Lulongganda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Lulongganda atau Lulo Ngganda adalah sebuah tradisi masyarakat suku Tolaki, desa Benua, kecamatan Benua, kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang merupakan warisan dari budaya leluhur mereka. Lulo berarti goyang dan Ngganda berasal dari kata kanda, sehingga Lulo Ngganda artinya goyang lulo yang diancang-ancang ke atas sambil mengikuti irama gendang. Masyarakat suku Tolaki di kecamatan Benua mempercayai bahwa tradisi ini telah ada sejak dunia pertama (atau sezaman dengan zaman sebelum Firaun).

Lulongganda dilaksanakan setahun sekali sebagai upacara pesta tahunan syukuran panen dengan harapan di tahun berikutnya akan menghasilkan panen yang lebih banyak dan memiliki 7 macam jenis gerakan, namun sekarang tertinggal 5 macam dan tradisi yang lazim dipakai di Benua hanya tinggal 3 macam lulo, yakni:

  1. Lulongganda Titiisu adalah dewa padi, yang mana merujuk kepada burung Titiisu yaitu jenis burung puyuh yang hidup di tengah-tengah padi saat musim padi hingga menjelang panen padi.
  2. Lulongganda Kolialiangako, adalah lulo saat kegiatan membuka hutan dimana hutan lebat dengan kayu-kayu besar jadi maksudnya kolialiangako adalah melewati kayu-kayu besar.
  3. Lulongganda Polerusi artinya adalah kalau kita bekerja keras maka kita akan mendapatkan hasil yang banyak
  4. Lulongganda Watolengga
  5. Lulongganda Leseahoa sudah tidak digunakan karena sudah tidak ada yang tau bagaimana prosesinya.

Pada 2021, tradisi ini dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat mengingat status kabupaten Konawe selatan masih memberlakukan pembatasan keramaian akibat pandemi Covid. Tradisi lisan seperti Moanggo, Metaenango, Tolea pabitara dan olah raga lokal seperti Modinggu dan Umoara juga akan dilaksanakan untuk memeriahkan tradisi tahunan ini.[1]

Pada tahun yang sama pula, tradisi ini mendapat label sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI bersama dengan 10 lainnya yang diusulkan.[2][3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Lulongganda merupakan tradisi yang muncul dari percampuran antara kepercayaan asli orang Tolaki terhadap Sangia (Dewa/Dewi) khususnya kepada Dewi Padi yang yang disebut dengan Sanggoleo Mbae, dengan agama Islam.

Pada awalnya, Lulo Ngganda menggunakan gendang-gendang tanah, kemudian berubah menjadi gendang yang dasarnya dari pelepah daun dan hingga sekarang menggunakan gendang kayu yang bernama poli’o. [4] Pada zaman dahulu Lulo Ngganda ini dilaksanakan siang dan malam hari secara terus menerus di bawah sinar bulan.

Prosesi[sunting | sunting sumber]

Ritual diadakan antara akhir september atau akhir oktober, dimana panen yang telah selesai di bulan agustus dan september. Kemudian pembukaan ladang berikutnya akan dilaksanakan pada bulan november tepat setelah lulongganda selesai dilakukan. Prosesi ini dilakukan selama tiga malam, yakni malam pertama adalah malam ke-13 bulan di langit, atau orang tolaki menyebut Tombaralenggea, malam kedua disebut Matamolambu dan malam ketiga adalah Mataumehe atau bulan purnama.[4] Lulo akan dilaksanakan pada malam hari sejak matahari terbenam hingga tengah malam.[5]

Hari pertama adalah prosesi diturunkannya kanda (sejenis tambur) pada sore hari menjelang matahari terbenam. Prosesi Lulonggada dimulai dengan berdoa kepada tuhan terkait harapan akan panen di tahun berikutnya yang akan dipimpin oleh Mbusehe. Malam kedua dan malam ketiga, ketiga jenis gerakan lulo akan silih berganti ditarikan.

Setelah tiga malam melakukan Lolongganda, selanjutnya adalah puncak dari ritual ini yaitu akan dilakukan Mosehe (upacara pensucian) sebagai upacara syukuran atas hasil panen melimpah yang didapat di tahun ini sekaligus membuang kesalahan yang kita perbuat di tahun-tahun lalu dan juga dengan maksud agar tanaman yang tidak menguntungkan di tahun-tahun lalu kita ganti dengan tanaman baru dengan harapan akan memberikan hasil panen terbaik. Pada hari ke-4 tersebut akan diturunkan Kanda dari rumah di pagi hari pada pukul 06.30, dilanjutkan dengan ritual Mosehe dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai kesenian dan olahraga tradisional.[6]

Kesenian yang ditampilkan adalah Ore-ore nggae atau Ore-ore nggawuna atau harmonika tangan yang terbuat dari bambu, Wuwuho yakni sejenis seruling dan Modinggu yakni menumbuk padi di lesung secara berdiri (Wohu tundoro) dengan menggunaka alu. Sedangkan olahraga tradisionalnya adalah Mehule atau bermain gasing, Kandau atau pencak silat, Metinggo atau egrang dan Mebiti atau adu betis. Setelah seluruh rangkaian acara ini selesai, kemudian dilaksanakan doa syukur dan diakhiri dengan makan bersama.

Trivia[sunting | sunting sumber]

  • Petani ladang desa Benua 73,30% tapi yang mengikuti Lulongganda pada hari terakhir mencapai 172,17% dari total 212 warga.
  • Lulonggada adalah satu-satunya ritual pasca panen yang masih dilaksanakan di Sulawesi Tenggara.
  • Terdapat pemahaman umum terkait hewan yang hadir di tengah ritual ini, yaitu ketika ritual tengah berlangsung, kehadiran Laba-laba dan semut hitam tidak disukai, sedangkan kehadiran rayap akan disukai. Sedangkan jika yang hadir adalah lalat, maka akan dianggap netral dengan anggapan salah satu sayap lalat adalah penawar racun.
  • Jika ritual ini berhasil, maka seorang pelaksana adat akan meminum pongasi dari 7 tabung bambu.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Muhamad, R. M. (2021-11-15). "Festival Budaya Tolaki Lulongganda Dihelat pada November di Konsel". Saatnya Rakyat Bicara. Diakses tanggal 2022-08-19. 
  2. ^ RRI 2022, LPP. "24 Warisan Budaya Tak Benda Sultra Dilabelkan Kemendikbudristek". rri.co.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-19. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Senong, Abdul. "Pemprov Sultra 2021 terima 11 warisan budaya tak benda". Antara News Sultra. Diakses tanggal 2022-08-19. 
  4. ^ a b "Setia Merawat Tradisi Lulongganda". Suarakendari.com. 2021-02-18. Diakses tanggal 2022-08-19. 
  5. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2022-08-19. 
  6. ^ Koodoh, Erens (2012). RITUAL LULONGGANDA. Makassar: BPNB Makassar.