Hukum kepailitan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Hukum Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Penjelasan tersebut terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengertian pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditor secara adil dan tertib, agar semua kreditor mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berurutan.[1] Bahwa Hukum Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan orang atau lembaga yang berutang (debitor) terkait ini pailit di mana pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh pengurus atau pengawas harta benda orang yang pailit (kurator) di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Mengajukan[sunting | sunting sumber]

Yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan di antaranya oleh:

  1. Debitor sendiri.
  2. Atas permintaan seorang atau lebih kreditor.
  3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
  4. Menyangkut debitor yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia
  5. Menyangkut debitor yang merupakan perusahaan efek, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Badan Pengawasan Pasar Modal.[2]

Persyaratan[sunting | sunting sumber]

Persyaratan Kepailitan di antaranya sebagai berikut:

  1. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor.
  2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Dapat dinyatakan[sunting | sunting sumber]

Yang Dapat dinyatan pailit di antaranya:[3]

  1. Orang Perorangan: bahwa laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah maupun belum menikah.
  2. Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya: bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap suatu “firma” di mana harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing persero di mana secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.
  3. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum: bahwa terkait ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dan dasarnya.
  4. Harta peninggalan.

Dasar hukum[sunting | sunting sumber]

Hukum kepailitan menjelaskan bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memperoleh pinjaman dari orang lain atau badan hukum lain, pihak yang memperoleh pinjaman disebut sebagai debitor, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut sebagai kreditor.[3]

Peraturan[sunting | sunting sumber]

Peraturan mengenai hukum kepailitan terdapat pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Saliman, Abdul R.; Jalis, Ahmad (2005). Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana. 
  2. ^ Yani, Ahmad; Widjaja, Gunawan (2002). Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 
  3. ^ a b Is, Muhamad Sadi (2016). Hukum Perusahaan di Indonesia. Jakarta: Kencana.