Akta pengakuan sepihak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dalam hukum Indonesia, akta pengakuan sepihak diatur dalam Pasal 1878 KUH Perdata, Pasal 291 RBG yang menyatakan bahwa, “Perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu, harus ditulis seluruhnya dengan tangan si penanda tangan sendiri, setidak-tidaknya, selain tanda tangan, haruslah ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri suatu tanda, setuju yang menyebut jumlah uang atau banyaknya barang yang terutang, jika hal ini tidak diindahkan, maka bila perkataan dipungkiri, akta yang ditanda tangani itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan”.[1]

Aturan tersebut menjelaskan bahwa perikatan utang sepihak di bawah tangan digunakan untuk membayar uang tunai atau memberikan barang dapat dinilai dengan harga tertentu, harus ditulis seluruhnya oleh si penanda tangan atau bisa dengan suatu tanda ditulis oleh penanda tangan, setuju terdapat jumlah banyak barang terutang. Jika faktor tersebut tidak dilakukan maka akta tersebut hanya sebagai permulaan pembuktian tulisan.

Ketentuan[sunting | sunting sumber]

Akta Pengakuan Sepihak menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata merupakan:[2]

  1. Perikatan Uang Sepihak;
  2. Bantuk Aktanya, Bawah Tangan;
  3. Berisi Pengakuan Utang;
  4. Objek Pengakuan Utang;
  5. Kuitansi digolongkan pada Akta Pengakuan Sepihak; dan
  6. Dapat Diterapkan sebagai Perjanjian Tambahan.

Syarat[sunting | sunting sumber]

Syarat akta pengakuan sepihak di antaranya syarat formil dan materiil.[2]

Syarat formil[sunting | sunting sumber]

Sesuai ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata, syarat formil terdiri atas berikut ini.

  1. Bentuk akta di bawah tangan, tertulis. Ketentuan ini memaksa dan harus berbentuk tulisan sehingga akta pengakuan sepihak tidak sah jika secara lisan.
  2. Mencantumkan identitas, yaitu identitas penanda tangan, identitas pihak kreditur, terhadap siapa utang atau pembayaran akan dilakukan.
  3. Menyebut dengan pasti waktu pembayaran. Hal ini tidak tegas secara tersirat disebut dalam Pasal 1878 KUH Perdata, namun dianggap syarat formil untuk keabsahan akta pengakuan sepihak.
  4. Ditulis tangan oleh penanda tangan. Hal ini menurut pembuat undang-undang berupaya untuk menghindari debitur menandatangani Akta Pengakuan Sepihak tanpa menelaah terlebih dahulu secara wajar dan teliti kebenaran isi yang ada di dalamnya.[3] Menurut Putusan MA No. 4069 K/Pdt/1985,[4] kuitansi yang tidak ditulis tangan sendiri atau sekurang-kurangnya mengenai jumlah utang dengan huruf, hanya bernilai sebagai alat bukti permulaan tulisan. Sehubungan dengan itu, oleh karena yang diakui tergugat hanya Rp 600.000,00 maka yang tertulis dikuitansi harus dikesampingkan karena penggugat tidak dapat mengajukan bukti tentang itu.
  5. Ditandatangani penulis akta. Tanpa tanda tangan penulis akta maka akta pengakuan sepihak tidak sah dan tidak bernilai sebagai alat bukti.

Syarat materiil[sunting | sunting sumber]

Sesuai ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata, syarat materiil terdiri atas berikut ini.

  1. Pernyataan pengakuan sepihak dari penanda tangan. Penyataan tersebut menjelaskan bahwa isi tercantum dalam akta pengakuan sepihak harus berupa pernyataan pengakuan sepihak oleh penanda tangan.
  2. Penegasan utang berasal dari persetujuan timbal balik. Penegasan tersebut menjelaskan bahwa akta pengakuan sepihak merupakan tambahan asesor dengan perjanjian pokok sehingga diketahui terang, apakah kausa pengakuan utang halal atau tidak halal.
  3. Merupakan pengakuan sepihak tanpa syarat.
  4. Jumlah utang atau barang sudah pasti.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Jakarta: Internusa. 1992. 
  2. ^ a b Harahap, M.Yahya (2006). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. 
  3. ^ Pitlo, A. (1986). Pembuktian dan Daluwarsa (terj.). Jakarta: Intermasa. 
  4. ^ Warta Yurisprudensi: Pembinaan Wawasan Hukum Indonesia. 1988.