Arsilan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Arsilan
Arsilan adalah Pejuang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia, staf rumah tangga Sukarno, dan salah satu saksi pelaku yang berkontribusi pada peristiwa pembacaan teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Lahir1923
Hindia Belanda Hindia Belanda
Tempat tinggalJalan Bonang Rt 01/05 (sebelah Timur Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Menteng), Jakarta Pusat.
KebangsaanIndonesia Indonesia
Pekerjaan
Dikenal atasPejuang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia dan staf rumah tangga Sukarno
AnakEmpat anak.

Arsilan adalah salah satu staf rumah tangga Presiden Soekarno dan salah satu saksi pelaku yang berkontribusi pada peristiwa pembacaan teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Arsilan muda pria keturunan Banten ini sudah turut berkontribusi dalam upaya kaum Republiken mencapai kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1940-an. Keluarganya merupakan staf rumah tangga tokoh pergerakan nasional Sukarno yang kemudian menjadi Presiden Pertama Republik. Akrab di lingkaran keluarga Sukarno, pada tahun 1945 pun akhirnya ia menjadi staf keluarga Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat. Kewajibannya adalah menjaga dan memelihara kebun serta pekarangan rumah yang kemudian menjadi saksi dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, jam 10.00 WIB.

Sekitar proklamasi[sunting | sunting sumber]

Arsilan masih ingat betul pada 17 Agustus, 69 tahun lalu jatuh pada hari Jumat. Pada pagi hari saat ia hendak bekerja membersihkan rumput, ia dapati kediaman Bung Karno banyak didatangi tokoh-tokoh perjuangan, termasuk sejumlah pemimpin laskar. Keramaian tersebut kata dia memicu warga sekitar untuk ikut berkumpul di depan kediaman proklamator kemerdekaan RI tersebut. "Bung Karno menjelang pukul 10.00 WIB keluar dari kediamannya menuju bagian depan rumah, di mana sejumlah tokoh kemerdekaan sudah menunggu. Di antara orang-orang yang datang kata dia ada sebagiannya adalah tentara asing dan tentara Jepang yang tengah mengalami kekalahan hebat."

Arsilan menyaksikan prosesi yang tidak pernah diduganya tersebut, "Acara tersebut dimulai dengan pengerekan Sang Saka Merah Putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Bendera dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati, di teras rumah tersebut. Sementara tiang yang digunakan adalah bambu yang sehari sebelumnya dibeli oleh salah seorang pegawai rumah di kawasan Manggarai."

Setelah pengibaran bendera, Bung Karno disamping tokoh lainnya, membacakan naskah proklamasi, menegaskan bahwa Indonesia telah merdeka sebagai sebuah negara. Namun saat pembacaan berlangsung, warga umumnya tidak berani meluapkan kegembiraannya, melainkan hanya diam mendengarkan secara saksama. Di ujung pembacaan teks Proklamasi, seluruh yang hadir pun serentak berteriak, "Merdeka!."

Arsilan dan rakyat Indonesia pada zaman tersebut hidup dibawah ancaman, ketakutan, dan masing-masing dicurigai sebagai mata-mata pejuang mau pun mata-mata penjajah. Oleh karena itu tidak banyak yang berani mengungkapkan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan, namun Bung Karno pasca pembacaan teks Proklamasi mampu membuat rakyat melupakan ketakutan tersebut.

Arsilan muda menyaksikan orang yang datang pada saat itu banyak yang menitikan air mata, terutama para laskar-laskar yang ikut berperang melawan penjajah. Dugaannya, mereka yang menitikan air mata adalah mereka yang terkenang betapa sulitnya meraih kemerdekaan, dan hari itu Bung Karno pun membacakan naskah proklamasi yang dipercayai banyak orang saat itu sebagai penanda berakhirnya penderitaan. "Walau pun sebetulnya masih belum. Waktu itu kan Inggris datang, kita masih perang juga," kata Arsilan. Usai pembacaan naskah teks proklamasi ia tidak begitu ingat apakah Bung Karno sempat menyampaikan pidatonya.

Menurut dokumen yang ada diketahui pengibaran Sang Saka Merah Putih dilakukan setelah pembacaan teks Proklamasi. Ia berkilah yang ia ingat pengibaran dilakukan sebelum pembacaan, dan pengetahuan tersebut ia ketahui dari pengalamannya dan bukan dari membaca buku. Ia mengaku sebagai seseorang yang buta huruf. Kediaman Bung Karno itu kini sudah digusur, dan di atasnya didirikan Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur pun diubah namanya menjadi Jalan Proklamasi, untuk memperingati tonggak awalnya berdiri Republik Indonesia.

Pembacaan teks Proklamasi tersebut lokasinya bukan berada di lokasi yang kini berdiri patung dua Proklamator, yakni Bung Karno dan Muhamad Hatta atau Bung Hatta. Tempat berdirinya monumen itu kata Arsilan sebelumnya adalah kediaman Bung Karno, sedangkan lokasi pembacaan teks Proklamasi adalah di bagian depan rumah, yakni di lokasi yang sekarang berdiri tiang tinggi dengan logo yang menyerupai logo petir di bagian atasnya.

Hari tua[sunting | sunting sumber]

Hingga tahun 2003, Arsilan bekerja di kediaman keluarga Bung Karno di kawasan Menteng. Pekerjaannya terakhir adalah sebagai petugas keamanan, dengan gaji Rp 400 ribu perbulan. Setelahnya ia dan istrinya pun mencoba berdagang Surabi di Jalan Bonang. Setelah istrinya meninggal dan empat orang anaknya sudah mapan di perantauan, usaha Surabi itu pun berhenti
“Jika seseorang berjuang namun minta digaji, itu namanya kuli. Berjuang itu tidak mengharapkan gaji. Jikapun nanti mati, akan mati sabil (di jalan Tuhan).” Tutur Arsilan

Arsilan mengaku ingatannya masih kuat. Ia bahkan masih bisa menyanyikan lagu berbahasa Jepang berjudul Miyoto sembari jalan ditempat, yang ia pelajari dari tentara Jepang saat ia bergabung di satuan Heiho pada tahun 1943 lalu. Namun ia bersikeras umurnya 92 tahun, walaupun ia mengakui ia kelahiran tahun 1925.

Arsilan tinggal di sebuah bangunan kayu yang berdiri di atas trotoar jalan Bonang. Kediamannya itu berada di sisi luar tembok sebelah Timur Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Di sisi jalan tersebut selain kediamannya, juga terdapat belasan bangunan kayu lain yang dipergunakan para pedagang makanan. Gubuk Arsilan berukuran sekitar 4 X 3,5 meter yang ia akui bangun sendiri. Gubuknya agak tersamar karena berada di bagian belakang kios rokok, yang terlihat dari sisi jalan hanyalah pintu masuknya saja.

Sementara di dalam gubuk tersebut terdapat beberapa buah kasur bekas yang ditumpuk sembarangan, berikut sejumlah bantal yang sudah usang. Kamar tersebut lembap, penuh debu dan minim penerangan, dan baunya pun khas. Beberapa kali kediamannya itu digusur oleh pemerintah daerah. Kata dia, terakhir kali bangunan itu digusur karena ada pejabat yang hendak melakukan inspeksi, setelahnya ia pun kembali mendirikan kembali kediamannya itu.

Hingga tahun 2003, Arsilan bekerja di kediaman keluarga Bung Karno di kawasan Menteng. Pekerjaannya terakhir adalah sebagai petugas keamanan, dengan gaji Rp 400 ribu per bulan. Setelahnya ia dan istrinya pun mencoba berdagang Surabi di Jalan Bonang. Setelah istrinya meninggal dan empat orang anaknya sudah mapan di perantauan, usaha Surabi itu pun berhenti.

Laki-laki berdarah Banten itu kini hidup dari tunjangan pemerintah sebesar Rp 1 juta per bulan, karena ia pernah berperang melawan penjajah di Serpong, Banten, pada tahun 1940-an, dan kini berstatus anggota satuan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI). Selain itu untuk menambah penghasilannya ia sehari-hari bekerja mengumpulkan gelas plastik air mineral.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Pranala[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Nurmalia Reskso Purnomo (Senin, 18 Agustus 2014 03:33 WIB). "Kisah Arsilan, Tukang Kebun Presiden Soekarno yang Kini Tinggal di Gubuk". Tribunnews.com. Diakses tanggal 18 September 2015.