Politik pecah belah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Awalnya, politik pecah belah merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi Politik kekuasaan.[1]

Teknik[sunting | sunting sumber]

Unsur-unsur yang dijadikan teknik dalam politik ini adalah:

  • Menciptakan atau mendorong perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang bisa menentang kekuasaan berdaulat.
  • Membantu dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan kekuasaan yang berdaulat.
  • Mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat.
  • Mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan militer.

Politik pecah belah di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Politik pecah belah termasuk strategi yang digunakan oleh penjajah kolonial Belanda mengadu domba antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan anggota-anggota kerajaan (pangeran-pangeran) yang tidak puas dengan pemerintahan raja kerajaan-kerajaan tersebut.

Politik pecah belah di Jawa[sunting | sunting sumber]

Belanda (VOC) menjalankan politik pecah belah antara lain di Kesultanan Mataram dengan hasil Perjanjian Mataram dan VOC tahun 1743, Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Kesultanan Mataram antara Surakarta dan Yogyakarta, Perjanjian Salatiga (1757) yang membagi Surakarta dengan Mangkunegaran, serta Perjanjian 1813 (dengan pemerintah Inggris) yang membagi Yogyakarta dengan Pakualaman.

Selain itu perjanjian yang lain di antaranya adalah Perjanjian Cirebon 1688 yang membagi-bagi Kesultanan Cirebon.

Awal kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]

Untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca kemerdekaan Indonesia 1945, politik pecah belah juga menjadi alat memecah belah suatu bangsa agar bisa ditaklukkan dengan tujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah untuk dikuasai.[2] Pada 1947-1948 Belanda membentuk negara boneka dengan menjanjikan kemerdekaan terhadap beberapa negara boneka yang telah dibuatnya, diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Jawa Timur.[3]

Pada Perang Dunia II, Jepang mengakui kalah dari tentara sekutu dengan pemboman kota Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 8 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Pada tanggal 16 September 1945 rombongan Belanda, perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok.

Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan).

Terjadi kekosongan pemerintahan yang berkuasa Indonesia yang diakibatkan kekalahan Jepang. Oleh karena itu, para pemuda (Golongan Muda) melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.[4] Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1946, yakni penculikan kepada dua bapak proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta, ke Karawang, Jawa Barat, dengan tujuan supaya cepat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945[4]. Tetapi Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 1945, karena ingin kembali berkuasa. Hal inilah yang mengawali agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948.

Agresi Belanda I dan II[sunting | sunting sumber]

Setelah Indonesia Merdeka pada 1945, Belanda masih mempunyai urusan dengan Indonesia, yakni pengembalian semua wilayah yang dulu bekas jajahan Belanda menjadi bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Untuk menjadi negara berdaulat, beberapa tahapan melawan Belanda dilakukan untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang- Merauke.

Perjanjian Linggarjati 1946[sunting | sunting sumber]

Perjanjian yang terjadi di Linggarjati, Jawa Barat, dihadiri oleh pihak dari Indonesia yang diwakili Sutan Syahrir dan dari pihak Belanda diwakili Wim Schermerhorn, dimana menghasilkan resolusi yang melemahkan Indonesia secara de Facto.[5] Pada perjanjian tersebut hanya akan mengakui Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara Indonesia.

Agresi Militer Belanda I 1947[sunting | sunting sumber]

Pada 21 Juli 1947, Wakil Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947.[6] Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.

Perjanjian Renville 1948[sunting | sunting sumber]

Akibat agresi militer 1 yang dilakukan Belanda, Amerika Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Keduanya lalu menandatangani perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.[7] Hasil dari perjanjian ini, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda hanya mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan.

Agresi Militer Belanda II 1948[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar gencatan senjata dan isi Perjanjian Renville. Belanda mengerahkan 80.000 pasukannya[8] kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta dan melakukan penangkapan kepada Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.

Konferensi Meja Bundar 1949[sunting | sunting sumber]

Akibatnya, Amerika Serikat kembali menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November 1949,[9] terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia, termasuk Papua didalamnya. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Indonesia. Khusus untuk Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950.

Negara Bagian Indonesia Timur (Papua) di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Selama 1947-1948, pihak Belanda sengaja ingin menguasai Indonesia dengan mudah, dan membagi-baginya menjadi kelompok kecil, dengan total 6 bagian, diantaranya diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Jawa Timur.[10] Sejak 1950 sampai 1961, Belanda masih belum mengembalikan Papua sampai 1961, dimana Belanda seharusnya mengembalikan Papua menjadi bagian dari Indonesia sesuai kesepakatan hasil konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag, Belanda, yang akan dibahas satu tahun setelahnya, yakni pada 1950.[9]

Belanda masih menguasai Papua Barat sebagai wilayah jajahannya, Alasannya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik sekaligus bertekad memperkuat basis ekonominya di Papua.[11] Belanda diam-diam mendirikan negara boneka Papua. Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council pada tanggal 19 Oktober 1961.[11] Adapun tugasnya merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua. Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada tahun yang sama, Belanda sekaligus mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK), tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi Papua.[11]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Saptamaji, Rolip (2013-11-22). "Memahami Operasi Strategi Devide et Impera". Berdikari Online. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  2. ^ "Politik devide et Impera VOC – Donisaurus". Diakses tanggal 2020-02-18. 
  3. ^ Welianto, Ari (ed.). "Terbentuknya Republik Indonesia Serikat". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  4. ^ a b Wedhaswary, Inggried Dwi (ed.). "Saat Sutan Syahrir Mendengar Berita soal Kekalahan Jepang dari Sekutu pada 10 Agustus 1945..." Kompas.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  5. ^ Gischa, Serafica (ed.). "Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  6. ^ Rosikin, Ahmad Nur. Putri, Ekarista Rahmawati, ed. "Agresi Militer Belanda I". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  7. ^ Saraswati, Aprilia. "Perjanjian Renville, Perjanjian yang Disahkan pada 17 Januari 1948 di Atas Kapal Amerika Serikat ya". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  8. ^ Hantoro, Tri. "Agresi Militer Belanda II, Penyerbuan Pasukan Belanda Terhadap Wilayah Republik Indonesia". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  9. ^ a b Nailufar, Nibras Nada (ed.). "Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampaknya". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  10. ^ Fathoni, Rifai Shodiq (2016-10-01). "Republik Indonesia Serikat (1949-1950)". Wawasan Sejarah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-21. 
  11. ^ a b c "Papua dan Ambisi Presiden Pertama". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-21.