Zoroastrianisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 14 April 2013 23.00 oleh Addbot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 99 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q9601)
Faravahar (atau Ferohar), salah satu simbol dalam Zoroastrianisme sebagai roh penjaga

Zoroastrianisme adalah sebuah agama dan ajaran filosofi yang didasari oleh ajaran Zarathustra yang dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster.[1] Zoroastrianisme dahulu kala adalah sebuah agama yang berasal dari daerah Persia Kuno atau kini dikenal dengan Iran.[1] Di Iran, Zoroastrianisme dikenal dengan sebutan Mazdayasna yaitu kepercayaan yang menyembah kepada Ahura Mazda atau "Tuhan yang bijaksana".[2]

Latar Belakang Munculnya Zoroastrianisme

Zarathustra menurut lukisan Mazhab Athena.

Zarathustra atau Zoroaster adalah pelopor berdirinya Zoroastrianisme di Iran (Persia).[3] Ia hidup sekitar abad ke-6 SM.[3] Zarathustra berasal dari keturunan suku Media.[3] Ia adalah seorang imam yang dididik dalam tradisi Indo-Iran.[2] Sebelumnya, agama yang ada di Iran (Persia) bersumber pada macam-macam ajaran seperti politeisme, paganisme, dan animisme.[3] Zarathustra yang merasa tidak puas dengan ajaran-ajaran yang berkembang di Iran pada waktu itu berusaha membawa pembaruan.[3] Oleh sebab itu, oleh para ahli ia kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh pembaru agama tradisional.[3] Zarathustra dikenal sebagai nabi yang mempunyai karunia untuk menyembuhkan dan sanggup melakukan berbagai mujizat.[4] Selama bertahun-tahun ia berusaha menemukan penyingkapan-penyingkapan dari kebenaran spiritual.[2]

Zarathustra ingin memperbaiki sistem kepercayaan dan cara penyembahan kepada dewa-dewa yang berkembang di Persia saat itu.[3] Pada usia tiga puluh tahun, Zarathustra menerima sebuah penglihatan.[2] Menurut legenda, ia melihat cahaya besar yang kemudian membawanya masuk dalam hadirat Ahura Mazda.[2] Sejak perjumpaannya dengan Ahura Mazda, Zarathustra menjadi semakin giat menyebarkan ajaran bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Ahura Mazda.[2] Ajarannya yang sangat berbeda dengan kepercayaan yang ada pada waktu itu menyebabkan Zarathustra mendapat tekanan.[3]

Ia pun akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dan pergi ke Chorasma atau (Qarazm).[3] Pada tahun 618 SM Raja Chorasma yaitu Vitaspa dan menterinya Yasasp yang menikahi Pauron Chista kemudian menjadi penganut Zoroastrianisme.[3] Barulah Zoroastrianisme mengalami perkembangan dan semakin bertambah banyak yang menjadi pengikutnya.[3] Zarathustra meninggal di usia 77 tahun.[2] Ketika Islam berkuasa di Persia tahun 636-637 Masehi, Zoroastrianisme sempat mengalami kemunduran.[3] Banyak penduduk Persia yang lebih tertarik kepada agama Islam.[3] Sekelompok pemeluk Zoroastrianisme kemudian pergi ke India dan menetap di Bombay[3] Di sana mereka dikenal dengan sebutan orang-orang Parsi.[3]

Ajaran-ajarannya

Konsep Ketuhanan

Di dalam ajaran Zoroastrianisme, hanya ada satu Tuhan yang universal dan Maha Kuasa, yaitu Ahura Mazda.[3] Ia dianggap sebagai Sang Maha Pencipta, segala puja dan sembah ditujukan hanya kepadanya.[3] Pengakuan ini adalah bentuk penegasan bahwa hanya Ahura Mazda yang harus disembah di tengah konteks kepercayaan tradisional masyarakat Iran yang kuat dengan pengaruh politeisme.[5]

Zoroastrianisme mempunyai prinsip dualisme yang mempercayai bahwa ada dua kekuatan yang bertentangan dan saling beradu yakni kekuatan kebaikan dan kejahatan.[3] Dalam tradisi Zoroastrianisme, yang jahat diwakili oleh Angra Mainyu atau Ahriman, sedangkan yang baik diwakili oleh Spenta Mainyu.[3] Manusia harus selalu memilih akan berpihak pada kebaikan atau kejahatan selama hidupnya.[5] Akan tetapi, dengan paham dualisme ini tidak berarti bahwa Zoroastrianisme tidak mengakui monoteisme karena Ahura Mazdalah satu-satunya Tuhan yang disembah.[5] Ahura Mazda, pada saatnya akan mengalahkan kekuatan yang jahat dan berkuasa penuh.[3] Ahriman dan para pengikutnya akan dimusnahkan untuk selamanya.[3] Meskipun ajaran Zarathustra mengajarkan monoteisme dengan Ahura Mazda sebagai satu-satunya dewa yang harus disembah namun keberadaan dewa-dewa lain pun tetap diakui.[3] Dewa-dewa yang turut diakui keberadaanya ada lima yaitu:[3]

  1. Asha Vahista, dewa tata tertib dan kebenaran yang berkuasa atas api
  2. Vohu Manah, dewa yang digambarkan sebagai sapi jantan ini dikenal sebagai dewa hati nurani yang baik
  3. Keshatra Vairya, yaitu dewa yang berkuasa atas segala logam
  4. Spenta Armaity, yaitu dewa yang berkuasa atas bumi dan tanah
  5. Haurvatat dan Amertat, yaitu dewa-dewa yang berkuasa atas air dan tumbuh-tumbuhan

Konsep mengenai Penciptaan

Alam semesta dalam ajaran Zoroastrianisme berusia 12000 tahun.[3] Setelah masa 12000 tahun berakhir barulah akan terjadi kiamat.[3] Masa 12000 tahun ini terbagi menjadi beberapa periode:

  1. Periode 3000 tahun pertama, yaitu masa ketika Ahura Mazda menciptakan alam semesta.[3] Ahriman kemudian berusaha menyerang dan menghancurkan alam yang diciptakan Ahura Mazda.[6] Hal ini disebabkan karena kehendak Ahriman adalah menyakiti dan merusak alam ciptaan.[6]
  2. Periode 3000 tahun kedua, yaitu periode Ahura Mazda dan Angra Mainyu beradu kekuatan, keduanya berusaha saling kalah mengalahkan.[3] Dalam peristiwa inilah terjadi terang dan gelap serta siang dan malam[3]
  3. Periode 3000 tahun ketiga, yaitu masa ketika nabi Zarathustra lahir dan menerima penglihatan dari Ahura Mazda.[6] Selanjutnya, penglihatan ini kemudian disebarkannya kepada umat manusia.[3]
  4. Periode 3000 tahun terakhir, yaitu masa munculnya seorang Saoshayant setiap seribu tahun, yang diyakini sebagai penyelamat yang akan memerintah dan memelihara bumi.[3] Ketiga Saoshayant yang akan datang itu adalah keturunan Zarathustra yang pada akhirnya akan memimpin manusia untuk melawan dan menghancurkan Ahriman serta para pengikutnya.[3] Barulah setelah itu perdamaian dunia akan terwujud.[3]

Konsep Eskatologi: Kehidupan Setelah Kematian

Dalam pemahaman Zoroastrianisme, setiap orang akan mengalami penghakiman setelah meninggal.[1] Penganut Zoroaster meyakini bahwa ketika seseorang meninggal, ia harus dapat membuktikan dirinya telah melakukan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan.[1] Mereka percaya setiap roh manusia yang telah meninggal harus melewati Jembatan Cinvat yaitu jembatan yang menuju ke sorga.[2] Jiwa manusia sesudah meninggal akan tetap tinggal selama tiga hari di dalam tubuhnya dan baru pada hari ke empat dibawa menuju penghakiman di Jembatan Cinvat.[1]

Setelah berhasil melewati jembatan ini maka seseorang akan hidup bahagia dengan rahmat Ahura Mazda.[2] Semakin banyak kebaikan yang dibuat seseorang maka akan semakin lebarlah jembatan itu dan sebaliknya, semakin besar kejahatannya maka semakin sempitlah jembatan itu hingga rohnya tidak dapat melewatinya dan jatuh dari Jembatan Cinvat.[2] Di bawah jembatan inilah terdapat neraka yang penuh api, sebuah tempat yang suram dan penuh kesedihan.[2] Menurut ajaran Zoroastrianisme, dunia akan mengalami pembaruan menuju kesempuranaan dan jiwa-jiwa baik yang masih hidup dan sudah mati akan dibebaskan selamanya dari kuasa jahat.[2] Pembaruan dunia dan kebangkitan kembali seluruh ciptaan disebut Frashokeveti[2]

Konsep mengenai Etika Hidup

Dalam pandangannya mengenai etika hidup yang ideal, ada tiga hal utama yang ditekankan dalam Zoroastrianisme yaitu pikiran yang baik, perkataan yang baik dan perbuatan yang baik.[7] Zoroastrianisme memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya untuk memilih hidup yang baik atau jahat bagi dirinya sendiri.[7] Menurut mereka dunia yang akan datang akan mengalami pembaruan.[2] Pembaruan dunia ini tidak dapat dapat dikerjakan oleh satu orang saja tetapi membutuhkan keterlibatan banyak orang.[2] Oleh karena itu, Zoroastrianisme sangat menekankan tanggung jawab moral dari masing-masing orang untuk melakukan kebaikan.[2] Dosa bagi penganut Zoroastrianisme adalah penolakan untuk bersekutu dengan aspek kebaikan dari Ahura Mazda.[7] Mereka meyakini bahwa tidak ada yang ditakdirkan atau dikodratkan sebelumnya.[2] Apa yang dilakukan, dikatakan dan dipikirkan selama hidup akan menentukan apa yang akan terjadi setelah meninggal. Mereka pun menolak konsep pertapaan karena mereka memahami bahwa dunia itu baik.[7] Tidak ada ruang untuk penyangkalan diri dan bertapa karena menolak dunia berarti menolak ciptaan dan menolak ciptaan berarti menolak Sang Pencipta.[7]

Ritus Kematian dalam Zoroastrianisme

Salah satu gambar Menara Ketenangan di Bombay.

Zoroastrianisme tidak mengizinkan penguburan dan pembakaran tubuh orang yang telah meninggal karena dianggap akan menodai air, udara, bumi dan api.[1] Mereka menyelenggarakan ritus kematian dengan menempatkan mayat di atas Dakhma atau Menara Ketenangan (Tower of Silence).[1] Di sana terdapat pembagian tempat yang jelas bagi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak.[1] Adapun tahap-tahap yang dilakukan saat upacara kematian adalah sebagai berikut:[1]

  1. Mayat dibiarkan di dalam sebuah ruangan di rumah selama tiga hari sebelum dibawa ke Dakhma, tempat untuk melaksanakan upacara kematian.
  2. Sesudah itu, mayat lalu dibawa ke Dakhma atau Menara Ketenangan.
  3. Di sana mayat akan ditelanjangi dan ditidurkan di atas menara yang terbuka dan dibiarkan agar dimakan oleh burung-burung.
  4. Sisa-sisa tulang kemudian dibuang ke dalam sumur.

Ritus Naojote

Gambar seorang anak yang sedang mengikuti ritus Naojote

Ritus Naojote merupakan sebuah ritus yang dijalani oleh anak-anak yang berusia antara tujuh hingga sepuluh tahun.[1] Istilah Naojote berasal dari kata nao yang berarti baru dan jote atau zote yang artinya mempersembahkan doa-doa.[1] Dalam ritus ini, anak-anak laki-laki dan perempuan diberikan Sadre dan Kusti, pakaian kudus yang harus dipakai seumur hidup.[1] Setelah mengikuti ritus Naojote, anak-anak dianggap sudah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan dalam Zoroastrianisme.[1]

Tempat Ibadah

Salah satu kuil Zoroastrianisme di Yazd,Iran

Para penganut Zoroastrianisme beribadah di dalam kuil yang disebut dengan Kuil Api.[8] Disebut demikian karena di dalam kuil, api dibiarkan menyala terus-menerus sebagai lambang kehadiran dewa.[8] Api bukan saja menyimbolkan kehadiran Tuhan tetapi juga sebagai simbol kesucian.[7]

Upacara Keagamaan Sehari-Hari dan Berbagai Hari Raya

Untuk melangsungkan upacara keagamaan sehari-hari, penganut Zoroaster tidak diharuskan pergi ke kuil.[1] Mereka dapat berdoa di mana saja seperti di gunung-gunung, sungai-sungai, ladang-ladang ataupun di rumah.[1] Mereka dapat menyampaikan nazar, penyesalan dosa,ungkapan terima kasih, dan sebagainya.[1] Waktu yang dirasakan tepat untuk melakukan upacara agama sehari-hari adalah di pagi hari.[1] Zoroastrianisme mempunyai beberapa hari raya atau disebut Gahambars.[1] Perayaan Tahun Baru (Naw Ruz atau Noruz) merupakan hari raya yang dirayakan paling meriah.[1] Selain itu, ada juga Festival Seribu Hari (Sada) yang dirayakan di dekat sungai, Pengenangan akan orang-orang yang telah meninggal, dan perayaan Ulang Tahun Zoroaster.[1]

Kitab Suci

Kitab suci orang-orang penganut Zoroaster adalah kumpulan tulisan-tulisan sakral yang dikenal dengan Avesta yang terbagi menjadi empat bagian.[1] Keempat bagian itu terdiri atas:

  1. Kitab Yasna yaitu kumpulan doa-doa dan aturan-aturan ibadah.[1] Kitab Yasna juga mencakup Ghata yakni kumpulan puji-pujian yang dipercayai sebagai hasil tulisan dari Zoroaster.[1] Ghata terdiri dari 17 puji-pujian yang dibuat dalam bentuk puisi yang sulit diterjemahkan dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu.Puisi ini menceritakan tentang perjumpaan Zoroaster dengan Tuhan dalam suatu penglihatan.[8]
  2. Kitab Visparat berisi puji-pujian penuh hormat serta permohonan kepada Tuhan.[1]
  3. Kitab Vivevdat (Vendidad) yaitu tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ritual pemurnian.[1]
  4. Kitab Khode Avesta, yaitu buku kumpulan doa sehari-hari yang di dalamnya juga mencakup Yashts, kumpulan puji-pujian dan puisi tentang kepahlawanan.[1]

Sekte-sekte dalam Zoroastrianisme

Terbaginya Zoroastrisme ke dalam beberapa kelompok bukan disebabkan karena perbedaan pemahaman teologi.[1] Pembagian sekte-sekte ini karena waktu perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda.[1] Terdapat tiga sekte dalam Zoroastrianisme[1]:

  1. Kelompok Shenshahi yang merayakan Tahun Baru pada musim gugur sekitar bulan Agustus atau September
  2. Kelompok Qadimi yang merayakan Tahun Baru pada musim panas, sekitar bulan Juli atau Agustus
  3. Kelompok Fasli yang merayakan Tahun Baru pada musim semi yaitu setiap tanggal 21 Maret

Perkembangan Zoroastrianisme Masa Kini

Zoroastrianisme tidak menekankan pentingnya konversi.[2] Mereka berusaha mempertahankan agamanya sebagai agama yang khas dalam komunitas mereka.[2] Akan tetapi, mereka tetap membuka peluang bagi siapa saja yang hendak menjadi penganut Zoroastrianisme.[2] Sepanjang abad 20, banyak orang-orang penganut Zoroastrianisme yang menetap di Iran dan India melakukan migrasi ke negara-negara lain.[2] Kini, komunitas Zoroastrianisme dapat ditemukan di kota-kota besar seperti London,New York,Chicago,Boston dan Los Angeles dan telah hidup berbaur dengan komunitas-komunitas beragama lain.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac (Inggris)S.A Nigosian. 1990. World's Faiths. St.Martin's Press. hlm. 81, 87-91.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v (Inggris)Mary Pat Fisher. 1997. An Encyclopedia of The World's Faith Living Religions. Tauris Publisher. Hal. 208-214.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af (Indonesia)H.M Arifin. 1986. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Golden Trayon. Hlm. 18, 20-24.
  4. ^ (Inggris)Elizabeth Dowling, George Scarlett. 2006. Encyclopedia of Religious aand Spiritual Development. California: Sage Publications. Hlm. 495.
  5. ^ a b c (Indonesia)M.Dhavamony. 1995. Fenomenologi Agama. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 124.
  6. ^ a b c (Inggris)Mary Boyce. 1996. A History of Zoroastrianism. Leiden:E.J Brill. Hlm. 286.
  7. ^ a b c d e f (Inggris)Diane Morgan. 2001. The Best Guide to Eastern Philosophy and Religion. Renaissance Books. Hlm. 301.
  8. ^ a b c (Indonesia)Michael Keene. 2006. Agama-Agama Dunia. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 175.

Pranala luar