Asas Internasional tentang Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Pengawasan Komunikasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Asas Internasional tentang Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Pengawasan Komunikasi merupakan kaidah-kaidah hukum yang ditulis oleh oleh organisasi dan para pakar yang berkecimpung dalam isu-isu keamanan privasi yang tersebar di seluruh dunia dalam rangka mendefinisikan hukum Hak Asasi Manusia yang berlaku dalam ruang lingkup digital. Organisasi dan pakar tersebut antara lain Access, Article 19, Asociación Civil por la Igualdad y la Justicia, Asociación por los Derechos Civiles, Association for Progressive Communications, Bits of Freedom, Center for Internet & Society India, Comisión Colombiana de Juristas, Electronic Frontier Foundation, European Digital Rights, Reporter Without Borders, Fundación Karisma, Open Net Korea, Open Rights Group, Privacy International, Samuelson-Glushko Canadian Internet Policy and Public Interest Clinic. Dokumen mengenai Asas Internasional tentang Penerapan Hak Asasi manusia di terbitkan pada 10 Juli tahun 2013 kemudian direvisi pada Mei 2014.[1]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 17 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik diatur bahwa tidak boleh seorang pun menjadi target kesewang-wenangan dalam hal privasi. Pengunaan kebijakan pengawasan komunikasi oleh negara yang dilakukan tanpa pengawasan dan perlindungan yang memadai akan beresiko berdampak pada keberadaan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar yang dimiliki masyarakat demokratis. Dokumen Asas Internasional tentang Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Pengawasan Komunikasi dibut untuk menjadi pedoman kerja bagi kelompok masyarakat sipil, korporasi, negara dan pihak lain untuk mengevaluasi muatan nilai-nilai hak asasi manusia dalam peraturan atau undang-undang yang berlaku dalam hal pengawasan komunikasi. Konsep peraturan Hak Asasi Manusia yang ada masih belum bisa mengejar kecepatan perkembangan teknologi informasi digital yang sangat pesat, sehingga menyebabkan potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam ranah pengawasan komunikasi. Pemerintah memiliki kewenangan atau akses terhadap metadata komunikasi yang dimiliki masyarakatnya namun dikelola tanpa pengawasan yang memadai.[2] Metadata komunikasi tersebut dapat berisi tentang profil kehidupan seseorang, riwayat penyakit, agama, sudut pandang politik, organisasi atau asosiasi serta data-data pribadi lainnya.[3] Maka dari itu untuk mencegah adanya pelanggaran keamanan privasi, penting untuk dibuatnya dokumen yang mendefinisikan asas-asas yang berlaku secara internasional tentang hak asasi manusia dalam hal pengawasan komunikasi.

Prinsip-Prinsip[sunting | sunting sumber]

Legalitas[sunting | sunting sumber]

Negara tidak dapat membatasi hak asasi manusia tanpa ada undang-undang atau aturan hukumnya.

Tujuan Yang Sah[sunting | sunting sumber]

Undang-undang hanya dapat mengizinkan pengawasan komunikasi oleh otoritas negara untuk mencapai tujuan yang sah sesuai dengan kepentingan umum dalam masyarakat demokratis. Tindakan pengawasan tersebut tidak boleh membeda-bedakan ras, warna kulit, suku, agama, pandangan politik atau lainnya.

Kebutuhan[sunting | sunting sumber]

Undang-undang terkait pengawasan komunikasi menjadi harus dibatasi pada hal-hal yang benar-benar dibutuhkan dalam mencapai tujuan yang sah sesuai dengan kepentingan umum dalam masyarakat demokratis. Pengaturan tersebut menjadi opsi terakhir guna memperkecil potensi pelanggaran hak asasi manusia.

Kecukupan[sunting | sunting sumber]

Setiap undang-undang terkait pengawasan komunikasi harus diidentifikasi secara matang dan memiliki tujuan yang jelas

Proporsionalitas[sunting | sunting sumber]

Keputusan kebijakan mengenai pengawasan komunikasi harus dilakukan secara proporsional atau berimbang. Pengawasan komunikasi harus mempertimbangkan sensitivitas informasi yang diakses dan tidak melanggar privasi seseorang.

Otoritas Peradilan Yang Kompeten[sunting | sunting sumber]

Kebijakan pengawasan komunikasi harus dilakukan oleh otoritas peradilan yang kompeten, bersih dan independen. Kompetensi dalam hal ini meliputi pengetahuan terhadap aturan yang ada, pengetahuan terhadap teknolofi informasi dan sumber daya yang memadai.

Proses Yang Tepat[sunting | sunting sumber]

Proses penegakan hukum terhahdap pengawasan komunikasi harus dilakukan dengan proses yang adil dan prosedur yang tepat dengan menjamin hak-hak dari obejek yang diawasi.

Pemberitahuan Pengguna[sunting | sunting sumber]

Setiap pengguna yang komunikasinya diawasi, harus mendapatkan informasi dalam waktu yang cukup untuk memungkinkan mereka menolak pengawasan atau mencari solusi lain. Keterlambatan pemberitahuan hanya dapat dibenarkan ketika terdapat bahaya terhadap nyawa manusia, atau putusan pengadilan yang sah. Kewenangan pemberitahuan ini berada di tangan pemerintah dan dapat dibantu penyedia layanan.

Tranparansi[sunting | sunting sumber]

Pengunaan kebijakan pengawasan komunikasi harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Pemerintah harus mempublikasikan setidaknya kebijakan pengawasan informasi secara detail agar dapat dipahami oleh masyarakat.

Pengawasan Publik[sunting | sunting sumber]

Pemerintah harus membentuk mekanisme pengawasan publik dalam hal menentukan kebijakan pengawasan komunikasi. Mekanisme pengawasan dibentuk secara independen yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Integritas Komunikasi dan Sistem[sunting | sunting sumber]

Pemerintah tidak bole memaksa penyedia layanan untuk membangun kemampuan melakukan pengawasan komunikasi terhadap penggunanya. Hal ini dikarenakan data pengguna merupakan kesepakatan privasi antara penggunan dan penyedia layanan

Perlindungan Bagi Kerjasama Internasional[sunting | sunting sumber]

Perjanjian bantuan hukum timbal balik antar negara (MLATs) dan perjanjian lain yang dibuat oleh negara harus memastikan bahwa jika undang-undang di lebih dari satu negara dapat diterapkan dan dijadikan referensi pada peraturan terkait pengawasan komunikasi. Artinya, peraturan pengawasan komunikasi di negara-negara dunia ditentukan oleh kesepakatan internasional.

Perlindungan Terhadap Akses Yang Tidak Sah dan Hak Atas Perbaikan Yang Efektif[sunting | sunting sumber]

Setiap tindakan melakukan pengawasan komunikasi secara ilegal harus dihukum secara pidana maupun perdata. Perlu dibuat aturan hukum yang jelas mengenai pelanggaran tersebut.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Necessary & Proportionate". Necessary & Proportionate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-12-01. 
  2. ^ "방송통신위원회 누리집 > 정책/정보센터 > 자료마당 > 통계자료 상세보기(2012년 상반기 통신제한 협조, 통신사실확인자료 및 통신자료 제공 현황 통계)". www.kcc.go.kr. Diakses tanggal 2023-12-01. 
  3. ^ Alberto Escudero, Pascual and Gus Hosein (March 2004). "Questioning lawful access to traffic data". Communications of the ACM. 47 (3): 77–82.