Songbun

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tomat, sepenuhnya merah hingga ke dalam, dapat dikatakan kaum Komunis yang berharga; apel, yang hanya merah di permukaan, memerlukan pengembangan ideologis; dan anggur sudah tidak dapat diharapkan.

—Ketiga kelas utama (loyal, netral, dan musuh) digambarkan seperti tomat, apel, dan anggur.[1]

Chulsin sŏngbun
Josŏn-gŭl
출신성분
Hanja
Alih AksaraChulsin-seongbun
McCune–ReischauerCh'ulsin-sŏngpun


Songbun (Hangul성분; MRsŏngbun), atau chulsin-songbun (Hangul출신성분; MRchulsin sŏngbun, dari Sino-Korea 出身, "asal" dan 成分, "konstituen"), adalah sistem status bawaan yang digunakan di Korea Utara. Berdasarkan latar belakang politik, sosial, dan ekonomi leluhur serta keluarga, songbun digunakan untuk menentukan apakah seorang individu dapat diberikan tanggung jawab, kesempatan untuk hidup di Korea Utara,[2] atau bahkan menerima jumlah makanan yang memadai.[3] Songbun mempengaruhi akses seseorang mendapat pendidikan dan kesempatan kerja dan terutama apakah seseorang memenuhi syarat untuk bergabung dengan partai berkuasa di Korea Utara, Partai Buruh Korea.[1][2] Jucheis menyangkal laporan yang membuktikan keberadaan songbun, mengatakan bahwa bukti berasal dari sumber kaum borjuis dan individu yang tidak mewakili negara secara keseluruhan.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Politbiro Partai Buruh Korea mengesahkan dekret pada tahun 1957 yang berjudul "Pada Transformasi Perjuangan terhadap Elemen Kontrarevolusioner ke Gerakan Semua Rakyat Semua Pihak," yang berisi kebijakan dan program untuk melakukan yang pembersihan skala besar pertama terhadap masyarakat Korea Utara.[5] Resolusi 30 Mei dan Proyek Panduan Intensif PBK menjadi dasar bagi untuk klasifikasi sosiopolitik songbun dari seluruh penduduk Korea Utara dengan membagi seluruh warga negara ke tiga kelompok berdasarkan loyalitas mereka: "loyal", "netral", dan "musuh".[6]

Deskripsi[sunting | sunting sumber]

Terdapat tiga klasifikasi utama dan 50 sub-klasifikasi. Menurut Kim Il-sung pada tahun 1958, "kelas loyal" sebanyak 25% dari penduduk Korea Utara, "kelas netral" 55%, dan "kelas musuh" 20%.[3] Mereka yang merupakan tuan tanah, pedagang, pengacara, atau pendeta Kristen diberi status sangat rendah.[7] Status tertinggi diberikan kepada keturunan dari rakyat yang ikut dalam perlawanan pendudukan Jepang selama dan sebelum Perang Dunia II dan mereka pekerja pabrik, buruh, atau petani pada tahun 1950. B. R. Myers, profesor studi internasional dari Universitas Dongseo di Busan, Korea Selatan, menyatakan jika kelas loyal terdiri dari "kader partai tingkat tinggi dan keluarga mereka". Kelas netral diperuntukkan bagi rata-rata rakyat Korea Utara, sedangkan kelas "musuh" terdiri dari elemen subversif (misalnya mantan pemilik tanah).[8] Menurut analis CIA Helen Louise Hunter, mereka berhasil mengubah strukutur sosial dari sebelum revolusi hingga saat ini, dan songbun mencerminkan hal itu. Menurutnya, "kelas loyal" terdiri dari 30% populasi, "rakyat biasa" sebanyak 40%, dan "orang yang tidak diinginkan" sebanyak 30%.[9]

Data dari seluruh warga Korea Utara dibuat dan diperbarui oleh pejabat keamanan dan kader partai[1] dari usia 17 tahun dan diperbarui setiap dua tahun.[3] Secara umum, sulit bagi seseorang untuk naik tingkat ke kelas yang lebih tinggi, namun dengan mudah diturunkan karena berbagai alasan seperti kurangnya antusiasme politik, menikahi seseorang dengan kelas lebih rendah, atau dihukum – atau memiliki anggota keluarga yang bersalah melakukan kejahatan, atau lainnya.[1] Sebelum akhir tahun 1960-an, hal memungkinkan untuk menyembunyikan rekam jejak buruk dari keluarga; namun sejak sensus tahun 1966, seluruh leluhur dari orang yang bersangkutan diperiksa secara mendalam.[1] Usulan tersebut mengemuka setelah Revolusi Kebudayaan di Tiongkok pada tahun 1966. Kim Il-sung, takut bahwa Beijing akan mengganggu di negaranya, baik dengan cara menyerang atau mensponsori kudeta, sehingga Kim Il-sung ingin meningkatkan keamanan internal dengan mengklasifikasikan warganya.[8] Penyelidikan ini dilakukan beberapa kali pada tahun-tahun berikutnya, untuk alasan yang bervariasi dari dugaan korupsi hingga melenyapkan oposisi.[1]

Wartawan Amerika Barbara Demick menjelaskan "struktur kelas" ini sebagai "sistem kasta" gabungan dari Konfusianisme dan Stalinisme.[10] Ia mengklaim bahwa keluarga dengan latar belakang yang buruk disebut "darah tercemar", dan sesuai dengan peraturan yang berlaku "darah tercemar" akan dibawa hingga tiga generasi.[11] Dia menegaskan, jika warga Korea Utara tidak diberitahu mengenai klasifikasi mereka, dan anak-anak dapat tumbuh tanpa mengetahui tentang status keluarga.[12] Hal serupa seperti yang diungkapkan oleh analis Helen Louise Hunter yang menjelaskan songbun sebagai "kelas berdasar latar belakang" dan mengatakan bahwa hal itu tidak dipublikasikan secara resmi.[13]

Sebaliknya, pemerintah Korea Utara menyatakan bahwa semua warga negara adalah sama dan menyangkal adanya diskriminasi berdasarkan latar belakang keluarga.[14]

Pentingnya songbun[sunting | sunting sumber]

Di bawah Kim Il-sung, songbun sangat penting, itu memutuskan segalanya. Di bawah Kim Jong-il, segalanya berbeda—latar belakang keluargamu masih penting, namun uang saat ini lebih penting dari latar belakan sosial.

—Deskripsi songbun oleh pengungsi Korea Utara yang hari di pertengahan 1960-an.[15]

Sejak runtuhnya Blok Timur di akhir 1980-an hingga awal 1990-an, pentingnya songbun telah menurun. Sebelum Blok Timur runtuh, ekonomi Korea Utara sangat disubsidi oleh mereka. Melalui dana ini, pemerintah mampu menyediakan semua barang-barang, sehingga pendapatan hanya bisa diperoleh dengan bekerja di industri atau birokrasi. Akibatnya, untuk seseorang memperoleh barang-barang, mendapat tempat tinggal, dan pekerjaan akan sangat bergantung pada songbun, yang membuat songbun menjadi "faktor paling penting yang menentukan kehidupan di Korea Utara". Sebelum sistem terpusat ini gagal—yang menyebabkan bencana kelaparan—pemerintah telah "mendekati kontrol penuh atas kehidupan individu".[15]

Setelah sistem terpusat gagal, songbun secara perlahan telah kehilangan pengaruhnya. Agar dapat bertahan setelah keruntuhan sistem itu, telah muncul kembali kapitalisme, dan rata-rata pendapatan warga Korea Utara sebagian besar berasal dari perusahaan swasta. Saat pasar bebas tumbuh, hal itu lebih menguntungkan bagi kelas musuh, karena tidak tergantung pada pemerintah. Jumlah orang yang ikut militer menurun, karena jika zaman dulu setelah bertugas selama 5-7 tahun warga Korea Utara bisa berharap menjadi birokrat rendahan, tetapi saat ini akan lebih menguntungkan untuk terlibat dalam perusahaan swasta. Songbun tetap penting untuk elit pemerintah, tetapi untuk sebagian besar warga Korea Utara, kekayaan menjadi lebih penting daripada songbun ketika menentukan tempat seseorang dalam masyarakat.[15]

Salah satu contoh yang melibatkan songbun adalah Ko Yong-hui, ibu dari pemimpin Kim Jong-un. Ko lahir di Osaka, Jepang, yang akan membuat dia menjadi bagian dari kelas musuh karena dia keturunan Korea-Jepang; selain itu, kakeknya bekerja di sebuah pabrik jahit untuk Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.[16] Terdapat tiga upaya yang dilakukan untuk memperbaiki citra Ko, sama seperti Kang Pan-sŏk, ibu dari Kim Il-sung, dan Kim Jong-suk, ibu dari Kim Jong-il dan istri pertama dari Kim Il-sung.[17] Upaya ini gagal, dan dihentikan setelah Kim Jong-il menderita stroke tahun 2008.[16] Kultus individu yang berusaha dibangun untuk Ko menemui masalah karena status dalam songbun buruk, dan akan merusak kemurnian darah dinasti Kim.[16] Nama asli dari Ko dan data pribadi lainnya tidak diketahui secara pasti, maka ia disebut sebagai "Ibu dari Korea" atau "Ibu". Rumitnya masalah songbun dari Ko songbun, informasi pribadi, termasuk nama, menjadi rahasia negara.[17] Sementara songbun biasanya diturunkan dari ayah,[15] Latar belakang Ko memiliki "status terendah yang pernah dibayangkan" dari korea Utara.[16]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f Helen-Louise Hunter (1999). Kim Il-song's North Korea. Westport, Connecticut, London: Praeger. hlm. 3–11, 31–33. ISBN 0-275-96296-2. 
  2. ^ a b Matthew McGrath (June 7, 2012). "Marked for Life: Songbun, North Korea's Social Classification System". NK News. Diakses tanggal June 8, 2012. 
  3. ^ a b c Robert Collins (June 6, 2012). Marked for Life: Songbun, North Korea’s Social Classification System (PDF). Committee for Human Rights in North Korea. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-04-20. Diakses tanggal June 8, 2012.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "HRNKSongbun" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ "Songbullshit - tHE r H i z z o n E". www.rhizzone.net. Diakses tanggal 2016-05-30. 
  5. ^ Andrei Lankov, “The Repressive System And The Political Control In North Korea,” in Severnaia Koreia: vchera i segodnia (North Korea: Yesterday and Today) (Moscow: Vostochnaia literatura, 1995)
  6. ^ Kim Yong-gu, “North Korean Residents’ Songbun,” 70-75; and Andrei Lankov, “The Repressive System And The Political Control In North Korea”
  7. ^ Jerry Winzig. "A Look at North Korean Society" (book review of Kim Il-song's North Korea by Helen-Louise Hunter). winzigconsultingservices.com. Diakses tanggal June 8, 2011. In North Korea, one's songbun, or socio-economic and class background, is extremely important and is primarily determined at birth. People with the best songbun are descendants of the anti-Japanese guerrillas who fought with Kim Il-song, followed by people whose parents or grandparents were factory workers, laborers, or poor, small farmers in 1950. "Ranked below them in descending order are forty-seven distinct groups in what must be the most class-differentiated society in the world today." Anyone with a father, uncle, or grandfather who owned land or was a doctor, Christian minister, merchant, or lawyer has low songbun. 
  8. ^ a b B.R. Myers (2010). The Cleanest Race: How North Koreans See Themselves and Why It Matters. Hoboken, NJ: Melville House Publishing. ISBN 978-1-933633-91-6. 
  9. ^ Helen-Louise Hunter,Kim Il-song's North Korea, Praeger, Westport, Connecticut, 1999, pp 4-5.
  10. ^ Barbara Demick, Nothing to Envy: Love, Life and Death in North Korea, Fourth Estate, London, 2010, pp 26-27.
  11. ^ Demick, pp 28, 197, 202.
  12. ^ Demick, p 28.
  13. ^ Helen-Louise Hunter,Kim Il-song's North Korea, Praeger, Westport, Connecticut, 1999, pp 3, 6.
  14. ^ KINU White Paper on Human Rights in North Korea 2011, p. 216, 225
  15. ^ a b c d Andrei Lankov (2011-12-03). "North Korea's new class system". Asia Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-01. Diakses tanggal 2012-07-01.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Lankov2011" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  16. ^ a b c d Ko Young-ki (2012-06-26). "Happy Birthday, Ko Young Hee". Daily NK. Diakses tanggal 2012-07-01. 
  17. ^ a b Cho Jong-ik (2012-06-30). ""Great Mother" revealed to World". Daily NK. Diakses tanggal 2012-07-01. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]