Teori formula

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Baris-baris pertama Ilias.

Teori formula adalah teori yang dipopulerkan oleh Milman Parry dan Albert Bates Lord. Teori ini kemudian dikenal dengan "Teori Formula Parry-Lord" karena ide dasar konsep tersebut muncul dari Parry, yang kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama Lord. Kedua sarjana yang berasal dari Amerika Serikat tersebut menggunakan teori ini untuk mengkaji puisi lisan Yugoslavia. Mereka berupaya menjelaskan dan membuktikan kelisanan Ilias dan Odisseia karya Homeros. Hasil kajiannya kemudian dibukukan dalam The Singer of Tales (1981).

Konsep[sunting | sunting sumber]

Menurut Lord, konsep kelisanan dalam teori formula tidak hanya dimaknai sebagai presentasi lisan, tetapi juga dimaknai sebagai komposisi "selama" terjadinya penampilan secara lisan. Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa upaya untuk mempelajari, menyusun, dan menampilkan suatu karya secara lisan merupakan bentuk rangkaian kelisanan yang dimaknai sebagai kelisanan dalam arti teknis (harfiah). Hal yang sama juga terjadi dalam bentuk improvisasi. Sementara itu, prinsip kelisanan dalam teori ini berorientasi kepada proses pembelajaran tertentu, yakni adanya unsur pembelajaran lisan, komposisi lisan, dan transmisi lisan yang muncul hampir bersamaan, sehingga tampak sebagai sisi-sisi yang berbeda dari proses yang sama.[1]

Puisi lisan.

Lord menambahkan bahwa dengan paradigma tensis dan penafsiran mengubah bentuk kata untuk membedakan kasus, jenis, jumlah, dan aspek bahasa yang dimanfaatkan dalam puisi lisan cenderung bersifat mekanis dan paralelistis. Hal ini terbukti dengan dominannya penggunaan formula dalam puisi lisan. Formula merupakan frase-frase, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat yang khas. Formula yang stabil akan menjadikan ide-ide puisi lisan yang umum dengan mengemukakan kata kunci dari nama-nama aktor, tindakan, waktu, dan tempat yang utama. Pola-pola dan sistem-sistem dalam puisi lisan banyak menggunakan grammar of poetry (tata bahasa khusus atau tata bahasa puisi), yakni berupa grammar of superimposed (tata bahasa superimpos atau tata bahasa yang berlapis). Selain itu, “tata bahasa puitis” dari puisi lisan juga merupakan grammar of parataxis (tata bahasa parataksis), yakni kontruksi kalimat, klausa, atau frase koordinatif yang tidak menggunakan kata penghubung. “Tata bahasa” tersebut sering memanfaatkan frase-frase yang membentuk formula.[2]

Lord juga mengemukakan jika analisis tekstual, khususnya analisis formula, harus dimulai dengan pengamatan yang cermat terhadap frase-frase yang mengalami perulangan. Hal tersebut dilakukan untuk menemukan formula dengan berbagai variasi polanya. Benang merah dari analisis formula menunjukkan bahwa tidak ada larik dan paruh larik yang tidak membentuk pola formulatik. Larik dan paruh larik yang disebut formulaik tersebut tidak hanya mengilustrasikan pola-polanya sendiri, tetapi juga menunjukkan contoh sistem puisi lisan. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa tidak ada puisi lisan yang tidak formulaik.[3]

Sebagaimana disinggung bahwa prinsip kelisanan berorientasi kepada proses pembelajaran, sehingga tidak hanya terbatas kepada presentasi lisan. Dengan prinsip tersebut, teks-teks yang dianggap sakral dan harus ditransmisikan kata demi kata (teks-pasti) tidak dapat dikatakan memiliki prinsip kelisanan, kecuali dalam pengertian teknis (harfiah).[4] Lord memperjelas bahwa formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Sementara itu, ekspresi formulaik adalah larik atau paruh larik yang disusun atas dasar pola formula.[5] Menurut Ong, penggunaan ekspresi formulaik di sisi lain dapat membantu terbentuknya wacana ritmis, sehingga merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat, serta menjadi ungkapan tepat yang dapat bertahan hidup secara lisan.[6]

Penerapan[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan pandangan Andries Hans Teeuw (pakar sastra dan budaya Indonesia dari Belanda), pantun Sunda dan puisi kentrung Jawa dalam konteks wilayah Nusantara, dari berbagai segi, menunjukkan kemiripan dengan puisi yang diteliti oleh Lord. Selain formula yang kuat, juga terdapat persediaan stereotip yang dapat dirakit menjadi pantun atau kentrung sesuai dengan kebutuhan.[7] Selain pantun[8] dan kentrung,[9] kajian sastra lisan lain yang memanfaatkan teori formula adalah sijobang,[10] bini,[11] dan tanggomo.[12] Teeuw dalam membahas Pidato Kenegaraan 1988[13] dan Sweeney dalam membandingkan joget Hitam Manis (Best of Mus Mulyadi) dengan lagu Si Hitam Manis (Negeri Sembilan Malaysia) juga memanfaatkan teori formula.[14]

Berdasarkan beberapa kajian tersebut, konsep dasar teori formula tidak sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga ada semacam upaya “adaptasi” dengan objek di lapangan. Sebagaimana dinyatakan oleh Nani Tuloli (pakar sastra dari Gorontalo) dalam kesimpulan penelitiannya tentang tanggomo, bahwa secara umum teori formula dapat diterapkan dalam tanggomo. Namun, secara khusus terdapat perbedaan karena di dalam tanggomo tidak ditemukan sistem formulaik yang didukung oleh matra yang tetap dalam suku kata tertentu.[15] Hal senada juga diungkapkan oleh Suripan Sadi Hutomo (sastrawan dari Blora) dalam penelitiannya mengenai kentrung di Tuban. Menurut dirinya, teori formula ini tidak dapat diterapkan sepenuhnya terhadap teks kentrung, sehingga dalam aplikasinya dia menyebut konsep ini dengan istilah “semacam formula”.[9] Amin Sweeney (ahli bahasa Melayu keturunan Irlandia) juga menggarisbawahi bahwa tidak semua kesimpulan Lord yang berlaku di Yugoslavia dapat diterapkan sepenuhnya di dalam komposisi tradisi Melayu.[16]

Teori formula tidak menutup kemungkinan berorientasi ke arah konsep sistem formulaik sebagaimana yang ditemukan Niles ketika meneliti sastra lisan Beowulf. Sistem formulaik yang dimaksud adalah sekelompok larik yang mengikuti pola-pola dasar ritme (irama) dan sitaksis yang sama dan mempunyai sekurang-kurangnya satu unsur semantik utama yang sama.[17] Selain itu, konsep formula juga dapat berorientasi ke arah formula dan ekspresi formulaik sebagaimana kajian Sweeney terhadap data lisan lagu Si Hitam Manis dan data elektronik joget Hitam Manis. Dia menyebutkan bahwa formula adalah larik dan paruh larik yang digunakan lebih dari sekali dalam bentuk yang sama, sedangkan ekspresi formulaik adalah ungkapan yang dibentuk menurut pola irama dan sintaksis yang sama, serta mengandung sekurang-kurangnya satu kata yang sama, baik dalam bentuk perulangan maupun sinonim.[14]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Lord (1981), hlm. 5
  2. ^ Lord (1981), hlm. 35–36
  3. ^ Lord (1981), hlm. 45
  4. ^ Lord (1981), hlm. 280
  5. ^ Lord (1981), hlm. 30
  6. ^ Ong (1989), hlm. 35
  7. ^ Teeuw (1988), hlm. 4
  8. ^ Kartini, dkk (1984), hlm. 1–8
  9. ^ a b Hutomo (1993), hlm. 1–10
  10. ^ Phillips (1981), hlm. 1–15
  11. ^ Fox (1986), hlm. 1–20
  12. ^ Tuloli (1991), hlm. 1–18
  13. ^ Teeuw (1994), hlm. 4–10
  14. ^ a b Sweeney (1999), hlm. 1–16
  15. ^ Tuloli (1991), hlm. 1–16
  16. ^ Sweeney (1987), hlm. 68
  17. ^ Tuloli (1991), hlm. 338

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku

  • Fox, James J. (1986). Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan. ISBN 978-979-4280-29-4. 
  • Hutomo, Suripan Sadi (1993). Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-979-4593-63-9. 
  • Lord, Albert Bates (1981). The Singer of Tales. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-067-4002-83-8. 
  • Ong, Walter J. (1989). Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London: Methuen. ISBN 978-041-5281-28-7. 
  • Phillips, Nigel (1981). Sijobang: Sung Narrative Poetry of West Sumatra. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-052-1105-05-7. 
  • Rosyidi, Muhammad Ikhwan (2010). Analisis Teks Sastra: Mengungkap Makna, Estetika, dan Ideologi dalam Perspektif Teori Formula, Semiotika, Hermeneutika, dan Strukturalisme Genetik. Yogyakarta: Graha Ilmu. ISBN 978-979-7566-41-8. 
  • Sumitri, Ni Wayan (2016). Tradisi Lisan Vera: Jendela Bahasa, Sastra, dan Budaya Etnik Rongga. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-4331-71-9. 
  • Sweeney, Amin (1987). A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley–Los Angeles–London: University of California Press. ISBN 978-052-0059-10-8. 
  • Teeuw, Andries Hans (1988). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka. ISBN 978-979-4190-45-6. 
  • Teeuw, Andries Hans (1994). Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka. ISBN 978-979-4191-25-5. 
  • Tuloli, Nani (1991). Tanggomo, Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 978-979-8114-80-9. 

Buku terbitan lama

  • Kartini, Tini, dkk (1984). Struktur Cerita Pantun Sunda: Alur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

Jurnal ilmiah

Makalah seminar

  • Sweeney, Amin (14–16 Oktober 1999). "Kajian Tradisi Lisan dan Pembentukan Wacana Kebudayaan". Makalah Seminar Internasional Tradisi Lisan III.  Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]