Metode penyusunan kitab hadis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Metode penyusunan kitab hadis merupakan berbagai metode yang digunakan para penyusun dari kitab koleksi hadis dalam membukukan koleksi hadisnya.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Pembukuan kitab hadis dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya:

  • Karena Al-Qur'an telah dibukukan.
  • Banyak perawi hadis yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan hadis-hadis akan hilang bersamaan dengan wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap pemeliharaan hadis.
  • Daerah kekuasaan Islam semakin meluas.
  • Terjadinya berbagai macam pemalsuan hadis.[1]

Melihat keadaan tersebut khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang berkuasa pada waktu itu berinisiatif untuk melakukan pembukuan hadis-hadis yang masih ada pada para sahabat. Dengan demikian pembukuan hadis secara resmi dilakukan pada waktu itu dan dipelopori oleh dua ulama besar yaitu Abu Bakar Ibnu Hazm dan Muhammad muslim ibn Syihab Az-Zuhri.[2]

Metode penyusunan[sunting | sunting sumber]

Dalam usaha pembukuan kitab koleksi hadits para ulama berbeda-beda dalam memilih metode yang mereka gunakan. Metode-metode tersebut adalah:

METODE MU’TAZILAH

Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah adalahmereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan terlalu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam memiliki hukum kokoh yang tunduk terhadap akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan Descartes dari kalangan kaun Rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari hukum Naql (teks Al-qur’an dan Hadist), tetapi mereka tanpa ragu menundukkan naql kepada hukum akal. Mereka menakwillkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak hadist-hadist ang tidak diakui oleh akal. Mereka menguasai berbagai pandangan Religius dan Filosofis ynag melingakupi mereka. Namun saynagnya kecenderungan Rasionalisme yang ekstrim mendorong mereka untuk menerapkan hukum-hukum akal terhadap alam langit seperti ketika menghukumi alam bumi, sehingga mengiring mereka kedalam pandangan-pandangan yang begitu berani, yang akhirnya menggiring mereka ke dalam filsafat ketuhanan yang selamanya tidak mengkonsekwensikan semua pengertian keagungan dan kesempurnaan yang sepantasnya (bagi Allah). Prinsip meraka yang mengatakan “mengnalogikan yang tak terlihat kepada ynag etrlihat” secara mutlak tidak bisa diterima. Ini begitu bertentangan dengan prinsip “meyerahkan kepada Allah” yang dikemukakan oleh kaum salaf. Aliran Mu’tazilah juga menyucikan kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir ini, mereka sucikan baik ketika mengahadapi pihak lawan maupu ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Mereka memperluas ruang gerak kajian di kalangan mereka sendiri, dimana seorang murid berhak meenentang pandangan gurunya, bahkan seorang anak pun berhak menentang pandangan ayahnya sendiri. Kaum Mu’tazilah memiliki banyak pandangan yang saling berlawanan dan argumentasi yang saling mengkontra. Sebagai contoh, Al-Allaf (849M=228H) mengemukakan pendapatnya tentang teori al-jauhar al-fard. Teori ini ditolak oleh Al-Nazzam (845M=231H), murid dan anak dari saudara perempuannya sendiri. Kaum Mu’tazilah saling berbeda pendapat dalam masalah-masalah detail, dan mereka menjadi kelompok di dalam kelompok.

PEMBUKTIAN TENTANG ADANYA ALLAH

Dalam rangka menghadapi kaum Zindiq dan Atheis, kaum Mu’tazilah mendalami adanya Allah lebih serius dibandingkan kamun salaf. Dalam rangka ini, Mu’tazilah menggunakan bukti alami dan tradisional yang sudah dikenal esejarah modern maupun sejarah klasik. Mereka berpendapat bahwa alam terporal hadis berawal dan berakhir. Semua yang temporal harus ada yang mencipatakan. Teori Jauhar Al-Fard (teori atom), sebenarnya dimaksudkan untuk menyangga teori Al-Maddah Al-Qaddimah (materi eternal) yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang dapat disimpulkan bahwa alam terdiri atas bagian-bagian ang tidak aa dan tidak akan kekal tanpa perhatian tuhan. Kepada Al-Nazzam lah pola pembuktian ini dikaitkan. Pembuktian ini berlandaskan pada anggapan bahwa didalam alam terdapat hal-hal yang saling bertentangan, seperti panas dan dingin, atau berkumpul pada suatu tempat dalam bentuk yang bukan tabiatnya. Ini hanya berarti, bahwa ada kekuatan yang maha perkasa yang mengumpulkan hal-hal yang saling bertentangan. Kekuatan itu adalah Allah SWT. Jelaslah bahwa pembuktian ini merupakan sebuah diskusi yang berkelangsungan terus dan dengan ada perubahan, yang dalam hal ini Al-Nazzam punya andil besar.

TEORI KETUHANAN

Sama sekali kami tidak beranggapan bahwa teori ini sudah diberi pemecahan secara luas oleh aliran teologi tertentu seperti yang dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah. Selama satu abad atau lebih mereka mengutak atik masalah ini dengan berbagai macam aspeknya, dan mereka menyuguhkan pandangan baru dan unik. Teori ketuhanan ini tersimpul dalam problematika sifat-sifat Allah ynag sebelumnya sudah dikobarkan oleh Al-Ja’d bin Dirham dan Al-Jahm bin Safwan. Masalah ini mereka oleh sedemikian rupa sehingga menjadi bahan para teolog yang datang setelah mreka. Asas teori ketuhanan, menurutt kaum Mu’tazilah, adaah Al-Tanzih dan Al-Tauhid (penyucian dan pengesahaan terhadap Allah. Untuk itu merek benar-benar menyucikan Allah SWT dai materi dan segala Aksidensianya, karena “Allah bukan jisim juga bukan bayangan”. Bukan bagian juga bukan keseluruhan (totalitas). Tidak dibatasi oleh waktu atau tempat. Tidak punya anak juga tidak memiliki orang tua. Tidak bisa dipandang mata, tidak bisa didengar telinga. Sama sekali tidak menyerupai makhluk. Dan semua yang terlintas di hati Anda, maka Allahh adalah tidak seperti itu. Sebagai konsekuensi dari adanya prinsip Al-Tanzih ini, maka tidak ada jalan untuk melihat Allah dengan pandangan mata, karena ini mengkonsekuensikan arah tempat dimana Allah berada padahal mengatakan bhwa “Allah berada di suatu arah” adalah mustahil. Mereka tidak berkeberatan untuk mewakilkan teks-teks ayat Al-Qur’an dan hadis yang memberikan kesan demikian dengan menakwilkan rasional ynag berjalan seiring dengan Tanzih mutlak. Secara sederhana, mereka menolak hadist-hadist yang memberikan kesan Al-Jismiyah (perbedaan, antropomorfisme) dan Al-Maddiyyah (materialitas). Mengenai prinsip bahwa “Allah tidak sama dengan segala yang temporal” tak seorangpun yang melakukan kajian dan penelitian sedalam yang dilakukan kaum Mu’tazilah. Mereka memerangi pemikiran Al-Tasybih dan Al-Tajsim yang gemanya menyusup ke dalam Islam dari agama-agama lain. Kaum Mu’tazilah memfilsafatkan sedemikian rupa teori-teori ke-Esaan Allah, yang mengingatkan kita kepada teori yang dikemukakan oleh Plotinus, salah seorang tokoh aliran Iskandariah. Maka “Allah satu” adalah Esa. Tidak ada yang menyamai dan tidak ada yang menandingi. Tidak punya sekutu dan penolong. Dia (Allah) adalah yang maha pengatur, Esa dan kekal Abadi. Pandangan ini mengandung argumentasi yang menghancurkan klaim argumentasi orang ynag mengemukakan teori dualisme dan pluralisme. Mu’tazilah memang memerangi kaum dualis, yakni: manawiah dan madzakiah. Juga memerangi kaum sabi’ah yang berpendapat bahwa tuhan itu banyak. Juga membicarakan probematika sifat-sifat Allah.

Musnad[sunting | sunting sumber]

Arbain[sunting | sunting sumber]

Kitab Al-Arba'in adalah jenis kitab koleksi hadits yang mengumpulkan 40-an hadits dengan tema tertentu. Kitab ini biasanya berupa kitab kecil berisi matan hadits dengan susunan ringkas dengan makna yang padat yang mewakili tema yang dimaksudkan penyusun. Misalnya 40 hadits tentang tauhid, tentang hukum fiqih, tentang nashihat, tentang adab dan akhlaq, atau bahkan 40 hadits tentang intisari Islam, seperti kitab Arbain Nawawi.

Maudlu'[sunting | sunting sumber]

Al-Maudlu'at adalah kitab hadits yang mengumpulkan hadit-hadits palsu. Beberapa ulama Ahli hadits telah berusaha mengumpulkan hadits-hadit palsu tersebut secara tersusun, diantaranya adalah:

  • Al-Maudlu'at oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi
  • Al-La'ali al-Masnu'ah fil Ahadith al-Maudlu'ah oleh As-Suyuthi
  • Al-Maudlu'at by Ali Al-Qari
  • Al-Fawaid al-Majmu'ah fi al-Ahadits al-Maudlu'ah oleh Muhammad Asy-Syaukani

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Catatan Kaki

  1. ^ Pengantar Ilmu Hadis Cet II; Syuhudi Ismail; Bandung: Angkasa, 1991, h.102
  2. ^ Pengantar Ilmu Hadis Cet II; Syuhudi Ismail; Bandung: Angkasa, 1991, h.103

Bibliografi

  • Muhammad bin Ibrahim Al-Jazairy, Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadits, (Sukoharjo:Maktabah Al-Ghuroba, 2006)
  • Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. II; Bandung: Angkasa, 1991)
  • M. Hasbi Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet.VIII ; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001)

Pranala luar[sunting | sunting sumber]