Safiatuddin dari Aceh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Aday (bicara | kontrib)
edit
Aday (bicara | kontrib)
edit
Baris 3: Baris 3:
Sebelum ia menjadi sultana, [[Kesultanan Aceh|Aceh]] dipimpin oleh suaminya, yaitu [[Sultan Iskandar Tsani]] ([[1637]]-[[1641]]). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, [[Nurudin Ar Raniri]], menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.<ref name="kalyana"/>
Sebelum ia menjadi sultana, [[Kesultanan Aceh|Aceh]] dipimpin oleh suaminya, yaitu [[Sultan Iskandar Tsani]] ([[1637]]-[[1641]]). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, [[Nurudin Ar Raniri]], menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.<ref name="kalyana"/>


Sultana Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam [[Perang Malaka]] tahun [[1639]]. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan. Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir [[Portugis]], [[Perancis]], [[Inggris]] dan [[Belanda]]. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.<ref name="kalyana"/> Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena [[Malaka]] diperebutkan antara [[VOC]] dengan [[Portugis]]. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani [[Belanda]], [[Portugis]], [[Inggris]], [[India]] dan [[Arab]]. Ia meninggal pada tanggal [[23 Oktober]] [[1675]].<ref name="kabari"/>
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam [[Perang Malaka]] tahun [[1639]]. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan. Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir [[Portugis]], [[Perancis]], [[Inggris]] dan [[Belanda]]. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.<ref name="kalyana"/> Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena [[Malaka]] diperebutkan antara [[VOC]] dengan [[Portugis]]. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani [[Belanda]], [[Portugis]], [[Inggris]], [[India]] dan [[Arab]]. Ia meninggal pada tanggal [[23 Oktober]] [[1675]].<ref name="kabari"/>

Safiatuddin pernah memerintahkan [[Teungku Syiah Kuala]] untuk menulis ''Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab''. Karya di bidang [[fiqih]] atau hukum Islam, yang kemudian digunakan sebagai standar bagi penerapan hukum di Aceh.<ref>Azra, Azyumardi. ''Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII''. Penerbit Kencana, Jakarta. Cetakan I, 1998.</ref>


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 22 Juni 2008 05.43

Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultana Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Shah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Shah. Anak tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada tahun 1612[1] dengan nama Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.[2]

Sebelum ia menjadi sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.[2]

Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan. Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab. Ia meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.[1]

Safiatuddin pernah memerintahkan Teungku Syiah Kuala untuk menulis Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqih atau hukum Islam, yang kemudian digunakan sebagai standar bagi penerapan hukum di Aceh.[3]

Referensi

  1. ^ a b Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa. Kabari, 19 Maret 2008.
  2. ^ a b c Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia
  3. ^ Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Penerbit Kencana, Jakarta. Cetakan I, 1998.
Didahului oleh:
Sultan Iskandar Tsani
Sultan Aceh
16411675
Diteruskan oleh:
Sultana Naqiatuddin