Sosiologi lingkungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertumbuhan dan perjalanan hidup manusia banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan hidup di sekitarnya (Hidayat 2008, hlm. 12).

Sosiologi lingkungan didefinisikan sebagai cabang sosiologi yang memusatkan kajiannya kepada keterkaitan antara perilaku sosial manusia dengan lingkungan. Definisi ini sebenarnya memunculkan masalah tersendiri karena budaya manusia dalam suatu lingkungan tidak dapat dibahas secara menyeluruh. Meskipun fokus kajian ini adalah hubungan antara masyarakat dan lingkungan secara umum, sosiologi lingkungan biasanya menempatkan penekanan khusus ketika mempelajari faktor sosial yang mengakibatkan masalah lingkungan, dampak masyarakat terhadap masalah-masalah tersebut, dan usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Perspektif sosiologis[sunting | sunting sumber]

Ketika dilahirkan, manusia telah menjadi bagian dari lingkungan hidup sekaligus lingkungan sosial.[1] Pada fase tertentu, pertumbuhan dan perjalanan hidup manusia banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan hidup di sekitarnya.[2] Perspektif sosiologis di sinilah diperlukan dalam kajian mengenai lingkungan.[3] Hal ini disebabkan karena fenomena lingkungan telah menjadi suatu kajian interdisipliner[a] yang bersinggungan dengan kondisi geografi, biologi, teknologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya suatu masyarakat.[4][5][6]

Menurut Anggreta (pengkaji lingkungan dari Sumatera Barat), pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji persoalan lingkungan dalam sosiologi, yaitu ekologi politik baru yang berupaya membongkar relasi kuasa dalam hubungan antar manusia sebagai pola pengguna kepada konteks suatu lingkungan yang dipolitisasi, Marxisme ekologis yang menyatakan kerusakan lingkungan merupakan dampak perkembangan kapitalisme, feminisme lingkungan yang berupaya membongkar ide-ide dominan maskulin mengenai klasifikasi pengalaman – seraya berupaya menghapus ketimpangan yang diproduksi oleh ide-ide tersebut, serta Ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang banyak memakai kerangka hubungan antara klaim pengetahuan dengan kekuasaan.[7]

Perkembangan kajian[sunting | sunting sumber]

Kajian Dunlap, Catton, dan Schnaiberg[sunting | sunting sumber]

Perhatian sosiologi mengenai berbagai masalah lingkungan sebenarnya telah muncul sebelum istilah "sosiologi lingkungan" dicanangkan.[8] Tokoh yang pertama kali menyinggung mengenai masalah tersebut adalah Riley Dunlap dan William Catton pada 1978. Sebagai salah seorang pengkaji sosiologi pembangunan lingkungan dari Magelang, Susilo mengemukakan bahwa Dunlap dan Catton menulis berbagai artikel yang mengkaji masalah lingkungan sejak tahun 1978 dengan melakukan tinjauan berbagai literatur ilmu sosial. Artikel pertama mereka yang menguraikan permasalahan itu berjudul The Significance of Environment as a Social Factor.[9]

Frederick Howard Buttel yang dikenal karena kontribusinya terhadap sosiologi lingkungan turut menambahkan bahwa kemunculan kajian Dunlap dan Catton merupakan sumbangan inti kepada teori sosiologi lingkungan. Dalam pandangannya, ringkasan sederhana dari sistem teoretis mereka telah membantu mengilustrasikan inti dari sosiologi lingkungan itu sendiri.[10] Kajian sosiologi lingkungan Dunlap dan Catton dibangun dari beberapa konsep yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu:[11]

Salah satu konsep yang mendasari kajian sosiologi lingkungan Dunlap dan Catton adalah masyarakat modern yang tidak berkelanjutan, yang diperparah oleh pertumbuhan penduduk secara pesat (Susilo 2014, hlm. 6).
  1. Persoalan-persoalan lingkungan dan ketidakmampuan sosiologi konvensional untuk membicarakan persoalan-persoalan tersebut merupakan cabang dari pandangan dunia yang gagal menjawab dasar-dasar biofisik struktur sosial dan kehidupan sosial.
  2. Masyarakat modern yang tidak berkelanjutan karena mereka hidup dalam sumber daya yang sangat terbatas dan penggunaan di atas pelayanan ekosistem jauh lebih cepat apabila dibandingkan dengan kemampuan ekosistem memperbarui dirinya.[b] Dalam tingkatan global, proses ini diperparah dengan pertumbuhan penduduk yang pesat.[12]
  3. Masyarakat menuju tingkatan lebih besar atau kurang lebih berhadapan dengan kondisi yang rentan ekologi.
  4. Ilmu lingkungan modern telah mendokumentasian kepelikan persoalan lingkungan tersebut dan menimbulkan kebutuhan[c] akan penyesuaian besar-besaran jika krisis lingkungan ingin dihindari.
  5. Pengenalan dimensi-dimensi krisis lingkungan yang menyumbang kepada "pergeseran paradigma" dalam masyarakat secara umum, seperti yang terjadi dalam sosiologi (penolakan pandangan dunia Barat dominan dan penerimaan sebuah paradigma ekologi baru).
  6. Perbaikan dan reformasi lingkungan akan dilahirkan melalui perluasan paradigma ekologi baru di antara publik, massa, dan akan dipercepat oleh pergeseran paradigma, yang dapat dibandingkan antara ilmuwan sosial dan ilmuwan alam.[11]

Selain Dunlap dan Catton, tokoh lain yang juga mengkaji masalah lingkungan pada masa awal adalah Allan Schnaiberg. Kajian sosiologi lingkungan yang dikemukakan oleh Schnaiberg memberikan perhatian kepada lima konsep kunci, yaitu:[13]

  1. Eksploitasi lingkungan yang terus-menerus, produksi yang menyebabkan degradasi lingkungan, dan berbagai "tambahannya".[d] Pekerjaan produksi diselenggarakan oleh kapitalisme dan negara modern yang mempertunjukkan logika mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal pribadi. Alam memproduksi dirinya karena proses ini mengasumsikan karakter "pekerjaan".
  2. Kecenderungan pertumbuhan karena sifat kompetitif kapitalisme, seperti korporasi dan pengusaha harus memperluas usahanya. Namun, di situ juga berlaku sebuah logika pertumbuhan komplementer dalam lingkup negara. Agen dan pejabat negara lebih memilih pertumbuhan daripada stagnasi pembangunan agar menjamin pendapatan pajak dan mempertinggi kemungkinan terpilih kembali atau keberlangsungan kekuasaan.[14]
  3. Tingginya akumulasi milik pribadi yang disebabkan karena negara berusaha membelanjakan tujuan kepada subsidi atau mensosialisasikan pengeluaran produksi pribadi dan akumulasi melalui subsidi publik kepada penelitian dan pengembangan infrastruktur transportasi, militer, dan insentif pajak.
  4. Akumulasi yang dikembangkan cenderung kepada intensifikasi modal, kemudian mengarahkannya kepada otomatisasi, pengangguran, dan secara potensial menuntut untuk penciptaan pekerjaan atau wellfare state (program negara kesejahteraan) untuk mereka yang tertinggal atau terpinggirkan oleh proses akumulasi modal. Kecenderungan ini mengakibatkan krisis legitimasi yang berturut-turut mendikte bahwa lebih banyak subsidi terhadap akumulasi modal swasta secara progresif dilakukan agar tersedianya pekerjaan dan pajak negara yang cukup untuk membayar ongkos sosialnya.[15]
  5. Pertumbuhan modal yang intensif menciptakan dislokasi dan tuntutan politik. Tuntutan tersebut menggerakkan pengeluaran negara dan pertumbuhan modal. Hal tersebut merupakan esensi sifat pekerjaan kapitalisme industrial modern. Secara lebih luas, Schnaiberg menyatakan bahwa kegiatan produksi berhubungan langsung dengan krisis ekologi sejak proses akumulasi ini mensyaratkan penurunan sumber daya dan menghasilkan polusi.[13]

Kesamaan kerangka kajian sosiologi lingkungan yang dikemukakan oleh Dunlap dan Catton serta Schnaiberg, yaitu kedua konsep meliputi perspektif ontologis-realis yang dinamis dan manusia secara tidak langsung berperan sebagai aktor yang memainkan peranan sentral; konsep yang dikemukakan oleh Dunlap dan Catton maupun Schnaiberg memiliki konsepsi yang relatif tunggal mengenai lingkungan (misalnya lingkungan dapat dicirikan dalam cara yang terkumpul seperti sebuah tingkatan yang lebih banyak atau lebih sedikit dari kelangkaan, degradasi, keterbatasan, penipisan, dan sebagainya); kedua konsep merupakan varian konsep kesatuan kelangkaan lingkungan – konsep ini menyatakan bahwa dinamika lingkungan pada akhirnya berhubungan dengan kesatuan keseluruhan, karena upaya ekonomi dan masyarakat yang ekspansionis untuk menanggapi persoalan lingkungan; serta kedua konsep menggunakan gaya analisis yang sesuai dengan pemahaman sub-struktur material masyarakat di atas kepercayaan dan perilaku.[16]

HEP dan NEP[sunting | sunting sumber]

Kemunculan sosiologi lingkungan ditandai dengan pernyataan bahwa paradigma sosiologi klasik mengenai hubungan manusia dan alam tidak lagi relevan.[17][18] Paradigma lama tersebut dikenal dengan HEP (Human Exceptionalism Paradigm), yang memiliki gagasan bahwa manusia cukup unik di antara spesies-spesies lain dan terbebas dari kekuasaan kekuatan lingkungan. Ilmuwan sosiologi sendiri meyakini bahwa manusia memang berbeda dengan makhluk lainnya, baik tumbuhan maupun binatang. Apabila kedua makhluk tersebut benar-benar dapat hidup sekadar mengikuti naluri alamiah, tidak halnya dengan manusia yang dapat mengontrol dan menciptakan kebudayaan tersendiri.[19]

Dunlap dan Catton mengubah pandangan tersebut dengan "mengakui" bahwa lingkungan fisik memengaruhi kehidupan manusia. Dengan kata lain, ada beberapa keterbatasan manusia ketika berhadapan dengan lingkungan biofisik. Sosiologi lingkungan menerima lingkungan fisik sebagai sesuatu yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial.[20] Paradigma baru ini oleh mereka disebut sebagai NEP (New Environmental Paradigm). Namun, paradigma tersebut kemudian diubah menjadi New Ecological Paradigm untuk menegaskan dasar ekologis suatu masyarakat.[21]

Sejak saat itulah, hampir seluruh pendukung sosiologi lingkungan menyandarkan diri kepada paradigma tersebut. Perbedaan yang kaku di antara kedua paradigma tersebut dijelaskan sebagai berikut:[22]

Pandangan tentang Manusia dan Lingkungan HEP NEP
Asumsi mengenai sifat manusia Manusia bersifat unik dan berbeda dengan makluk lainnya karena mendapatkan warisan budaya. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan di antara manusia dipengaruhi oleh faktor sosial – dibandingkan faktor lahir, manusia dapat diubah secara sosial dan perbedaan yang mengganggu dapat disingkirkan. Manusia memiliki pengecualian, tetapi manusia tetap merupakan satu di antara banyak spesies yang memiliki ketergantungan di dalam ekosistem.
Asumsi mengenai sebab sosial Determian utama manusia adalah faktor sosial dan budaya. Manusia tidak hanya dibentuk oleh kekuatan sosial dan budaya, tetapi juga dibentuk oleh sebab, akibat, dan arus balik keterhubungan dalam jaringan alam.
Asumsi mengenai konteks masyarakat Lingkungan sosial dan budaya merupakan konteks utama, sementara lingkungan biofisik kurang relevan. Manusia tergantung lingkungan biofisik yang terbatas dan menekankan pengekangan kuat atas kehidupan manusia.
Asumsi mengenai persoalan masyarakat Kebudayaan bersifat kumulatif, sehingga perkembangan teknologi maupun budaya dapat dilanjutkan tanpa batas dan seluruh masalah soaial akan dapat terpecahkan. Walaupun temuan-temuan manusia memperluas keterbatasan kapasitas, hukum ekologi tidak dapat dicabut.
Sumber: Susilo 2014, hlm. 11.

Sembilan tahun setelah pendirian sosiologi lingkungan, Buttel mencoba menelusuri arah di luar NEP yang dikembangkan oleh para sosiolog lingkungan. Buttel menyatakan bahwa sosiologi lingkungan dapat dikembangkan melalui sosiologi perdesaan, bahkan dia menegaskan bahwa silsilah sosiologi lingkungan, baik beberapa maupun keseluruhan, merupakan keahlian khusus dalam sosiologi perdesaan.[23] Sekalipun Buttel membatasi sosiologi lingkungan hanya berdasarkan materi dasar dari struktur sosial dan kehidupan sosial, dia sendiri tidak dapat memungkiri bahwa rata-rata sosiolog lingkungan banyak berasal dari sosiolog perdesaan, yaitu D. Morrison, D. Field, R. Burdge, S. Albrecht, W. Andrews, W. Burch, W. Catton, A. Schnaiberg, R. Gale, dan W. Firey.[24]

Buttel juga menengarai bahwa kajian-kajian sosiologi lingkungan merupakan pengembangan dari natural resources sociology (sosiologi sumber daya alam), yang mengkaji manajemen tanah serta perencanaan penggunaan tanah. Kajian tersebut menjadi permulaan disiplin ini pada 1970. Demikian pula studi komunitas yang berkembang pada 1950 dan 1960 telah memfokuskan kepada resources dependent communities (komunitas yang bergantung kepada sumber daya).[23]

Menurut Buttel, lima wilayah utama sosiologi lingkungan menyebabkan munculnya beragam pendekatan pada sosiologi lingkungan, yaitu sosiologi lingkungan seperti yang dikemukakan oleh Dunlap dan Catton, sosiologi lingkungan kebudayaan, sosiologi lingkungan yang tumbuh dalam ilmu pengetahuan lingkungan dan hubungan produksi pengetahuan lingkungan dengan politik dan gerakan lingkungan, gerakan lingkungan yang diilhami oleh pemanasan global dan perubahan lingkungan – dalam konteks ini, penyebab beralihnya sosiolog untuk memberikan perhatian kepada substratum ekologis-material dari struktur sosial dan kehidupan sosial, serta perluasan kajian kebudayaan kepada sosiologi yang mengutamakan diskursus seperti modernitas, postmodernitas, masyarakat berisiko, dan modernitas ekologis.[25]

Kajian mengenai sosiologi lingkungan lantas diperluas ketika para sosiolog mencurahkan perhatian kepada kemunculan gerakan lingkungan saat memperingati Hari Bumi pada musim semi tahun 1970 di Amerika Serikat. Dalam konteks ini, berkembang tema-tema penelitian mengenai sosiologi sumber daya, lingkungan, dan perilaku sosial. Semua tema tersebut ditekuni dari penelitian tentang gerakan sosial, perilaku kolektif, perspektif opini publik kepada pemahaman lingkungan modern, dan manajemen sumber daya.[26]

Sebagai tanda perkembangan berikutnya, sosiologi lingkungan tetap mencakup banyak wilayah penelitian.[27] Pada 1995, David Tindall[28] membuat pengelompokkan sosiologi lingkungan lebih rumit dibandingkan klasifikasi yang dicetuskan oleh Buttel. Menurut Tindall, ada delapan subdominan sosiologi lingkungan, yaitu penilaian dampak sosial, penelitian desain lingkungan, pendekatan ekonomi politik, pendekatan organisasional, ekologi manusia baru, psikologi sosial masalah lingkungan, konstruksi sosial masalah lingkungan, serta teori tindakan kolektif dan gerakan sosial.[29]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Keterangan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Menurut Adiwibowo, sosiologi lingkungan merupakan kajian komunitas dalam arti luas. Manusia, binatang, lahan, dan tanaman yang tumbuh di atasnya, air, udara – semuanya memiliki hubungan keterkaitan yang sangat erat. Mereka bersama-sama membentuk semacam solidaritas, yang kemudian disebut dengan ekologi. Seperti dalam banyak komunitas, mereka juga mengalami konflik di tengah-tengah hubungan tersebut. Sosiolog lingkungan mengkaji komunitas terluas tersebut dengan maksud untuk memahami asal-usul dan solusi yang diusulkan dari seluruh konflik sosial dan biofisik yang sangat nyata (Adiwibowo 2007, hlm. vii).
  2. ^ Apabila dicermati, dalam hal ini ada hal-hal yang seolah-olah mengabaikan faktor-faktor kemanusiaan, padahal ukuran tindakan manusia sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan bukan pada seberapa besar suatu tindakan itu menguntungkan dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan manusia harus dilihat dari seberapa jauh hal tersebut menguntungkan serta menyempurnakan kemanusiaan masyarakat lain di sekitarnya (Sujarwa 2005, hlm. 15).
  3. ^ Kebutuhan manusia timbul secara berulang-ulang, yang memungkinkan timbulnya ingatan-ingatan manusia tentang aksi-aksi yang pernah dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ingatan seperti itu menumbuhkan keinginan pemuasan kebutuhan serupa untuk waktu-waktu yang akan datang (Sujarwa 2005, hlm. 25).
  4. ^ Berbagai "tambahannya" di sini menurut Engineer adalah ekspolitasi dunia ketiga yang dilakukan oleh masyarakat Barat sebagai bagian dari masyarakat kapitalis. Mereka melanggengkan kejahatan berupa ekspolitasi alam dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan generasi berikutnya, yang akan kehilangan sumber-sumber kekayaan yang tidak dapat diciptakan lagi, karena telah dihabiskan oleh generasi sebelumnya secara besar-besaran (Engineer 2009, hlm. 99).

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sujarwa (2005), hlm. 93: "Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia itu saling membutuhkan, hidup bermasyarakat, saling tolong-menolong, serta saling menghargai (...)"
  2. ^ Hidayat (2008), hlm. 12: "Dari pandangan ini, ada hubungan antara kondisi lingkungan, wacana, dan aktivitas manusia di satu pihak, dan perubahan ekonomi, sosial, dan politik di lain pihak (...)"
  3. ^ Umanailo (2016), hlm. 198: "Masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Perilaku masyarakat dan tindakan manusia dalam kehidupan keseharian berpengaruh pada kualitas lingkungan dimana ia tinggal. Berkaitan dengan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, perspektif sosiologis tidak dapat dipungkiri menjadi sangat penting dalam kajian tentang lingkungan (...)"
  4. ^ Situmorang (2013), hlm. 1: "Tidak hanya gerakan sosial, studi lintas bidang ilmu sosial lainnya, seperti lingkungan hidup, sosial, politik, dan psikologi juga mengalami perkembangan yang begitu pesat. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya secara kuantitas publikasi dan penelitian tentang gerakan sosial, baik studi kasus maupun pendalaman teori. Studi ini, dalam perkembangannya, tidak hanya menjadi monopoli bidang ilmu sosiologi, tetapi telah berkembang menjadi bagian integral dari bidang ilmu lainnya (...)"
  5. ^ Susilo (2014), hlm. 3: "Pernyataan tersebut muncul sebab pemahaman kita terbatas pada pengertian sosiologi secara konvensional, yakni sebagai ilmu yang murni membicarakan hubungan antarmanusia tanpa memasukkan variabel lingkungan. Uniknya, batasan-batasan itu sering dibuat oleh ilmuwan sosial yang belum memahami posisi sosiologi lingkungan dalam cakupan interdisipliner ilmu sosiologi lainnya secara keseluruhan (...)"
  6. ^ Adiwibowo (2007), hlm. vii: "Masalah lingkungan tidak hanya berupa masalah teknologi dan industri, ekologi dan biologi, pengendalian polusi dan pencegahan polusi (...)"
  7. ^ Anggreta (2015), hlm. 147: "Mengkaji persoalan lingkungan (ekologi) dalam sosiologi dapat digunakan beberapa pendekatan, yaitu (...)"
  8. ^ Santosa (2001), hlm. 10: "Kajian sosiologi dalam masalah lingkungan muncul sebelum apa yang dikenal dengan nama "sosiologi lingkungan" dicetuskan oleh Dunlap dan Catton (...)"
  9. ^ Susilo (2014), hlm. 5–6: "Pada tahun tersebut, mereka menuliskan dua artikel, disusul oleh sebuah artikel lagi setahun setelahnya yang menandai upaya mendirikan suatu cabang sosiologi yang mengkaji masalah lingkungan dan kemudian mereka beri nama environment sociology (...)"
  10. ^ Buttel, dkk (2000), hlm. 19: "Put most succinctly, Catton and Dunlap and several other pioneers of 1970s and early 1980s environmental sociology (...)"
  11. ^ a b Susilo (2014), hlm. 6–7: "Ringkasan sederhana dari sistem teoretis mereka dibangun atas berbagai konsep yang saling terkait, antara lain (...)"
  12. ^ Adinaya, Gregorius Bhisma (30 Mei 2018). "Ledakan Penduduk Dunia dan Efek Domino yang Mengancam Kehidupan". National Geographic Indonesia. Diakses tanggal 3 November 2019. 
  13. ^ a b Susilo (2014), hlm. 7–8: "Sementara itu, sosiologi lingkungan Schnaiberg memberikan perhatian pada lima konsep kunci berikut (...)"
  14. ^ Schnaiberg (1980), hlm. 76: "This is the same problem we encountered in evaluating national population growth effects. Quite different evaluations emerge if we assess the effects of particular density patterns in a society or region, depending on where we drew the boundaries of the environment (...)"
  15. ^ Schnaiberg (1980), hlm. 219: "But they lacked the intellectual, political, and scientific power of the environmental analysis and movement to buttress their positions (...)"
  16. ^ Susilo (2014), hlm. 9: "Patut dicatat bahwa sementara ada beberapa perbedaan utama antara kerangka penjelas Dunlap dan Catton dan Schnaiberg, khususnya penekanan sebab pada kultur/pandangan dunia dan pada politik ekonomi/kelas, mereka masing-masing memiliki beberapa kesamaan kondisi umum (...)"
  17. ^ Santosa (2001), hlm. 17: "Sosiologi lingkungan muncul dari konsep yang mengemukakan bahwa paradigma sosiologi klasik tentang hubungan manusia dengan alam tak relevan lagi (...)"
  18. ^ Zain (1997), hlm. 26: "Sosiologi lingkungan hadir dengan konsep yang menyatakan bahwa paradigma sosiologi klasik antara manusia dan alam tak relevan lagi (...)"
  19. ^ Sujarwa (2005), hlm. 23: "Hewan itu hidup bukan dari dirinya sendiri melainkan dari yang lain, yang ada di luar dirinya. Sedangkan manusia itu berbudaya, mengenal dirinya, berunding dengan dirinya sendiri, sehingga tak tergantung secara mutlak dari kekangan dan tawatan sekelilingnya. Manusia menguasai dunia sekitarnya. Itulah isi arti budaya (...)"
  20. ^ Keraf (2010), hlm. 64: "(...) Krisis dan bencana lingkungan hidup global juga menimbulkan masalah atau bencana sosial yang luas dan semakin kompleks dari tahun ke tahun. Masalah sosial ini terjadi baik sebagai akibat langsung maupun akibat lanjutan dari berbagai krisis lingkungan hidup global (...)"
  21. ^ Dunlap, dkk (2002), hlm. vii: "Then they sketched out an alternative "new ecological paradigm" that they thought would facilitate sociological recognition of the significance of these problems. Catton and Dunlap's analysis of the paradigmatic implications of environmental (...)"
  22. ^ Susilo (2014), hlm. 64: "Perbedaan di antara kedua paradigma itu dijelaskan dalam karya mereka pada tahun 1980, yang dijelaskan sebagai berikut (...)"
  23. ^ a b Buttel, dkk (2000), hlm. 4–6: "The HEP-NEP debate had a high mobilizing potential for environmental social sciences and scientists, and it did contribute significantly to the establishment of a new field of study within the social sciences (...)"
  24. ^ Susilo (2014), hlm. 12: "Buttel tidak dapat membantah bahwa rata-rata sosiolog lingkungan mayoritas berasal dari sosiolog perdesaan (...)"
  25. ^ Susilo (2014), hlm. 13–14: "Kembali ke Buttel, lima wilayah utama sosiologi lingkungan menurutnya menyebabkan kemunculan berbagai pendekatan pada sosiologi lingkungan (...)"
  26. ^ Susilo (2014), hlm. 12–13: "Kajian sosiologi lingkungan diperluas, terutama ketika para sosiolog mencurahkan perhatian pada kemunculan gerakan lingkungan saat memperingati Hari Bumi di Amerika (...)"
  27. ^ Keraf (2010), hlm. 64–65: "(...) Masalah-masalah tersebut mempunyai dimensi yang sangat luas, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Beberapa di antaranya tidak dapat disebutkan di sini"
  28. ^ The University of British Columbia (tanpa tanggal). "David Tindall". The University of British Columbia. Diakses tanggal 3 November 2019. 
  29. ^ Susilo (2014), hlm. 14–15: "Di saat yang sama, dengan keluarnya anjuran Hannigan, David Tindall membuat klasifikasi yang lebih rumit jika dibandingkan dengan milik Buttel (...)"

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku

  • Adiwibowo, Soeryo (2007). Ekologi Manusia (PDF). Bogor: Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. ISBN 978-979-1578-60-8. 
  • Buttel, Frederick Howard, dkk (2000). Environment and Global Modernity. London: Sage Studies in International Sociology. ISBN 978-144-6264-90-4. 
  • Dunlap, Riley, dkk (2002). Sociological Theory and the Environment: Classical Foundations, Contemporary Insights. New York: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 978-074-2501-86-7. 
  • Engineer, Asghar Ali (2009). Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9289-01-8. 
  • Hidayat, Herman (2008). Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-4616-88-8. 
  • Keraf, Sonny (2010). Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 978-979-2125-37-5. 
  • Santosa, Mas Achmad (2001). Good Governance dan Hukum Lingkungan. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law. ISBN 978-979-9544-88-9. 
  • Schnaiberg, Allan (1980). The Environment, from Surplus to Scarcity. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-019-5026-10-8. 
  • Situmorang, Abdul Wahab (2013). Gerakan Sosial: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-2292-30-2. 
  • Sujarwa (2005). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7. 
  • Susilo, Rachmad Dwi (2014). Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ISBN 978-979-7691-85-1. 
  • Umanailo, Muhammad Chairul Basrun (2016). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Namlea: FAM Publishing. ISBN 978-602-3352-12-8. 
  • Zain, Alam Setia (1997). Hukum Lingkungan: Konservasi Hutan dan Segi-Segi Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN 978-979-5186-87-8. 

Jurnal

Pranala luar[sunting | sunting sumber]