Schapelle Corby

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 April 2013 16.13 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 7 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q3241051)

Schapelle Leigh Corby (lahir 10 Juli 1977) adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada 8 Oktober 2004.

Dalam tas Corby ditemukan 4,2 kg ganja, yang menurut Corby, bukan miliknya. Dia mengaku tidak mengetahui adanya ganja dalam tasnya sebelum tas tersebut dibuka oleh petugas bea cukai di Bali, namun pernyataan ini ditentang oleh petugas bea cukai yang mengatakan bahwa Corby mencoba menghalangi mereka saat akan memeriksa tasnya.

Bapak kandung Schapelle Corby, Michael Corby, sebelumnya pernah tertangkap basah membawa ganja pada awal tahun 1970-an.

Corby ditemukan bersalah atas tuduhan yang diajukan terhadapnya dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun pada 27 Mei 2005. Selain itu, ia juga didenda sebesar Rp.100 juta. Pada 20 Juli 2005, Pengadilan Negeri Denpasar kembali membuka persidangan dalam tingkat banding dengan menghadirkan beberapa saksi baru. Kemudian pada 12 Oktober 2005, setelah melalui banding, hukuman Corby dikurangi lima tahun menjadi 15 tahun. Pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi, MA memvonis Corby kembali menjadi 20 tahun penjara, dengan dasar bahwa narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya.

Kronologi peristiwa

  • 8 Oktober 2004: Schapelle Corby lepas landas dari Brisbane International Airport, Brisbane, Australia dengan pesawat Qantas QF501, kemudian transit di Sydney, naik pesawat Australian Airlines AO7829 menuju Denpasar, dan mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Setelah mendarat di Denpasar, Corby ditahan karena petugas bea cukai Bandara Ngurah Rai menemukan ganja seberat 4,2 kg dalam tas milik Corby.
  • ? - 2005: Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Perth, Australia menerima surat ancaman pembunuhan yang disertai sebutir peluru.
  • 27 Mei 2005: Corby diputuskan harus menjalani hukuman penjara 20 tahun serta ditambah denda sebesar Rp 100.000.000, karena melanggar pasal 82, ayat 1a, UU nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Sidang putusannya disiarkan langsung di dua stasiun televisi di Australia.
  • 1 Juni 2005: Sebuah amplop berisikan serbuk putih, yang dikirimkan dari negara bagian Victoria, Australia, tetapi akhirnya dinyatakan tidak berbahaya, dikirimkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra, Australia, sehingga mengakibatkan seisi gedung kedutaan harus dikosongkan dan kedutaan ditutup selama beberapa hari. Perdana Menteri Australia, John Howard, segera meminta maaf kepada pemerintah Indonesia dan mengatakan akan segera mengusut kasus tersebut serta mencari siapakah pelakunya.
  • 3 Juni 2005: Sebuah paket berisikan serbuk mencurigakan, yang akhirnya dinyatakan tidak berbahaya, dikirimkan ke Gedung Parlemen Australia dan dialamatkan ke Menlu Australia, Alexander Downer. Paket tersebut ditemukan dalam pemeriksaan rutin. Akibat insiden ini, tempat penerimaan barang di Gedung Parlemen ditutup untuk sementara waktu.
  • 3 Juni 2005: Sebuah surat berbau menyengat dikirimkan ke Pengadilan Negeri Denpasar. Akibatnya, Kepala Pengadilan Negeri Denpasar, Nengah Suryadi, yang menerima surat tersebut, mengaku merasa pusing-pusing. Setelah diperiksa lebih lanjut oleh Laboratorium Forensik (Labfor) Polri Denpasar, tidak ditemukan zat beracun dalam surat tersebut.
  • 7 Juni 2005: Lagi, sebuah amplop berisikan serbuk putih, yang diperkirakan juga dikirimkan dari negara bagian Victoria, Australia, tetapi diperkirakan tidak berbahaya, dikirimkan ke KBRI. Akibat insiden ini, KBRI ditutup untuk sementara sampai waktu yang belum ditentukan.
  • 9 Juni 2005: Paket-paket mencurigakan kembali dikirimkan ke kedutaan-kedutaan besar di Australia. Kali ini, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan di Australia dikirimi paket-paket mencurigakan. Selain itu, Gedung Parlemen Australia juga kembali dikirimi bungkusan mencurigakan. Akibat kejadian ini, sebagian gedung kedutaan-kedutaan tersebut dan sebagian Gedung Parlemen Australia ditutup untuk umum.
  • 12 Oktober 2005: Hasil banding di pengadilan mengurangi jumlah hukuman menjadi 15 tahun.
  • 12 Januari 2006: Hasil kasasi di MA mengembalikan hukuman menjadi 20 tahun.

Tanggapan rakyat Australia

Kasus Corby menarik perhatian yang besar di Australia akibat liputan media yang luas. Banyak dari warga Australia yang bersimpati dengan Corby yang digambarkan oleh media di sana sebagai orang yang "sial", karena kopernya diisi ganja oleh orang lain. Beberapa orang bahkan sampai mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan memboikot Bali dan menyarankan agar warga Australia tidak berkunjung ke sana.

Selain itu, ada pula yang meragukan kemampuan sistem pengadilan di Indonesia yang berbeda dari Australia. Di Indonesia, terdakwa harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah sedangkan di Australia, pihak penuntutlah yang harus membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Sistem Indonesia ini merupakan warisan dari zaman Belanda dan karena itu, dianggap "ketinggalan zaman" dan "tidak adil".

Ada pula yang menganggap bahwa ganja hanyalah tumbuhan dan karena efek merusaknya pun lebih rendah, seharusnya tidak digolongkan bersama dengan psikotropika tingkat I lainnya, seperti heroin, dan lainnya. Bahkan di beberapa negara lain, ganja sudah dilegalkan walaupun dengan aturan yang ketat.

Meskipun begitu, ada juga warga Australia yang mendukung agar Corby dihukum. Mereka berpendapat bahwa hal tersebut perlu dilakukan agar menjadi peringatan bagi warga sana yang berniat menyelundupkan obat-obatan terlarang ke luar negeri.

Tanggapan rakyat Indonesia

Kebanyakan rakyat Indonesia dingin-dingin saja dalam menanggapi kasus ini. Kalaupun ada protes, kebanyakan terjadi di media-media massa dalam bentuk (artikel) protes, di mana para tokoh mengecam keras tindakan teror terhadap KBRI di Australia, selain juga mengecam pandangan ekstrem minoritas warga Australia tersebut (atau warga Australia sendiri). Selain itu, ada juga beberapa tokoh yang menyarankan Pemerintah Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Australia.

Selain kecaman di media, ada juga yang melakukan aksi unjuk rasa secara damai, misalnya menuntut dihukum matinya Corby, menuntut pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia, dsb. Selain hal-hal di atas, tidak ada aksi anarkis dan teror terhadap aset Australia di Indonesia.

Selain itu, beberapa pakar hukum Indonesia seperti Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, dalam opininya di Kompas mempertanyakan pendekatan hukum atas kasus ini. Menurutnya, pembuktiannya tidaklah sekadar memiliki atau menguasai ganja/marijuana tersebut, tetapi bagaimana dan dengan cara apa marijuana itu bisa berada dalam penguasaan Corby sebagai alas bukti ada tidaknya unsur tanpa hak dan melawan hukum. Artinya, kalau tidak ada bukti tentang bagaimana dan dengan cara apa marijuana itu berada dalam penguasaan Corby, tidaklah ada kesalahan dan melawan hukum pada diri Corby. Inilah pendekatan ajaran dualistis yang menghendaki adanya kebenaran materil dengan mempertanyakan bisa tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan secara pidana. [1]

Pranala luar