Aporofobia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Aporofobia, berasal dari istilah Spanyol aporophobia, yang berasal dari kata Yunani Kuno ἄπορος (áporos), yang berarti kemiskinan, dan φόβος (phobos), yang berarti kebencian atau keengganan, mencakup watak yang berprasangka buruk dan respons emosional terhadap kemiskinan dan orang miskin. Hal ini bermanifestasi sebagai kebencian dan permusuhan yang diarahkan pada individu yang kekurangan sumber daya atau tidak mempunyai pengaruh.[1] Fobia terjadi ketika seseorang merasa sangat takut terhadap suatu hal atau situasi yang sebenarnya tidak menimbulkan bahaya. Hal ini seperti memiliki rasa takut pada sesuatu meskipun itu tidak melukai atau menyakiti diri. Terkadang masyarakat juga menggunakan istilah kata "fobia" untuk mengartikan ketika seseorang tidak menyukai atau membenci kelompok orang tertentu tanpa alasan yang jelas. Di negara Spanyol, ada jenis diskriminasi yang disebut aporofobia yang memiliki arti rasa takut dan tidak menyukai orang-orang miskin. Hal ini menimpa orang-orang yang miskin hanya karena mereka tidak punya banyak uang. Hal ini sangat serius sehingga sekarang dianggap sebagai tindakan yang lebih buruk jika seseorang melakukan kejahatan terhadap orang miskin.

Filsuf Adela Cortina, yang merupakan profesor Etika dan Filsafat Politik di Universitas Valencia, menciptakan istilah aporofobia pada tahun 1990-an. Istilah ini diciptakan untuk membedakannya dengan xenofobia, yaitu penolakan terhadap orang asing, dan rasisme, yaitu diskriminasi berdasarkan kelompok etnis. Perbedaan antara aporophobia dan xenophobia atau rasisme terletak pada kenyataan bahwa secara sosial tidak ada diskriminasi atau marginalisasi terhadap imigran atau individu dari latar belakang etnis lain jika mereka memiliki aset, sumber daya ekonomi, dan pengaruh sosial media.[2] Kemiskinan dapat digambarkan sebagai tidak adanya kebebasan, yang menghalangi individu untuk mencapai rencana hidup yang mereka inginkan. Ketidakmampuan untuk berkontribusi pada sistem pertukaran manfaat dalam hubungan sosial dapat mendefinisikan korban aporofobia. Akibatnya, individu yang menjadi sasaran aporofobia dianggap tidak diinginkan karena adanya persepsi bahwa mereka dapat diabaikan dan dibuang jika mereka kekurangan sumber daya atau tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan.[3]

Penyebab aporofobia[sunting | sunting sumber]

Aporofobia merupakan fenomena universal yang terjadi di semua negara tanpa memandang status sosial dan budaya, mempunyai asal-usul neurologis. Fobia ini tumbuh subur di lingkungan yang tidak setara di mana hubungan sosial pada dasarnya memiliki asimetri. Uang memegang peranan penting dalam mengatur berbagai aspek kehidupan dan memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Uang membantu orang melakukan sesuatu dan mendapatkan hal-hal yang penting dalam masyarakat. Jika seseorang tidak punya uang, dia mungkin tidak bisa pergi ke tempat tertentu atau membeli barang yang orang lain bisa. Hal ini dapat membuat individu tersebut merasa kurang penting atau tersisih.[3] Jika sekelompok individu atau orang tidak mempunyai sumber keuangan atau gaya hidup yang memuaskan, mereka dapat dianggap miskin. Contoh fobia dapat mencakup penolakan terhadap wisatawan berdasarkan daya beli mereka, namun penolakan individu yang berimigrasi ke negara dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan.[1]

Cara mengatasi aporofobia[sunting | sunting sumber]

Untuk mengatasi aporofobia yang sedang berkembang di masyarakat, institusi dapat memainkan peran penting dengan mempromosikan pentingnya menghormati semua individu dan martabat kemanusiaan. Pemberantasan aporophobia akan terjadi melalui intervensi yang berpegang pada prinsip-prinsip organisasi dan fungsi sosial, dimana masyarakat dicirikan oleh kekhasannya dan tidak semata-mata didorong oleh nilai-nilai moneter. Sebaliknya, penekanan akan ditempatkan pada pertumbuhan individu dan pertukaran nilai-nilai kemanusiaan. Transformasi sosio-ekonomi ini akan memungkinkan pendidikan sosial menjadi komponen fundamental dalam mendidik kembali masyarakat secara keseluruhan, menumbuhkan nilai-nilai baru, lebih berbelas kasih, dan diterima secara luas, sehingga kehormatan seseorang dapat terjaga dan bisa diperlakukan dengan baik.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Mimin (2022-01-04). "Aporofobia". Fakultas Psikologi Terbaik di Sumatera Utara (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-09-09. 
  2. ^ Liputan6.com (2018-07-23). "Mengenal Aporofobia: Rasa Tak Suka Berlebihan pada Orang Miskin". liputan6.com. Diakses tanggal 2023-09-09. 
  3. ^ a b https://revistas.uneb.br/index.php/anansi/article/download/12232/8239/