Soerachmad

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kolonel Inf (Purn.)
Soerachmad
Panglima Kodam VIII/Brawijaya
Informasi pribadi
LahirBaron, Nganjuk, Jawa Timur
Meninggal1984
Alma materPeta (1942)
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1940–1975
Pangkat Kolonel
SatuanInfanteri
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kolonel Inf (Purn.) Soerachmad (lahir di Baron, Nganjuk, Jawa Timur, 12|1904 - meninggal pada 1984 pada usia 79 tahun) adalah mantan Pangdam V/Brawijaya dan mengawali karier sebagai Kapten Pembela Tanah Air (PETA) pada 1942 mantan Komandan Brigade II/Komandan Brigade S di Kediri cikal bakal Kodam V/Brawijaya. Dan juga tokoh berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Itu cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sekarang Tentara Nasional Indonesia. Dan sempat mengadakan rapat pembahasan pendirian Komando Daerah Militer (Kodam) se Indonesia, yang diikuti Jendral Besar TNI (Purn.) AH Nasution.

Ia telah tergabung dalam tentara Pembela Tanah Air (Peta) sejak penjajahan Jepang. Kala itu jabatannya sudah termasuk tinggi. Yaitu sebagai Daidancho (setingkat Letkol), Beberapa pejuang lain yang terkenal, seperti Shodanco (setingkat Letnan) Letnan Soeprijadi dan Mayor Bismo (saat itu Chudancho atau setingkat Kapten) adalah anak buah Soerachmad di tentara Peta.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Soerachmad lahir di Baron, Nganjuk, Nganjuk, Jawa Timur pada 12 Desember 1904 dan meninggal pada tahun 1984. ternyata memulai karier dari jabatannya sebagai wedana pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Soerachmad adalah anak seorang Wedana Baron, Nganjuk Raden Hadiwijoyo. semasa muda, dia bisa bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) Blitar pada 1925. Sekolah tersebut adalah sekolah bagi calon pegawai dari Bumiputra. Lulusannya dipersiapkan sebagai pamong praja pada masa kolonial. Setelah lulus ditugaskan menjadi calon pegawai pamong praja pribumi di Kawedanan Pare, Kediri. Namun saat bertugas di sana, dia mendapatkan masalah.[1] Gara-garanya dia berkasus dengan perusahaan gula Handels Vereeningen Amsterdam (HVA) di Pare. Akibatnya, Soerachmad dipindah ke Blitar. Di Blitar hingga tahun 1941 saat itu dia diangkat menjadi Wedana Blitar.

Sampai zaman Jepang menjajah, Soerachmad tetap menjadi wedana. Dia berhasil meredam penjarahan hingga perampokan di Blitar. Sehingga pihak Jepang mengangkatnya sebagai calon perwira Peta. Jabatannya sebagai Daidancho atau setingkat Letnan Kolonel (Letkol). Saat itulah karier militernya terus melejit. Daidancho Soerachmad membawahi wilayah Karesidenan Kediri. Anak buahnya meliputi Chudancho (sekelas Mayor), Shodancho (Kapten ), dan Budancho (Letnan Satu). Karena pangkatnya yang tinggi, Soerachmad juga membawahi pahlawan Peta asal Blitar Shodancho Supriyadi. Dia menjadi anak buahnya. Adapun saat terjadi pemberontakan Peta yang dipimpin Supriyadi di Blitar pada Februari 1945, Soerachmad sebagai atasannya sempat diinterogasi Kenpeitai. Sebab para pemberontak Peta adalah anak buahnya. Supriyadi dan pasukan Peta lain nekat memberontak karena melihat kesengsaraan rakyat saat dijadikan pekerja romusa. Namun setelah diinterogasi Soerachmad kembali dilepas. Itu karena dia terbukti tidak terlibat.[2]

Penggagas Kodam V/Brawijaya[sunting | sunting sumber]

Soerachmad punya andil penting dalam pembentukan organisasi kemiliteran. Tak hanya BKR, ia juga berperan membentuk Divisi I Brawijaya. Selain menggagas Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal Tentara Nasonal Indonesia (TNI) di Kediri, Kolonel Soerachmad juga terlibat dalam pembentukan Divisi I Brawijaya atau yang kini dikenal sebagai Kodam V/Brawijaya. Itu merupakan komando kewilayahan pertahanan di Provinsi Jawa Timur ini. Saat itu, Soerachmad dipilih sebagai Panglima Divisi I Brawijaya. Namun dia menolak. Lalu mengajukan Mayjen Soengkono.

Bermula saat BKR berubah nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), di pulau Jawa ada tujuh divisi tentara. Tiga di antaranya ada di Jawa Timur. Yakni Divisi Narotama (Kediri), Divisi Surapati (Malang), dan Divisi Ronggolawe (Mojokerto). Di Divisi Narotama ada Resimen 34 yang dipimpin Letkol Soerachmad. Setelah nama TRI berubah menjadi TNI pada 3 Juni 1947, ketiga divisi di Jatim dilebur menjadi satu. Lalu lahirlah Divisi Brawijaya pada 17 Desember 1948 di Kediri. Makanya, saat ini ulang tahun Kodam V/Brawijaya pun mengikuti terbentuknya Divisi I tersebut. Pengukuhan kali pertama dilakukan di Lapangan Kuwak yang saat ini dikenal sebagai Stadion Brawijaya, Kota Kediri.[3]

Markas awal Divisi I Brawijaya ada di barat sungai yang saat ini gedungnya menjadi SMAN 1 Kediri. Sedangkan markas Kodam V Brawijaya ada di Surabaya. Setelah terbentuk Divisi I Brawijaya, Soerachmad menjadi Panglima Brigade II atau biasa disebut Brigade S. Sedangkan Panglima Divisi I adalah Letkol Soengkono. Dalam pemilihan Panglima Divisi ini, Soerachmad yang senior dan disegani pasukan di Jawa Timur sejatinya terpilih jadi Panglima Divisi I. Namun dia menolak dan menunjuk Letkol Soengkono.[4] Saat itu Soerachmad dan Soengkono masih berpangkat sama. Yaitu Letnan Kolonel. penolakan itulah yang membuat Soerachmad disegani pimpinan tentara Jatim. Dia lebih mementingkan pengabdian dari jabatan. Selain itu, anak buahnya pun segan lantaran ketika memimpin pasukan di BKR hingga TKR tidak mengumbar pangkat. Untuk pasukan di Kediri sangat sulit naik pangkat saat itu.

Makanya, ketika masa kabinet Hatta ada program restrukturisasi dan rasionalisasi/reorganisasi (Re-Ra) masal di tubuh TNI, Soerachmad dan anak buahnya tidak ada yang turun pangkat. Ini beda dengan daerah lain. Itulah kehebatan Soerachmad. Dia termasuk panglima di Jatim yang tidak turun pangkat ketika Re-Ra, Penunjukan Soengkono sebagai Panglima Divisi I Brawijaya oleh Soerachmad terntara berkaitan erat dengan pasca peristiwa Madiun 1948. Setelah Divisi I terbentuk atas usulan panglima di Jatim, Soerachmad awalnya diusulkan sebagai panglima karena lebih senior dari Soengkono. Pengusulan itu berkaitan dengan figur Kolonel Bambang Soepeno yang cenderung ditolak oleh kebanyakan Panglima di Jatim. “Kolonel Bambang Soepeno dianggap tidak netral dalam peristiwa Madiun,” urainya.

Karena hal itulah Soengkono akhirnya diangkat menjadi Panglima Divisi I Brawijaya atas dukungan Letkol Soerachmad. itulah yang membuat karisma dan kewibawaan Soerachmad disegani. Selain netral Seorachmad juga diseniorkan di tubuh TNI. Sehingga atas usulannya jarang sekali ada penolakan dari panglima yang lain.

Duga Batalyon Sikatan Eksekusi Tan Malaka[sunting | sunting sumber]

Soerachmad memimpin Brigade II di bawah komando Divisi I Brawijaya. Pasukannya disebut mengeksekusi Tan Malaka. Kolonel Soerachmad tak hanya disegani para prajurit pejuang kemerdekaan di Jawa Timur. Itu karena perannya dalam pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kediri hingga Divisi I Brawijaya.

Di balik itu, ia disebut-sebut yang telah mengeksekusi Tan Malaka. Kala itu, Soerachmad memimpin pasukan sebagai Panglima Brigade II atau Brigade S. Pasukan ini di bawah komando Panglima Divisi I Brawijaya Mayjend Soengkono. Namun hingga kini masih menjadi kontroversi. Kejadian itu bermula saat Agresi Belanda II pecah dan Jogjakarta dalam penyerangan tentara Belanda. Saat itulah Tan Malaka bersama pengikutnya Mayor Sabaruddin bergerilya di dan mengambil alih perjuangan. Mereka bergerilya di Gunung Wilis sambil mengobarkan penolakan anti Soekarno-Hatta karena berdiplomasi dengan pihak Belanda. Bahkan Tan Malaka mendirikan Pemerintahan Republik Rakyat Indonesia di Kediri. Tan Malaka mengangkat diri sebagai presiden dan mengangkat Sabaruddin sebagai panglimanya.

Dengan pimpinan Letkol Soengkono inilah, Sabarudin kembali mendapatkan pangkat Mayor nya lagi akibat penahanan itu. Memimpin Batalyon 38 di bawah Soerachmad mampu menggempur PKI Madiun dari arah timur. Salah satu kekuatan PKI, yaitu Brigade 29 pimpinan Letkol Dachlan berhasil ditangkap Sabarudin. Sabarudin pun mengeksekusi Dachlan di daerah Ngantang, Malang. Walaupun ada di bawah komandonya. Soerachmad sebenarnya tidak sepaham dengan sepak terjang Sabarudin. Ketika Agresi Belanda di Jogjakarta, rival Musso, Tan Malaka sedang berpetualang di Jawa Timur. Dia menolak diplomasi Soekarno dengan Belanda. Sabarudin terpengaruh oleh ide-ide Tan yang radikal. Bahkan saat Tan Malaka mendirikan Pemerintahan Republik Rakyat Indonesia di Kediri dan menyebut dirinya presiden, Sabarudin diangkat menjadi panglimanya. Inilah yang membuat Soerachmad murka dengan Sabarudin. Soerachmad pun menugaskan Kompi Sampurno yang lebih dikenal dengan sebutan kompi “Macan Kerah”, untuk menangkap Sabarudin. Namun sialnya saat itu Divisi I Brawijaya digempur Belanda. Sabarudin pun berhasil meloloskan diri. Dia menyeberang Sungai Brantas ke arah timur. Saat meloloskan diri Sabarudin berpapasan dengan Mayor Banoeredjo dan Kapten Roestamadji, kepala stafnya. Tak ingin tertangkap, dia pun membunuh keduanya. Hingga tahun 1949 saat penyerahan kedaulatan Belanda ke RI, Sabarudin menyerahkan diri pada Kolonel Soengkono dan dieksekusi lewat proses pengadilan militer. Sabarudin ditembak mati di hutan Wilangan Kabupaten Nganjuk.[5]

Karena Kediri merupakan wilayah kekuasaan ataupun pengamanan Brigade S pimpinan Soerachmad, maka pasukannya bertugas memburu Tan Malaka dan Sabaruddin yang merupakan mayor nya di Batalyon 38 atas perintah Panglima Divisi I Brawijaya. Hingga Tan Malaka dieksekusi pasukannya di Hutan Wilis oleh Batalyon Sikatan, anak buahnya Soerachmad. diduga Tan Malaka tewas di tangan Batalyon Sikatan yang terkenal dengan mahir menyikat dan dalam operasinya tidak pernah gagal. Batalyon tersebut di bawah komando Brigade S yang panglimanya adalah Letkol Soerachmad. Yang menembak Tan Malaka anak buah Letnan II Soekotjo (pernah jadi Wali Kota Surabaya). Adapun Letnan II Soekotjo sendiri adalah anak buah Letnan I Soekadji Hendrotomo Komandan Kompi Dekking dari Komando Brigade S Kediri. Setelah tertangkap oleh bagian dari Batalyon Sikatan di hutan Gunung Wilis. Tan Malaka pun dieksekusi mati.

Pensiun Dini Dari Dinas Militer[sunting | sunting sumber]

Namun setelah pengeksekusian itu terjadi. Ternyata di petinggi TNI banyak yang menyayangkan insiden pengeksekusian Tan Malaka ini. Sehingga banyak yang menyalahkan Soerachmad. Karena kematian Tan Malaka di tangan anak buahnya. alasan Soerachmad memilih untuk pensiun dini di pangkat terakhirnya Kolonel.[6]

Jabatan Militer[sunting | sunting sumber]

  • BKR, TKR, TRI, TNI di Kota dan Wilayah Kediri (1945)
  • Komandan Resimen 34
  • Komandan C Brigade II / Brigade S

Referensi[sunting | sunting sumber]