiai Madja menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton. Kiai Madja juga punya cita-cita suatu hari nanti tanah [[Jawa]] akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dan itulah yang dijanjikan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kiai Mojo beserta para pengikutnya bersedia bergabung untuk menghadapi Belanda dalam [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]].<ref name=a />

== Perang Jawa ==
=== Bergabung dengan Diponegoro ===
Peran Kiai Madja sangat besar. Ia berhasil mengubah paradigma perlawanan terhadap penjajah Belanda dari label "pemberontak" menjadi "perang sabil" atau [[Perang agama|Perang Suci]] melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam. Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kiai Madja berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, juga puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.<ref name=a />

=== Perpecahan dengan Diponegoro ===
Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Madja menilai ada gelagat kurang baik dari sepupunya itu. Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya. Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan. Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari Tuhan yang didapatnya saat bersemedi. Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar “Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah” di tanah Jawa. Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi [[Muhammad]] ketika diangkat menjadi Rasul. Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Efeknya cukup besar. Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya seperti seorang raja. Kendati lebih sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti pusaka, keris, kuda, dan lain-lain. Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya.

Kiai Madja tidak sepaham dengan ekpresi yang dimunculkan Diponegoro. Ia menilai Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa. Hingga akhirnya, Diponegoro menyarankan agar Kiai Madja berhenti berperang. Kiai Madja akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kiai Madja tentang bagaimana jika Pulau Jawa “dikembalikan” kepada Pangeran Diponegoro. Dengan kata lain, Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa. Kiai Madja lalu berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai. Pernyataan tersebut menyiratkan persepsi bahwa Kiai Madja memang menilai Diponegoro sedang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan pemerintahan Islam.<ref name=a />

==Penangkapan dan Pengasingan==
[[Berkas:Kyai madja.jpg|jmpl|Makam Kyai Madja]]
[[Berkas:Kyai madja.jpg|jmpl|Makam Kyai Madja]]
Pada 17 November 1828, terjadi penangkapan di desa Kembang Arum, [[Jawa Tengah]] oleh Belanda.<ref name=a /> Kyai Madja dibawa dan diasingkan ke Batavia kemudian diasingkan kembali ke Tondano, [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name=a /> Selama masa pengasingannya, Kyai Madja mendirikan kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi awal masuknya Agama [[Islam]] di Minahasa.<ref name=a /> Di Tondano ia menyalurkan ilmu kesaktiannya yaitu ilmu [[kanugaran]] yang dipelajarinya di [[Ponorogo]], kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri.<ref name=a /> Ilmu bela diri ini lah yang kemudian menjadi cikal bakal [[pencak silat]].<ref name=a /> Kyai Madja wafat di tempat pengasingan pada tanggal 20 Desember 1849 diusia 57 tahun.<ref name=a />
Pada 17 November 1828, terjadi penangkapan di desa Kembang Arum, [[Jawa Tengah]] oleh Belanda. Dalam penahanannya, Kiai Madja meminta agar para pengikutnta dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Madja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.<ref name=a /> Kiai Madja dibawa dan diasingkan ke Batavia kemudian diasingkan kembali ke Tondano, [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name=a /><ref name="b">{{Cite news|url=https://historia.id/kuno/articles/si-bantheng-pengiring-diponegoro-yang-paling-setia-P7x4Q|title=Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia|last=A. Nugroho|first=Yudi|newspaper=historia.id|language=id-ID|access-date=2020-01-25}}</ref> Di tanah pembuangan, Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Mojo dari pasukan Diponegoro.<ref name=a />


===Kampung Jawa Tondano===
== Referensi ==
Semua pengikut Kiai Madja yang dibuang ke Tondano adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat, dan dari dua kebudayaan inilah lahir Kampung Jawa Tondano. Mereka mendirikan Masjid Al-Falah dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa dan menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini. Penerus keturunan Kiai Madja biasa memakai nama Kiay Modjo. Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi, Julaiha Kiay Modjo. Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Banyak juga marga Kiay Modjo yang tinggal di Gorontalo.<ref name="c">{{Cite news|url=https://tirto.id/dari-pengikut-kyai-mojo-lahirlah-kampung-muslim-jawa-tondano-cK6T|title=Dari Pengikut Kyai Mojo, Lahirlah Kampung Muslim Jawa Tondano|last=Matanasi|first=Petrik|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2020-01-25}}</ref>


== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}


==Bacaan terkait==
[[Kategori:Kyai]]
* ''Perang Sabil versus Perang Salib'' oleh Abdul Qadir Djaelani, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah (Jakarta), 1999 ({{ISBN|39015043636599}})
* ''Dakwah Dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo, & Perang Sabil Sentot Ali Basah'' oleh Heru Basuki, Samodra Ilmu (Yogyakarta) 2007 ({{ISBN|9786028014014}})
* ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'' oleh Peter Carey, Kompas Gramedia, 2007 ({{ISBN|9789797097998}})
* ''Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830'' oleh Saleh As’ad Djamhari, Komunitas Bambu (Depok), 2014 ({{ISBN|9786029402421}})

[[Kategori:Kiai]]
[[Kategori:Ulama]]
[[Kategori:Ulama]]
[[Kategori:Islam]]
[[Kategori:Islam]]

Revisi per 25 Januari 2020 15.34

Kyai Mojo

Muslim Mochammad Khalifah atau dikenal Kiai Madja, Kiai Mojo (lahir di Solo, Jawa Tengah pada 1792) adalah seorang ulama yang dikenal sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro sekaligus panglima selama berlangsungnya Perang Jawa.[1]

Kehidupan awal

Keluarga

Kiai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah. Ayah Kiai Madja adalah ulama besar yang dikenal dengan nama Kiai Baderan.[1] Baik ayah dan ibunya adalah keturunan bangsawan. Abdul Ngarip keturunan keluarga Kraton Surakarta yang memilih mengabdikan diri berdakwah agama Islam. Ibunya, R.A. Mursilah, merupakan saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III. Sejak lahir, Kiai Mojo tidak pernah berada di dalam lingkungan kraton.

Secara garis silsilah keluarga, Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan. Diponegoro yang sempat bergelar Bendara Raden Mas Antawirya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir. Dengan demikian, Diponegoro adalah saudara sepupu Kiai Mojo. Sama seperti Kiai Madja, Diponegoro juga hidup di luar istana sejak kecil. Hubungan kekeluargaan antara keduanya semakin erat setelah Kiai Madja menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah paman Diponegoro. Pangeran Diponegoro pun memanggil Kiai Madja dengan sapaan "paman" meski keduanya adalah saudara sepupu.[1]

Dakwah Islam

Dasar pengetahuan agama Kiai Madja berasal dari ayahnya yang seorang ulama besar. Setelah menunaikan ibadah haji, Kiai Madja sempat bermukim di Mekkah. Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut. Bersama para santrinya, Kiai Madja menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton. Kiai Madja juga punya cita-cita suatu hari nanti tanah Jawa akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dan itulah yang dijanjikan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kiai Mojo beserta para pengikutnya bersedia bergabung untuk menghadapi Belanda dalam Perang Jawa.[1]

Perang Jawa

Bergabung dengan Diponegoro

Peran Kiai Madja sangat besar. Ia berhasil mengubah paradigma perlawanan terhadap penjajah Belanda dari label "pemberontak" menjadi "perang sabil" atau Perang Suci melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam. Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kiai Madja berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, juga puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.[1]

Perpecahan dengan Diponegoro

Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Madja menilai ada gelagat kurang baik dari sepupunya itu. Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya. Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan. Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari Tuhan yang didapatnya saat bersemedi. Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar “Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah” di tanah Jawa. Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi Rasul. Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Efeknya cukup besar. Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya seperti seorang raja. Kendati lebih sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti pusaka, keris, kuda, dan lain-lain. Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya.

Kiai Madja tidak sepaham dengan ekpresi yang dimunculkan Diponegoro. Ia menilai Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa. Hingga akhirnya, Diponegoro menyarankan agar Kiai Madja berhenti berperang. Kiai Madja akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kiai Madja tentang bagaimana jika Pulau Jawa “dikembalikan” kepada Pangeran Diponegoro. Dengan kata lain, Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa. Kiai Madja lalu berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai. Pernyataan tersebut menyiratkan persepsi bahwa Kiai Madja memang menilai Diponegoro sedang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan pemerintahan Islam.[1]

Penangkapan dan Pengasingan

Berkas:Kyai madja.jpg
Makam Kyai Madja

Pada 17 November 1828, terjadi penangkapan di desa Kembang Arum, Jawa Tengah oleh Belanda. Dalam penahanannya, Kiai Madja meminta agar para pengikutnta dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Madja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.[1] Kiai Madja dibawa dan diasingkan ke Batavia kemudian diasingkan kembali ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.[1][2] Di tanah pembuangan, Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Mojo dari pasukan Diponegoro.[1]

Kampung Jawa Tondano

Semua pengikut Kiai Madja yang dibuang ke Tondano adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat, dan dari dua kebudayaan inilah lahir Kampung Jawa Tondano. Mereka mendirikan Masjid Al-Falah dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa dan menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini. Penerus keturunan Kiai Madja biasa memakai nama Kiay Modjo. Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi, Julaiha Kiay Modjo. Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Banyak juga marga Kiay Modjo yang tinggal di Gorontalo.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i Raditya, Iswara N. "Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo". tirto.id. Diakses tanggal 2020-01-25. 
  2. ^ A. Nugroho, Yudi. "Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia". historia.id. Diakses tanggal 2020-01-25. 
  3. ^ Matanasi, Petrik. "Dari Pengikut Kyai Mojo, Lahirlah Kampung Muslim Jawa Tondano". tirto.id. Diakses tanggal 2020-01-25. 

Bacaan terkait

  • Perang Sabil versus Perang Salib oleh Abdul Qadir Djaelani, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah (Jakarta), 1999 (ISBN 39015043636599 Invalid ISBN)
  • Dakwah Dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo, & Perang Sabil Sentot Ali Basah oleh Heru Basuki, Samodra Ilmu (Yogyakarta) 2007 (ISBN 9786028014014)
  • Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 oleh Peter Carey, Kompas Gramedia, 2007 (ISBN 9789797097998)
  • Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830 oleh Saleh As’ad Djamhari, Komunitas Bambu (Depok), 2014 (ISBN 9786029402421)