Hikayat Jugi Tapa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hikayat Jugi Tapa merupakakan satra lisan yang terdapat di Kecamatan Sawang. Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Hikayat ini mengisahkan seorang tokoh utama yang bernama Leubee Muda. Kemudian, Leubee Muda menjadi sesat karena melawan gurunya yang bernama Teungku Lhok Drien. Setelah sesat, dia digelar Jugi Tapa, yang menjadi judul hikayat ini.

Alur Cerita Hikayat[sunting | sunting sumber]

Pada suatu hari, gurunya meminta kepadanya untuk mengantar sebuah kitab kepada Teungku Jambo Haji. Gurunya berpesan agar dia jangan sekali-kali membaca kitab itu. Akan tetapi, Leubee Muda melanggar amanah gurunya, dia membaca dan mengamalkan seluruh isi kitab itu. Karena kecerdasannya, dalam waktu singkat dia dapat menguasai semua ilmu yang terdapat dalam kitab tersebut. Untuk menyempurnakan kesaktiannya, dia harus bertapa dan memperistri seratus orang wanita cantik, yang sebagiannya adalah istri-istri raja dan anak orang terpandang. Jugi Tapa telah berhasil memperistrikan delapan puluh delapan wanita cantik. Ibunda Amat Banta, istri Raja Sadon dari Kuala Diwa merupakan istrinya yang ke-99. Dia memerlukan satu orang lagi wanita untuk dijadikan istrinya yang keseratus sebagai syarat penyempurnaan kesaktiannya. Sebelum memperoleh satus orang wanita, dia tidak boleh berhubungan kelamin dengan wanita dan dia terus bertapa di dalam kraton yang dibuatnya dengan ilmu sihir. Istrinya yang ke-99 bernama Putro Bunsu, istri Raja Sadon dari Kerajaan Kuala Diwa, mempunyai seorang putra yang bernama Amat Banta. Ketika Jugi Tapa membawa Ibundanya, Amat Banta masih berusia tiga hari. Sang Bunda meninggalkan sebilah cincin di dalam ayunan putra kecilnya. Kelak cincin itulah yang menjadi bukti bahwa itu dalah putranya yang pernah ditinggalkannya dahulu. Berdasar informasi dari Bing Pho dalam bahasa Indonesia disebut kepiting uca (fiddler crab), Amat Banta mencari ibunya ke Blang Laka (di Kabupaten Bener Meriah sekarang), tempat Jugi Tapa mengumpulkan sembilan puluh sembilan wanita, termasuk ibunda Amat Banta. Dengan bantuan ibunda yang telah memperoleh rahasia kesaktian Jugi Tapa dari mulut Jugi Tapa sendiri, Amat Banta berhasil membunuh Jugi Tapa.

Kesimpulan Hikayat[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa pesan yang dapat diambil dari hikayat Jugi Tapa tersebut baik sebaigai simbol, indeks, maupun ikon. Pertama, perbuatan baik tidak selalu mendapat balasan yang baik. Oleh karena itu, setiap perbuatam baik haruslah dilakukan dengan ikhlas agar kita tidak kecewa pada kemudian hari. Kedua, pada wanita tidak boleh disimpan rahasia. Ketiga, kita tidak boleh melawan guru.

Referensi[sunting | sunting sumber]

[1]

  1. ^ Yulsafli, Yulsafli; Ag, Burhanuddin; Ismawirna, Ismawirna (2018-10-31). "Kode Sastra dalam Sastra Lisan Aceh Hikayat Jugi Tapa". Jurnal Humaniora : Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi dan Hukum (dalam bahasa Inggris). 2 (2): 118–129. ISSN 2548-9585.