Lompat ke isi

Ajamila

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi dari kitab Bhagawatapurana Gorakhpur Gita Press, menggambarkan para Wisnuduta (kiri) menghalangi para Yamaduta yang hendak mengajak roh Ajamila ke Neraka.

Ajamila (Dewanagari: अजामिल ; ,IASTAjāmila, अजामिल ) adalah seorang tokoh dalam legenda Hindu, yang tercatat dalam bab 6 kitab Bhagawatapurana.[1] Dikisahkan bahwa ia adalah seorang keturunan brahmana yang kehidupannya banyak menyimpang dari ajaran Weda, tetapi rohnya diampuni oleh Dewa Wisnu setelah ia mengucapkan nama sang dewa ketika menjelang kematian. Dalam agama Hindu, kisah Ajamila digunakan sebagai contoh bahwa dengan mengucapkan nama Tuhan, seseorang dapat memperoleh pengampunan, bahkan apabila dalam kehidupannya telah berbuat banyak dosa.[2]

Legenda[sunting | sunting sumber]

Kisah Ajamila tercatat dalam Bhagawatapurana bab 6, bagian pertama dan kedua, dinarasikan oleh Sukadewa atas permohonan Raja Parikesit. Dikisahkan bahwa Ajamila merupakan putra seorang brahmana yang terpelajar, tinggal di kota Kanyakubja (pada masa kini disebut Kannauj[3]). Ia menikah dengan seorang gadis dari keluarga brahmana[1] dan hidup secara baik-baik sesuai dengan ajaran Weda.

Pada suatu hari, ketika Ajamila pergi ke hutan untuk memetik bunga dan buah-buahan, ia menyaksikan seorang pria sudra sedang bercinta dengan seorang wanita tunasusila. Peristiwa tersebut membekas dalam pikiran Ajamila, senantiasa membayang-bayanginya, hingga akhirnya ia mencari kembali wanita tersebut dan menjadikannya istri baru. Dari istri barunya, Ajamila memiliki 10 anak; yang bungsu bernama Narayana. Sejak Ajamila menikahi wanita tunasusila, ia tidak lagi hidup baik-baik sesuai ajaran agama. Ia terlibat dalam perjudian, penipuan, pencurian, mabuk-mabukan, dan semacamnya.

Kehidupan yang buruk dijalani Ajamila hingga menjelang tutup usia pada umur 88 tahun. Pada detik-detik menuju kematian, ia menyaksikan utusan Dewa Kematian yang disebut Yamaduta datang menghampirinya untuk mengajaknya ke Neraka. Takut akan wajah para Yamaduta yang menyeramkan, Ajamila pun memanggil Narayana, putra bungsu yang paling ia sayangi. Kebetulan nama anaknya sama dengan nama lain Wisnu: "Narayana". Mendengar nama tuannya dipanggil, pelayan Wisnu yang disebut Wisnuduta pun segera menuju tempat Ajamila, lalu menghadang Yamaduta yang sedang menjemput roh Ajamila. Perdebatan pun terjadi antara Yamaduta dengan Wisnuduta.[4]

Pada kitab Bhagawatapurana bab 6 bagian kedua terdapat dialog antara para Yamaduta dengan Wisnuduta. Dikisahkan bahwa para Wisnuduta melindungi roh Ajamila sebab ia mengucapkan nama suci "Narayana" saat menjelang kematian. Wisnuduta menyatakan bahwa siapa pun yang mengucapkan nama "Narayana", entah mengacu kepada Wisnu maupun orang lain, maka ia akan mendapat perlindungan dari para Wisnuduta. Maka dari itu segala dosa-dosa Ajamila diampuni, dan ia diberi kesempatan untuk hidup sebentar lagi demi melakukan pertobatan. Ajamila pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk pergi ke kota Haridwar di tepi sungai Gangga, dan melakukan Bhakti Yoga di suatu kuil Wisnu.[5] Saat kematiannya, ia dijemput sekali lagi oleh para Wisnuduta, untuk menuju kediaman Wisnu di Waikuntha.[6]

Ajaran[sunting | sunting sumber]

Pada kitab Bhagawatapurana bab 6, bagian 3, terkandung suatu narasi tentang manfaat mengucapkan nama suci Tuhan. Dalam narasi tersebut, Dewa Yama memberikan penjelasan kepada para bawahannya (Yamaduta) yang kecewa sebab mereka tidak berhasil membawa roh Ajamila untuk dihakimi di Yamaloka, sedangkan Ajamila banyak berbuat dosa semasa hidup di dunia. Yama pun memberikan uraian panjang kepada para Yamaduta tentang keistimewaan Narayana. Pada sloka 23, Yama bersabda:[7]

नामोच्चारणमाहात्म्यं हरे: पश्यत पुत्रका: । अजामिलोऽपि येनैव मृत्युपाशादमुच्यत ॥
(nāmoccāraṇa-māhātmyaṁ hareḥ paśyata putrakāḥ, ajāmilo ’pi yenaiva mṛtyu-pāśād amucyata)
Terjemahan
[wahai] Para pelayanku, yang sudah seperti putraku sendiri, lihatlah kemuliaan mengucapkan nama suci Tuhan. Ajamila yang banyak berbuat dosa sekadar memanggil putranya, tanpa menyadari bahwa ia juga menyebut nama Tuhan. Maka dari itu, dengan menyebutkan nama Tuhan, ia mengingat Nārāyaṇa, sehingga langsung bebas dari jerat kematian.

Dalam pergurunan Gaudiya Waisnawa, meliputi Gerakan Hare Krishna (ISKCON), Swami Prabhupada menekankan keutamaan praktik pengucapan nama Tuhan dengan mengutip kisah Ajamila. Menurut perguruan tersebut, pengucapan nama Tuhan — entah disadari atau tidak oleh pelakunya — diumpamakan seperti meminum obat, yang tetap memberikan khasiat bagi orang yang meminumnya, entah dia percaya atau tidak akan kemujaraban obat tersebut.[5]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Srimad Bhagavatam Canto 6". vedabase.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-16. Diakses tanggal 2019-11-28. 
  2. ^ "Taraka Mantra". The Hindu (dalam bahasa Inggris). 2016-05-04. ISSN 0971-751X. Diakses tanggal 2019-11-28. 
  3. ^ Rama Shankar Tripathi (1989). History of Kanauj: To the Moslem Conquest. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 2. ISBN 978-81-208-0404-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 March 2024. Diakses tanggal 15 November 2015. 
  4. ^ www.wisdomlib.org (2022-08-19). "The Story of Ajāmila [Chapter 1]". www.wisdomlib.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-09-06. 
  5. ^ a b A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada (2024), The Deliverance of Ajamila, ISKCON SOUTH AFRICA 
  6. ^ www.wisdomlib.org (2022-08-19). "Exposition of the Bhāgavata Dharma [Chapter 2]". www.wisdomlib.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-09-06. 
  7. ^ "Srimad Bhagavatam Canto 6. Chapter 3, verse 23". vedabase.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 Januari 2021. Diakses tanggal 2024-06-20. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]