Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Syeh Ahmad Khatib)
Infobox orangAhmad Khatib Al-Minangkabawi
Biografi
Kelahiran1860
Koto Tuo
Kematian1916 (55/56 tahun)
Makkah
Data pribadi
Kelompok etnikOrang Minangkabau
AgamaIslam
PendidikanKweekschool Fort de Kock
Kegiatan
PekerjaanImam
Keluarga
Pasangan nikahFatimah
Khadijah
AnakAbdul Hamid Khatib
Abdul Malik al-Khathib
Orang tuaAbdoel Latif Chatib Limbak Oerai
KerabatTahir Jalaluddin Al-Azhari (sepupu)
Fuad Abdul Hamid Khatib (grandson (en))

Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi Rahimahullah Indonesia[1](1852 - 1916) adalah seorang ulama Indonesia asal Minangkabau. Ia lahir di Nagari Koto Tuo, Kecamatan IV Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 6 Zulhijah 1276 H (1852 M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).[2] Dia menjabat sebagai imam mazhab Syafii di Masjidil Haram. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya, termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Sulaiman Ar-Rasuli, pendiri PERTI.[3]

Putra tertuanya, Abdul Karim, memiliki sebuah toko buku di Mekkah. Putranya Abdul Malik al-Khathib adalah seorang duta besar Asyraf ke Mesir. Putranya, Syaikh Abdul Hamid al-Khathib, adalah duta besar Arab Saudi pertama untuk Republik Islam Pakistan. Cucu anak laki-lakinya, Fuad Abdul Hamid al-Khathib, adalah seorang duta besar Arab Saudi, humanitarian, penulis, dan pengusaha. Dalam kapasitasnya sebagai diplomat, dia mewakili tanah airnya di Pakistan, Irak, Amerika Serikat, Republik Federal Nigeria, Republik Turki, Republik Rakyat Bangladesh, Nepal, dan akhirnya sebagai duta besar Saudi untuk Malaysia.

Riwayat[sunting | sunting sumber]

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo - Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1852 Masehi) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).[2][4]

Awal berada di Mekkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Usai melaksanakan haji, ia menimba ilmu di maktab milik Syekh Abdul Hadi, seorang syekh asal Inggris.[5]

Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah.[3]

Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuwan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

Nasab[sunting | sunting sumber]

Siilsilah ringkas Syaikh Ahmad Khatib dari ribuan kerabat KotoGadang

Ia bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Minangkabawi Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Asy'ari rahimahullah.

Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khatib dilahirkan di Koto Tuo, kenagarian Balai Gurah, Kec. Ampek Angkek Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1852 M. Ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama 'Abdul Lathif Khatib Dinagari yang berasal dari Koto Gadang. Abdullah, kakek Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweekschool[4] yang tamat tahun 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul Lathif Khatib Dinagari, ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdul Lathif Khatib Dinagari kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidil Haram .

Di antara guru-guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di Mekkah adalah:

  • Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
  • Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
  • Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.

Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, yaitu:

Mengenai bagaimana semangat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan penuturan seorang ulama yang sezaman dengannya, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Ia adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti matematika (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan zij, ia dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”

Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendukung ilmu din-nya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.

Murid-muridnya[sunting | sunting sumber]

Mengenai murid-muridnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah rahimahullah, Siradjuddin ‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hampir seluruh ulama Syafi’i yang kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Syaikh Muhd. Jamil Jaho, Syaikh ‘Abbas Qadhli, Syaikh Musthafa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Khathib Minangkabau ini.”[6]

Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak tempat. Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa Aspek: Guru untuk Generasi Pertama Kaum Muda. Namun, tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:

Pernikahan[sunting | sunting sumber]

Di antara kebiasaan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di Mekkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjidill Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.

Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dijadikannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu. Setelah banyak mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya, yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjadikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuali setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika datang kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).

Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.

Shalih Al Kurdi, sang mertua, meminta Syaikh Ahmad Khatib untuk menikah kembali dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:

  • ‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al-Hasyimiyyah (Yordania). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
  • ‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-

Kesuksesan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku, ia akan berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak dapat melihatnya.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta.’

Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat salat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera melakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”

Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktikkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”

Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada keluarganya adalah ia selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat musik dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi perilaku-perilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabdanya, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”

Imam Besar Masjidil Haram[sunting | sunting sumber]

Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan diangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Mengenai sebab pengangkatan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang tampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai salat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.

Gagasan-gagasan[sunting | sunting sumber]

Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal.Salah satu kritik Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.

Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan waktu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.

Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah juga pakar dalam geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.

Syekh Ahmad Khatib sampai akhir hayatnya tetap bermadzab Syafi'i. Kepeloporannya melahirkan kaum mudo tampak jelas dari serangan-serangannya yang keras terhadap hukum adat dan ajaran-ajaran tarekat yang dianggapnya mengotori kemurnian Islam, terutama masalah fiqih dan hukum Islam. Dan menentang adanya tarekat Naqsyabandiyah, pembagian harta, serta ijtihad yang ada di Minangkabau, yang menentang dengan ajaran yang ada di al-Quran dan sunnah, karena ulama tua yang ada di Minangkabau tidak punya pilihan lain selain menggunakan taqlid.[7]

Karya[sunting | sunting sumber]

Karya-karya tulis Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran dan Sunnah.

Karya-karya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam bahasab ’Arab:

  • Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
  • Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
  • Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
  • Raudhatul Hussab
  • Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
  • As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
  • Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
  • An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
  • Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
  • Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
  • Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
  • Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
  • Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
  • Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
  • Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
  • As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
  • Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
  • Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
  • Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
  • Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
  • Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
  • Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk bergabung di Sarekat Islam (SI)
  • Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
  • Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
  • Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif

Adapun yang berbahasa Melayu adalah:

  • Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
  • Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi’i
  • Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
  • Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
  • Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
  • Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
  • Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
  • Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
  • Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
  • Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
  • Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
  • Izhhar Zughalil Kadzibin
  • Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
  • Al Jawi fin Nahw
  • Sulamun Nahw
  • Al-Khittathul Mardhiyyah fi Raddi Syubhati man Qala Bid'ati Talaffudzi bin Niyyati[8]
  • Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
  • Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
  • Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
  • Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
  • Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu

Wafat[sunting | sunting sumber]

Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi wafat pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun 1334 H di Mekkah, Saudi Arabia.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-07. Diakses tanggal 2014-04-06. 
  2. ^ a b Fadhlan Mudhafier, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya, Masa 1276-1334 Hijriah, 2013
  3. ^ a b Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Interaction Between Southeast Asia and the Middle East, 1993
  4. ^ a b Oktavika, Devi Anggraini (16 January 2012). "Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Dari Minang ke Masjidil Haram (1)". Republika Online. Diakses tanggal 10 April 2013. 
  5. ^ Abdul Hadi menjadi muslim di Mesir. Sejak itu, syekh Abdul Hadi belajar Al-Qur'an, memahaminya, hingga menghafalnya. Kemudian ia menikah dengan seorang hafizah tuna netra asal Mesir, Syeikhah Fatimah, kemudian mereka hijrah ke Kota Mekah dan membentuk lembaga pengajaran Al-Qur'an. Syekh Abdul Hadi mengajarkan Al-Qur'an kepada kaum laki-laki, sedangkan Syekhah Fatimah mengajarkan Al-Qur'an kepada kaum perempuan. Keduanya pun dikenal sebagai pengajar Al-Qur'an yang kebanyakan muridnya berasal dari Indonesia.
  6. ^ Siradjuddin ‘Abbas. Thabaqatus Syafi’iyah (hal. 406)
  7. ^ Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam (Yogya: Tiara Wacana Yogya, 1995), 59.
  8. ^ "Pandangan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Terhadap Wahabi". Suluah.com. 2022-01-23. Diakses tanggal 2022-11-05. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • ‘Abduljabbar, ‘Umar. 1403 H. Siyar wa Tarajim Ba’dhi ‘Ulamaina fil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar lil Hijrah. KSA: Tihamah
  • Al-Hazimi, Ibrahim bin ‘Abdullah. 1419 H. Mausu’ah A’lamil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar wal Khamis ‘Asyar Al Hijri fil ‘Alam Al ‘Arabi wal Al Islami min 1301-1417. KSA: Dar Asy Syarif lin Nasyr wat Tauzi’
  • Al-Mu’allimi, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman. 1421 H. A’lamul Makkiyyin min Al Qarn At Tasi’ ilal Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar Al Hijri. KSA: Muassasah Al Furqan lit Turats Al Islami
  • Steenbrink, Dr. Karel A. 1984 M. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang
  • Dahlan, Dadang A. 2007. Cahaya dan Perajut Persatuan Waliullah Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
  • Suprapto, Muhammad Bibit. 2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Jakarta: Glegar Media Indonesia
  • Amrullah, ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
  • Ad-Dahlawi, ‘Abdus Sattar bin ‘Abdul Wahhab. 1430 H. Faidhul Malikil Wahhabil Muta’ali bi Anba’ Awailil Qarn Ats Tsalits ‘Asyar wat Tawali. KSA: Maktabah Al Asadi
  • ‘Abbas, Siradjuddin. 2011. Thabaqatus Syafi’iyah, Ulama Syafi’I dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru
  • Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Dari Minangkabau untuk Dunia Islam). Yogyakarta:Gre Publishing
  • 100 ulama Nusantara di tanah suci, hal.302-313, DR. Maulana La Eda, Aqwam, 2020, 368 hal
  • https://suluah.com/abdul-hamid-khatib-putra-ahmad-khatib-al-minangkabawi-yang-jadi-diplomat/
  • https://suluah.com/abdul-malik-khatib-putra-ahmad-khatib-al-minangkabawi-yang-aktif-di-politik-dan-pers/