Anak-anak Gebelawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Anak-anak Gebelawi adalah judul novel yang ditulis oleh seorang novelis Mesir, Naguib Mahfouz. Seorang teolog Mesir, Sheik Omar Abdul Rahman, memberikan komentar bahwa seandainya Mahfouz telah dihukum karena menulis novel ini, maka Salman Rushdie tentunya tidak akan berani menerbitkan novelnya. Para ekstrimis Islam yang lantas menganggap komentar ini sebagai fatwa (sesuatu yang dibantah oleh Sheik Omar), berusaha membunuh Mahfouz. Namun Mahfouz bertahan dan terus menerus dikawal.

Sinopsis[sunting | sunting sumber]

Cerita mulai ketika Al-Gabalawi memutuskan untuk beristirahat dan menyerahkan pengaturan tanah wakaf kepada seorang anaknya. Tanah itu adalah sumber kehidupan orang Kampung sekaligus pangkal malapetaka. Wakaf bukan untuk dikuasai sepihak, tapi dimanfaatkan bersama, sebagaimana dunia adalah wakaf Tuhan untuk manusia. Dan petaka mulai ketika muncul hasrat tamak ingin menguasai tanah wakaf, dan ketika terjadi pelanggaran terhadap sepuluh syarat yang telah ditetapkan oleh Al-Gabalawi sebagai pemilik asal (hlm. 6), sebagaimana pelanggaran manusia terhadap sepuluh perintah Tuhan.

Nama Al-Gabalawi juga tidak sembarangan dipilih: ia berasal dari kata jabala yang berarti mencipta, memaksa, dan berkuasa. Al-Gabalawi berarti pencipta, penguasa, dan pemaksa alias Tuhan itu sendiri. Pun sifat-sifat Al-Gabalawi meneguhkan sebuah hubungan patriarki dalam sebuah keluarga. Ia adalah seorang bapak yang otoriter dan keras. Kita diingatkan pada citra Tuhan dalam agama: bahwa kekuatan-Nya terletak pada kemampuan-Nya untuk menurunkan hukuman dan siksaan.

Al-Gabalawi memiliki lima anak, Idris, Abbas, Ridlwan, Jalil, dan Adham (baca: Ad-ham). Mereka berasal dari satu ibu, kecuali ibu Adham, yang berasal dari budak yang dikawininya.

Dan Al-Gabalawi memilih Adham, sang bungsu, sebagai pengelola wakaf. Idris, sebagai anak tertua, marah besar dan menentang!

Dalam kisah kitab suci, Allah memilih manusia yang berasal dari tanah yang dalam dakwaan Iblis adalah unsur yang hina sebagai khalifah (pengganti) Allah di bumi (baca surat Al-Baqarah ayat 30), sebagaimana Al-Gabalawi memilih Adham yang lahir dari seorang budak yang dihinakan oleh saudara-saudara tirinya. Sebagai Iblis melawan Allah (surat Al-A'raf ayat 12), Idris pun menentang keras ayahnya. Ia merasa paling berhak atas jabatan sebagai pengelola tanah wakaf.

Tuhan memilih Adam sebagai khalifahnya karena Ia telah mengajarinya ilmu pengetahuan (Surat Al-Baqarah 31-33) sebagaimana Al-Gabalawi memilih Adham karena ia bisa menulis dan berhitung. Mahfouz menuliskan kata-kata Al-Gabalawi, "“Adham mengetahui tabiat penyewa (wakaf), hafal banyak nama mereka, dan yang lebih penting lagi, Adham bisa menulis dan berhitung”." Mendengar alasan itu, semua anak Al-Gabalawi taat, tapi Idris terus saja menentang (hlm. 14).

Dua kisah persidangan itu berakhir sama. Baik keputusan Allah maupun Al-Gabalawi tidak bisa dibantah. Adam menjadi khalifah di bumi, pun Adham menggantikan ayahnya mengurus wakaf. Iblis harus pergi dari surga, pun Idris diusir dari Rumah Besar itu.

Di sinilah, para ulama agama tak bisa menerima Al-Gabalawi sebagai personifikasi Tuhan, sebagaimana pendukung Gamal Abd. Nasser tersengat marah jika Al-Gabalawi adalah personifikasi Nasser. Padahal pembaca sendiri bisa memilih tafsir apa yang hendak disampaikan novel ini.

Setelah Idris diusir, Adham menjalani tugasnya menggantikan peran Al-Gabalawi di wakaf. Ia menikah dengan seorang gadis bernama Umaymah. Lagi-lagi Mahfouz tidak sembarangan memilih nama Umaymah, yang berasal dari kata umm, berarti ibu, sebagaimana Hawa (Eva) diyakini sebagai ibu umat manusia. Mereka menikmati kesenangan dan kedamaian di Rumah Besar.

Namun kebahagiaan itu tidak berusia lama. Adham dan Umaymah terusir karena mereka melanggar peraturan yang ditetapkan oleh Al-Gabalawi. Mereka lancang memasuki kamar pribadi Al-Gabalawi untuk membaca sebuah kitab berisi rencana-rencana masa depan sang ayah untuk keluarganya. Kenekatan Adham dalam novel ini adalah akibat rayuan Idris dan desakan istrinya sendiri.

Selanjutnya Adham dan Umaymah hidup sengsara di Kampung. Rumah mereka berdekatan dengan rumah Idris, yang tertawa senang karena berhasil mengeluarkan mereka dari Rumah Besar. Melalui kisah ini, Mahfouz ingin menegaskan bahwa kehidupan manusia memanglah di Kampung, bukan di Rumah Besar. Kebaikan dan keburukan akan selalu berdampingan, sebagaimana rumah Adham dan Idris berjiran (hlm. 62). Kadang kala Adham merasa tidak bisa lepas dari pengaruh Idris. Ia mengeluh kepada istrinya, "“Aku sering bertemu dengannya (Idris) tanpa kusadari. Tiba-tiba ia sudah berada di depan wajahku, tanpa aku tahu bagaimana ia datang”" (hlm. 61). Kata-kata Adham ini memberi arti yang tegas bawah potensi keburukan juga muncul dari dalam diri manusia.