Masalah sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Masalah Sosial adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan atau sebagai kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang seharusnya.[1] Individu di dalam masyarakat memandang masalah sosial sebagai sesuatu kondisi yang tidak diharapkan.[2] Masalah sosial berkaitan dengan gangguan moral yang terjadi di dalam interaksi sosial dan nilai sosial yang diharapkan terwujud oleh suatu masyarakat. Bentuk umum dari masalah sosial yaitu disorganisasi sosial dan perilaku menyimpang.[3]

Membuang karung sampah ke atas gerbong kereta api yang sedang berjalan.

Karakteristik[sunting | sunting sumber]

  1. Kondisi yang dirasakan banyak orang.[1]
    Suatu masalah baru dapat dikatakan sebagai masalah sosial apabila kondisinya dirasakan oleh banyak orang.[1] Namun,tidak ada batasan mengenai berapa jumlah orang yang harus merasakan masalah tersebut.[1] Jika suatu masalah mendapat perhatian dan pembicaraan yang lebih dari satu orang, masalah tersebut adalah masalah sosial.[1]
  2. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan.[1]
    Menurut paham hedonisme, orang cenderung mengulang sesuatu yang menyenangkan dan menghindari sesuatu yang tidak mengenakkan.[1] Orang senantiasa menghindari masalah, karena masalah selalu tidak menyenangkan.[1] Penilaian masyarakat sangat menentukan suatu masalah dapat dikatakan sebagai masalah sosial.[1]
  3. Kondisi yang menuntut perpecahan.[1]
    Suatu kondisi yang tidak menyenangkan senantiasa menuntut pemecahan.[1] Umumnya, suatu kondisi dianggap perlu dipecahkan jika masyarakat menganggap masalah tersebut perlu dipecahkan.[1] Pada waktu lalu, masalah kemiskinan tidak dikategorikan sebagai masalah sosial, karena waktu itu masyarakat menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang alamiah dan masyarakat belum mampu memecahkannya.[butuh rujukan] Sekarang, setelah masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menggulangi kemiskinan, kemiskinan ramai diperbicangkan dan diseminarkan, karena dianggap sebagai masalah sosial.
  4. Pemecahan masalah tersebut harus diselesaikan melalui aksi secara kolektif.[1]
    Masalah sosial berbeda dengan masalah individual.[1] Masalah individual dapat diatasi secara individual, tetapi masalah sosial hanya dapat diatasi melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat multidimensional dan menyangkut banyak orang.[1]

Upaya pengendalian[sunting | sunting sumber]

  • Sosialisi
Fromm (1994) menyatakan bahwa jika suatu masyarakat ingin berfungsi secara efisien, maka anggotanya harus memiliki sifat yang membuat mereka ingin berbuat sesuai dengan apa yang harus mereka lakukan sebagai anggota masyarakat.[4] Mereka harus menghentikan kegiatan mereka secara obyektif perlu mereka melakukan. Orang dapat dikendalikan dengan mensosialisasikannya kepada mereka, sehingga mereka menjalankan peran sesuai dengan apa yang diharapkan.[4]
  • Tekanan sosial
Ketika seseorang mengalami tekanan keinginan dari sebuah masalah maka ini adalah sebuah proses yang berkisinambungan dan sebagian besar berlangsung tanpa disadari.[4] seseorang memilih menjadi seorang petani kecil, dan kemudian hanya berpandangan tentang partai Republik yang baik, tetapi berbeda ketika Dia mengalami tekanan dari partai ini, maka Ia akan memiliki haluan yang berbeda dengan pandangannya sebelumnya.[4] Hal ini akan sama saat keadaan dilakukannya penekanan pada masalah sosial melalui perubahan paradigma terhadap masalah tersebut.[4]

Kemunculan[sunting | sunting sumber]

Sebagai akibat dari perubahan sosial[sunting | sunting sumber]

Perubahan demografi (pertumbuhan atau pengurangan atau perubahan dalam susunan penduduk), perubahan ekologi (perubahan dalam relasi antara (penduduk dengan lingkungannya), perubahan kultural (perubahan dalam relasi untuk memproduksi hasil ciptaan manusia, termasuk perubahan teknologi, dan perubahan struktur (perubahan organisasi dan relasi-relasi sosial).[5] Perubahan-perubahan yang alami umumnya tidak banyak mendapatkan sorotan atau tanggapan karena dianggap wajar. Sedangkan perubahan yang terencana sering menimbulkan kritik tajam bila tidak menemukan apa yang diharapkan atau timbulnya masalah sosial akibat tidak sesuainya harapan dan kenyataan.[5]

Sebagai akibat dari pembangunan sosial[sunting | sunting sumber]

Pembangunan sosial adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana dan dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi.[6] Namun, ketika proses perubahan ini tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka tujuan dari pembangunan ini tidak akan terwujud, yang kemudian dapat menimbulkan masalah sosial bagi masyarakat yang menjadi target pembangunan ini.[6]

Berbagai bentuk masalah sosial[sunting | sunting sumber]

Kemiskinan[sunting | sunting sumber]

Kemiskinan merupakan keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri berdasarkan taraf kehidupan kelompok, dan tidak mampu memanfaatkan tenaga mental serta fisiknya dalam kelompok tersebut. Berdasarkan sejarah, keadaan kaya dan miskin bukan merupakan masalah sosial sampai ketika perdagangan mulai berkembang secara pesat dan memunculkan nilai-nilai baru. Melalui perkembangan perdagangan internasional dan diterapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial.[7]

Kejahatan[sunting | sunting sumber]

Sosiologi bependapat bahwa kejahatan timbul karena kondisi dan proses sosial yang sama, tetapi menimbulkan perilaku sosial yang berbeda. Kejahatan terbentuk melalui proses imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi diri, serta kekecewaan yang agresif. Perilaku jahat dipelajari melalui pergaulan dekat dengan pelaku kejahatan sebelumnya. E. H. Sutherland menyebutnya sebagai proses asosiasi diferensial, karena apa yang dipelajari dalam proses tersebut adalah akibat dari interaksi dengan pola perilaku jahat.

Kejahatan juga dapat dipicu oleh pola hidup konsumtif yang tidak diimbangi dengan produjtivitas. Kerja keras, kejujuran, dan kemandirian perlu dikembangkan dalam bermasyarakat agar kejahatan dapat dicegah.[7]

Disorganisasi Keluarga[sunting | sunting sumber]

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban sesuai dengan peran-peran sosialnya. Bentuk-bentuk disorganisasi keluarga adalah keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar nikah, buruknya komunikasi antar keluarga, perceraian, serta terganggunya mental salah seorang anggota keluarga.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Edi Suharto. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial,& Pekerja Sosial. Bandung: LSP STKS. Hal 153,154,155
  2. ^ Edi Suharto. 2011. Kebijakan sosial. Bandung: Alfabeta. Hal 10,11
  3. ^ Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial (PDF). Bandung: Ibnu Sina Press. hlm. 67. ISBN 978-602-99802-0-2. 
  4. ^ a b c d e Paul B.Horton. Chester L. Hunt. 1987. Sosiologi. Jakarta: ERLANGGA. Hal 177,178
  5. ^ a b T.Sumarnonugroho. 1987. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: PT.Hanindita. Hal 84,85
  6. ^ a b Isbandi Rukminto A. 2012. Intervensi Komunitas & Pengembangan Masyarakat. Jakarta: PT.Raja Grafindo. Hal 40
  7. ^ a b c Maryati, Kun,. Sosiologi : Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial untuk SMA/MA. 1, [Schülerband] Kelas X. Suryawati, Juju, (edisi ke-Kurikulum 2013, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah). Jakarta. ISBN 978-602-254-133-2. OCLC 958874384. , hlm. 69-70: Kemiskinan diartikan sebagi keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai taraf kehidupan kelompok, dan tidak mampu memanfaatkan tenaga mental ataupun fisiknya dalam kelompok tersebut.