Bagi hasil untung dan rugi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bagi hasil untung dan rugi adalah praktik pembagian potensi keuntungan dan/atau kerugian dari usaha komersial atau ekonomi. Bagi hasil untung dan rugi pada karakteristik nisbah ditentukan oleh produktivitas aktual produk tersebut. Principles of Islamic Finance di bangun atas dasar pelarangan riba, pelarangan gharar, penerapan kaidah bisnis halal, pembagian risiko perusahaan, dan landasan transaksi ekonomi pada pemenuhan rasa keadilan.[1]

Landasan model ekonomi syariah[sunting | sunting sumber]

Filosofi keagamaan, lembaga keadilan, dan instrumen kemaslahatan menjadi landasan model ekonomi syariah (Q.S. at-Takaatsur: 1-2, al-Munaafiquun: 9, an-Nuur: 37, al-Hasyr: 7, al-Baqarah: 188, 273–281, al-Maidah: 38, 90–91, al-Muthaffifin: 1-6). Landasan ekonomi yang melarang bunga atau riba diciptakan oleh filosofi keagamaan. Fitur rasio bagi hasil yang menjadi landasan Bagi hasil untung dan rugi dikembangkan oleh lembaga peradilan. Instrumen kemaslahatan memunculkan undang-undang yang melarang boros, melembagakan zakat, dan membiayai bisnis halal; semua undang-undang ini didasarkan pada prinsip falah, bukan utilitarianisme atau rasionalisme.[1]

Faktanya, berbagai operasi pembiayaan modal perusahaan dalam perekonomian dewasa ini sering kali menggunakan sistem bagi hasil untung dan rugi untuk pembiayaannya. Membeli saham di suatu perusahaan adalah contoh yang umum untuk penyertaan modal. Selain menanggung risiko jika perusahaan mengalami kerugian, pemegang saham juga akan mendapatkan imbalan berupa dividen.[1]

Harga modal dan peran kewirausahaan saling ditentukan dalam sistem bagi hasil. Biaya modal dan aktivitas kewirausahaan merupakan bagian pelengkap yang perlu dipertimbangkan secara bersamaan ketika memperkirakan biaya unsur produksi. Sudut pandang syariah berpendapat bahwa produktivitas aktual adalah satu-satunya cara untuk menghasilkan uang. Tidak ada sesuatu pun tentang prinsipal yang ditambahkan yang tidak menghasilkan produktivitas.[1]

Nilai rasio[sunting | sunting sumber]

Besarnya bagi hasil untung dan rugi dalam kaitannya dengan persentase potensi hasil produktivitas sungguh disepakati dalam perjanjian bagi hasil. Baru setelah realisasi hasil penggunaan dana tersebut dapat ditentukan nilai nominal hasil yang sebenarnya diterima (ex post phenomenon, bukan ex ente). Pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama menyepakati rasio bagi hasil. Nilai rasio seringkali ditentukan dengan memperhitungkan kontribusi saham dan kemitraan dari masing-masing pihak, kemungkinan memperoleh keuntungan (expexted return), dan potensi tingkat risiko (expected risk).[1]

Secara matematis dapat diformulasikan menjadi:

BH = f (S, p, 0) ........................................ (5)

Keterangan:

BH = bagi hasil

S = share on partnership

p = exspected return

0 = expected risk

Ketiga elemen ini harus dipertimbangkan sebelum mencapai permufakatan bersama pada tingkat rasio. Unsur pertama, share on partnership, adalah entitas yang dapat diukur dan aktual. Oleh karena itu, tidak memerlukan pertimbangan khusus. Pertimbangan khusus harus diberikan pada dua faktor terakhir: expected return dan expexted risk. Oleh karena itu, sangat penting untuk dapat menghitung potensi keuntungan dan risiko kerja sama dengan menggunakan bagi hasil untung dan rugi, khususnya yang berkaitan dengan resiko. Hal ini karena risiko, pertama-tama, merugikan perusahaan. Nilai keuntungan suatu perusahaan meningkat seiring dengan meningkatnya risiko. Kedua, bahaya sering kali kurang mempertimbangkan secara cermat data asal usul, luasnya, dan karakternya. Ketiga, estimasi variabel risiko biasanya disertakan dalam prediksi keuntungan.[1]

Risiko[sunting | sunting sumber]

Risiko dapat diantisipasi dalam batas-batas tertentu, oleh karena itu penerimaan nisbah bagi hasil bukan sekedar persoalan opini. Risiko muncul dari upaya konstruktif. Risiko yang tidak dapat diprediksi, juga disebut sebagai pasive risk atau unknowebles yang harus dihindari. Dalam bahasa fiqih mu'amalah, risiko seperti ini disebut dengan gharar, yang sifatnya sangat spekulatif. Gharar terjadi ketika seseorang sedang bermain untung-untungan atau berjudi tanpa mengetahui kemungkinan terjadinya sesuatu. Jika satu pihak menghasilkan uang, pihak lain harus merugi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi hasil menang-kalah. Transaksi syariah mencerminkan positif sum game atau win-win solution seperti dalam ajaran teori bagi hasil.[1]

Model[sunting | sunting sumber]

Model mudharabah dan musyarakah merupakan dua model yang mendasari teori bagi hasil untung dan rugi. Dua pihak yang bekerja sama dalam bisnis dikenal dengan model Mudharabah. Seluruh modal disediakan oleh pihak pertama (shahibul maal), sedangkan pihak lain berperan sebagai pengelola dana (mudharib). Perjanjian kerja sama antara dua mitra atau lebih untuk menjalankan suatu usaha tertentu dikenal dengan model musyarakah. Dengan pemahaman bahwa manfaat dan risiko akan dibagi rata, masing-masing rekan menyumbangkan uang.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h Yahya, Muchlis; Agunggunanto, Edy Yusuf (2012-02-08). "TEORI BAGI HASIL (PROFIT AND LOSS SHARING) DAN PERBBANKAN SYARIAH DALAM EKONOMI SYARIAH". JURNAL DINAMIKA EKONOMI PEMBANGUNAN. 1 (1): 65. doi:10.14710/jdep.1.1.65-73. ISSN 2620-3049.