Ameneh Bahrami

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ameneh Bahrami (Bahasa Persia: آمنه بهرامی, lahir tahun 1978) adalah wanita Iran yang menjadi korban kebutaan dan kerusakan wajah pada 2004 akibat serangan air keras oleh seorang pria yang ditolak cintanya. Pelakunya merupakan orang di sekitarnya, yakni Majid Mohavedi, teman sekelas di universitas sekaligus seorang junior dengan selisih usia 5 tahun lebih muda. Mereka bertemu pertama kali pada 2002 karena bersekolah di tempat yang sama.[1]

Kasus serangan cairan asam terhadap Ameneh semakin menjadi perhatian di dunia setelah Ameneh menuntut keadilan agar wajah tersangka disiram air keras pula sebagaimana yang pernah ia lakukan kepadanya.[2]

Serangan[sunting | sunting sumber]

Serangan air keras kepada wajah Ameneh terjadi pada Oktober 2004. Kala itu ia berusia 26 tahun. Pada siang hari usai bekerja di sebuah perusahaan teknis medis di Tehran, Ameneh hendak pulang ke rumah. Ketika berjalan menuju tempat pemberhentian bus, tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Ia pun menyadari bahwa orang yang mengikutinya adalah Majid. Ameneh berusaha menghindar darinya. Akan tetapi, dengan cepat Majid langsung melemparkan cairan asam dari sebuah benda berwarna merah ke wajah Ameneh.[1]

Seketika Ameneh mengerang kesakitan. Ia merasa ada sensasi terbakar di wajahnya. Sayangnya, orang-orang yang ada di sekitarnya saat itu tidak menolongnya sama sekali karena tidak tahu bagaimana cara memberikan bantuan. Tidak adanya petugas medis pada rumah sakit pertama dan kedua yang dikunjungi juga membuat Ameneh harus menunggu waktu selama 5 jam lamanya sebelum akhirnya ia dapat diperiksa oleh dokter spesialis mata. Cairan asam yang dilemparkan kepadanya menyebabkan wajahnya rusak berat. Luka-luka yang membekas juga membuat ia harus kehilangan salah satu matanya dan mengalami kebutaan pada mata satunya lagi. Ia pun butuh perawatan serius.[3][4]

Merebaknya kasus Ameneh di media setempat membuat Presiden Mohammad Khatami memberikan dukungan. Untuk meringankan biaya Ameneh dalam menjalani perawatan, ia pun mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar 22.500 Euro. Sejak itu ia harus menjalani 17 kali operasi, sebagian di antaranya dilakukan di Barcelona, Spanyol. Semula berjalan lancar. Namun setelah pemilu Iran 2005, keadaannya kian memburuk. Bergesernya kepemimpinan Khatami untuk kemudian digantikan oleh Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden Iran yang baru saat itu memberikan pengaruh pada keadaan finansialnya saat menjalani perawatan. Dukungan yang mengering membuat ia menjadi miskin dan sendirian di negeri orang. Alhasil, ia pun sempat dibawa ke tempat penampungan tunawisma karena minimnya uang yang ia miliki.[3][5]

Berdasarkan penuturan Ameneh, ini bukan kali pertama Majid mengusiknya. Jauh sebelum itu, Majid juga pernah melakukan tindakan pelecehan karena ia menolak untuk menikah dengannya. Dua hari sebelum kejadian, Majid bahkan sempat mengancam kepada Ameneh bahwa ia akan menghancurkan hidupnya dan ia akan melakukan sesuatu agar Ameneh tidak bisa menikah dengan siapapun.[5]

Sebelum serangan terjadi, Ameneh sebenarnya sempat melaporkan tindakan Majid kepada kepolisian. Namun karena Majid tidak melakukan kontak fisik dengannya, pihak kepolisan beranggapan bahwa mereka tidak bisa memproses laporannya. Akibatnya, Majid masih leluasa dalam mengganggu dirinya. Tindakan tersebut semakin menjadi ketika Ameneh memberitahukan kepada Majid bahwa ia akan menikah dengan pria lain dan memohon kepadanya agar Majid meninggalkannya. Pada saat itulah, Majid yang tak bisa menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa hidup bersama Ameneh mencelakai Ameneh dengan cara melakukan serangan air keras ke wajahnya.[5]

Tuntutan dan hukuman[sunting | sunting sumber]

Setelah serangan terjadi, Majid menyerahkan diri kepada pihak kepolisian. Semula hakim menginginkan agar pelaku dihukum mati, tetapi Ameneh menginginkan qisas yang diterapkan dalam hukum syariah Islam berdasarkan hukum retribusi 1982 yang berlaku di Iran. Melalui hukum qisas, Ameneh ingin agar mata ganti mata sehingga pelaku juga mengalami kehilangan penglihatan sebagaimana yang ia rasakan.[2][6] Terlebih, dalam pengadilan Majid mengaku bahwa ia memutuskan untuk membutakan mata Ameneh dengan cairan asam agar suaminya meninggalkannya sehingga ia bisa memilikinya.[3]

Namun sayangnya, permintaan Ameneh sempat terkendala aturan di Iran. Berdasarkan hukum di Iran, wanita hanya memiliki setengah nilai dibanding laki-laki saat menuntut haknya di pengadilan. Dengan kata lain, jika satu orang wanita menyampaikan suaranya di pengadilan, suaranya hanya dianggap bernilai setengah dari berat satu orang laki-laki. Oleh karena itu meskipun Ameneh telah berupaya keras dalam menuntut Majid agar kedua matanya dibutakan seperti yang ia alami, hakim tak bisa mengabulkannya begitu saja.[4]

Berdasarkan aturan tersebut, pada awalnya hakim hanya bisa memvonis hukuman berupa pembutaan 1 mata saja. Namun berkat lobi-lobi yang dilakukan oleh Ameneh, tuntutannya akhirnya dikabulkan. Pada November 2008, pengadilan Tehran menyetujui tuntutan Ameneh untuk membutakan kedua mata Majid. Meski tampak menggembirakan bagi Ameneh, keputusan ini menimbulkan kecaman internasional karena hukuman tersebut dianggap tidak manusiawi. Akibatnya, pelaksanaan hukuman pun ditunda hingga Juli 2011.[4]

Begitu waktunya tiba, Ameneh beserta keluarganya berkunjung ke rumah sakit tempat Majid berada untuk membutakan mata Majid. Namun bukannya kata maaf atau penyesalan yang diucapkan, setibanya di sana, Ameneh malah dimaki-maki oleh Majid. Majid merasa terkejut karena petugas rumah sakit telah mempersiapkannya untuk dibius di atas tempat tidur.[4]

Lantaran kehilangan penglihatan, Ameneh tidak bisa meneteskan air keras kepada Majid seorang diri. Oleh karena itu ia meminta bantuan dari adik laki-lakinya untuk melakukan qisas dan adiknya pun setuju. Ketika seorang petugas menghitung mundur detik-detik terakhir sebelum berlangsungnya qisas secara mundur, tiba-tiba Ameneh berubah pikiran. Ia memaafkan Majid karena merasa tak sanggup membalas perbuatannya. Majid pun terkejut. Seketika ia berlutut di kaki Ameneh namun Ameneh mengatakan kepadanya untuk pergi dan jangan memanggil namanya lagi seumur hidup.[2][4]

Amaneh menyatakan bahwa ada dua orang yang pernah menolongnya yang menjadi alasan kenapa ia mengubah pikirannya. Mereka adalah seorang dokter di sebuah klinik di Spanyol dan Amir Sabouri, seorang pria Iran yang membantunya dalam mendapatkan perhatian medis. Sabouri bahkan sempat mengatakan kepada Ameneh agar ia memaafkan Majid untuk membuktikan kepada dunia bahwa orang-orang Iran itu baik dan punya sikap saling memaafkan.[1]

Keputusan Ameneh dalam memaafkan Majid disambut dengan hangat oleh masyarakat Iran. Dalam waktu beberapa bulan kemudian, sebuah patung yang menyerupai dirinya dipajang di sebuah pameran di Tehran. Kendati Majid tidak jadi dibutakan, bukan berarti Majid bebas dari hukuman. Sebagai gantinya, Majid dihukum dipenjara dan keluarganya wajib uang kompensasi untuk menjalani perawatan. Namun saat Ayatollah Ali Khamenei berkuasa sebagai presiden, harapan tidak sesuai kenyataan. Pada 2014 Majid justru dibebaskan dari penjara dan kompensasi yang mesti dibayarkan seolah terlupakan. Pada titik itu, Amaneh merasa telah dikhianati.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c "Victim: Revenge in Iran acid attack is 'not worth it'". www.cnn.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-19. 
  2. ^ a b c Wirawan, Miranti Kencana. Wirawan, Miranti Kencana, ed. "Mirip Kasus Novel Baswedan, Wajah Wanita Ini Juga Disiram Air Keras". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-06-19. 
  3. ^ a b c "Eye for an eye: Iranian man sentenced to be blinded for acid attack". the Guardian (dalam bahasa Inggris). 2008-11-28. Diakses tanggal 2020-06-19. 
  4. ^ a b c d e f "Acid attack victim Ameneh Bahrami: 'I'm living my life' | The Star". www.thestar.com.my. Diakses tanggal 2020-06-19. 
  5. ^ a b c Hegarty, Stephanie (2011-06-02). "Blinded woman seeks 'eye for eye'". BBC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-19. 
  6. ^ Burki, Shireen (2013). The Politics of State Intervention: Gender Politics in Pakistan, Afghanistan, and Iran. Lexington Books. hlm. 239. ISBN 978-0739184325.