Kebijakan pengungsi di Uni Eropa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kebijakan pengungsi di Uni Eropa berfungsi sebagai “payung” bagi negara-negara Uni Eropa untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi. Permasalahan pengungsi yang terjadi di beberapa negara Uni Eropa tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara penerima pengungsi saja, hal ini dikarenakan negara-negara Eropa telah terintegrasi dalam sebuah organisasi regional. Secara regional permasalahan pengungsi juga dibahas dalam beberapa agenda Uni Eropa. Uni Eropa telah menerima gelombang pengungsi dan imigran masuk ke wilayahnya sejak lama. Pada tahun 2013, Uni Eropa telah menerima 43,5% keseluruhan permohonan suaka di seluruh dunia.[1] Hal ini dilakukan karena Uni Eropa merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungi siapapun yang membutuhkan perlindungan seperti yang tercantum dalam Charter of Fundamental Rights European Union, serta kewajiban internasional sebagai hasil dari Konvensi Jenewa terhadap Status Pengungsi 1951.[2]

Struktur kerja sama Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Uni Eropa memiliki stuktur organisasi yang unik karena negara anggota tetap menjadi negara yang berdaulat tetapi bersedia mengabungkan kedaulatannya demi mendapatkan pengaruh yang cukup besar, maka dari itu Uni Eropa lebih dikenal dengan Organisasi Supranasional. Struktur organisasi Uni Eropa dipayungi oleh tiga pilar kerjasama yang dikenal dengan istilah The Three Pillars, yaitu:

  1. European Communities, merupakan pilar yang bertugas dalam mengatasi masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Pilar ini merupakan kerangka hukum yang mewadahi kebijakan yang berhubungan dengan pasar tunggal, perdagangan, internasional, bantuan pembangunan, kebijakan moneter, pertaniann, perikanan, lingkungan, pembangunan daerah, energi dan seterusnya. Uni Eropa berkewajiban menetapkan dan menerapkan secara bersama kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pilar ini bagi negara-negara anggotanya.
  2. Common Foreign and Security Policy (CFSP) adalah pilar yang berkonsentrasi dalam bidang pengambilan kebijakan/hubungan luar negeri. Uni Eropa memiliki kewenangan dalam menentukan/menyatukan kebijakan politik luar negeri dari negara-negara anggotanya dan kebijakan yang dikeluarkan/ditetapkan merupakan kebijakan bersama atas nama Uni Eropa. Pilar ini mempunyai dua fungsi yaitu, pertama berfungsi untuk mewujudkan kepentingan Uni Eropa sebagai organisasi internasional, dan fungsi kedua adalah menjadi perwakilan dari negara-negara angggotanya sebagai sebuah komunitas internasional. CSFP juga mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan kemiliteran.
  3. Cooperation in the Fields of Justice and Home Affairs (JHA), sebagai bagian yang memfokuskan diri pada hubungan kerjasama dalam mengatasi kasus-kasus kriminal. Pilar ketiga ini sekarang dikenal dengan istilah baru yaitu police and Judical co-operation Criminal Matter (PJCC) sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam Amsterdam Treaty dan The Treaty of Nice. Pilar ini menangani masalah kerjasama dibidang hukum perdata dan pidana, pengawasan perbatasan, pengawasan lalu lintas obat terlarang, kerjasama kepolisian, pertukaran informasi, dan kebijakan keimigrasian dan asylum. Pilar ini berfokus pada bidang keamanan negara-negara anggota.[3]

Ketiga pilar tersebut diarahkan pada tujuan-tujuan utama dan diatur menurut prinsip-prinsip dasar dan sebagian dengan satu kerangka institusi. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dianut Uni Eropa adalah menghargai identitas nasional anggota, demokrasi, dan menjunjung hak asasi manusia. Uni Eropa memiliki struktur organisasi yang cukup lengkap guna menyokong tiga pilar kerjasama diatas. Uni Eropa memiliki beberapa institusi khusus dengan fungsi yang lebih spesifik sehingga membantu memperlancar dan mendukung kinerja organisasi Uni Eropa. Setiap institusi yang ada di dalam Uni Eropa didasarkan pada traktat/perjanjian yang disepakati oleh semua negara anggota dan traktat tersebutlah yang menjadi dasar semua kebijakan/tindakan yang akan dilakukan oleh Uni Eropa.

Bentuk kerja sama Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Bentuk kerja sama Uni Eropa dalam menghadapi para pengungsi di Eropa merupakan kewajiban Uni Eropa sebagai induk organisasi yang ada di Eropa untuk mengurus wilayah Eropa dalam berbagai isu atau permasalahan yang ada di wilayah tersebut. Uni Eropa menyelesaikan permasalahan yang ada sesuai dengan tiga pilar utama Uni Eropa yang dimulai dari sektor ekonomi, sosial budaya, dan keamanan. Uni Eropa juga berkewajiban untuk membuat suatu kebijakan dengan tujuan untuk kebaikan sesama negara anggota yang ada di Uni Eropa. Permasalahan yang dibahas di Eropa dari dahulu hingga sekarang yang sulit diselesaikan adalah masalah pengungsi yang ada di Eropa. Permasalahan ini timbul karena pergerakan manusia yang dinamis terlebih di era globaliasasi seperti saat ini. Dengan adanya permasalahan ini membuat Uni Eropa sebagai induk organisasi di Eropa bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan membuat suatu kebijakan dalam bentuk Traktat atau pakta dengan kesepakatan bersama anggota Uni Eropa.

Uni Eropa mempunyai kewajiban dalam menerima setiap pengungsi yang masuk ke wilayah Eropa dan tidak diperbolehkan memulangkan kembali para pengungsi tersebut sebelum memproses permintaan para pengungsi tersebut. Oleh karena para anggota Uni Eropa telah ikut meratifikasi konvensi jenewa tahun 1951 tentang perlindungan pengungsi. Hal tersebut diwujudkan dengan membuat Common European Asylum System (CEAS) pada tahun 1999 yang berkewajiban mengawasi implementasi Konvensi 1951 di negara-negara anggota Uni Eropa sekaligus menjadi satu pintu kebijakan bersama terhadap pengungsi yang mencari suaka di Eropa. CEAS mengatur standar dan prosedur yang harus dilalui pencari suaka dalam mengajukan permintaan suakanya. Terdapat pula standar dan prosedur pemberian fasilitas bagi pencari suaka dan pengungsi. CEAS merupakan hasil rancangan legislatif dalam penanganan masalah pengungsi. Pada tahun 1999 hingga 2005 pengaturan ini menghasilkan beberapa ketentuan dalam penanganan masalah pengungsi.[4] Pengaturan mengenai solidaritas finansial yaitu European Refugee Fund, perlindungan pengungsi dalam Temporary Protection Directive, dan Family Reunification Directive merupakan hasil pengaturan yang dirancang CEAS, berikut adalah penjelasan nya:

a. European Refugee Fund, diaplikasikan dengan cara Uni Eropa membantu negara-negara anggota yang menghadapi masalah pengungsi agar konsistensi akses, keadilan, dan keefektifan prosedur pemberian suaka dapat terjamin.

b. Temporary Protection Directive, adalah sebuah tindakan perlindungan sementara yang diberikan kepada pengungsi dari negara-negara diluar Uni Eropa yang tidak dapat kembali ke negara asalnya. Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi disparitas kebijakan Uni Eropa dengan situasi gelombang pengungsi yang tinggi, serta mempromosikan solidaritas dan pembagian beban di antara negara Uni Eropa sebagai negara penerima pengungsi.

c. Family Reunification Directive, adalah sebuah kebijakan yang memungkinkan bagi keluarga pengungsi untuk disatukan kembali dengan beberapa syarat yang ada dan memungkinkan untuk dipertemukan. Pengaturan-pengaturan tersebut kemudian dijadikan rujukan bagi negara-negara Uni Eropa yang menghadapi masalah pengungsi baik yang berasal dari dalam kawasan maupun dari luar kawasan Eropa.

Uni Eropa memiliki nilai yang tinggi terhadap penanganan pengungsi baik dari segi finansial, perlakuan, hingga penyatuan keluarga pengungsi yang terpisah terlihat dari pengaturan-pengaturan yang ada diatas. Namun standar yang ada di dalam CEAS belum dapat diterapkan secara optimal oleh negara-negara anggota di Uni Eropa karena sifat dari CEAS tersebut yang hanya berbentuk rujukan awal dan negara-negara anggota masih memiliki wewenang untuk membuat kebijakan didalam negara mereka sendiri.[5]

Kebijakan Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Kebijakan Uni Eropa dalam menangani para pengungsi yang mencari suaka tertuang dalam undang-undang. Dalam Konvensi Dublin yang ditandangani pada Tahun 1990 dan baru berlaku pada Tahun 1997, dalam Undang-undang tersebut bagi para pengungsi yang datang ke wilayah Uni Eropa harus mengajukan suaka di negara pertama dia menginjakkan kakinya dan melindunginya sesuai dengan Konvensi Jenewa tahun 1951. Tujuannya supaya mereka tidak berpindah-pindah dan tidak menyulitkan negara Eropa yang lainnya. Konvensi Dublin ini bertujuan agar pemeriksaan suaka akan menjadi lebih efisien dan menghindarkan imigran ilegal masuk ke Uni Eropa. Pada tanggal 17 Juni 1997 Uni Eropa mengadakan pertemuan di Amsterdam dengan dihadiri oleh para Kepala Negara dan pemerintah dari 15 anggota Uni Eropa (European Council). Adapun dalam pertemuan tersebut bertujuan untuk merevisi Traktat Maastricht atau Traktat Uni Eropa pada tahun 1992. Kemudian dalam pertemuan tersebut menghasilkan sebuah traktat baru yaitu Traktat Amsterdam. Dalam traktat ini isu migrasi yang dibahas adalah:

  • Menambahkan Schengen Agreement ke dalam Traktat Maastricht (dengan pilihan opt-out bagi Inggris, Denmark dan Irlandia).
  • Menjadikan suaka, visa dan imigrasi sebagai kebijakan bersama (kecuali bagi Inggris dan Irlandia). Dalam waktu lima tahun, negara-negara anggota dapat memutuskan untuk penggunaan qualified majority voting.

Sejak diberlakukannnya perjanjian Amsterdam pada tahun 1999 Uni Eropa berusaha mengembangkan kompetensinya di bidang kebijakan pengungsi dan migrasi. Adapun kebijakan tersebut diimplementasikan melalui Tempere Programme (1999-2004) dan Hague Programme (2004-2009). Kedua program tersebut masih merupakan bagian dari Common European Asylum System (CEAS) yang dibuat untuk membangun dan mengimplementasikan kebijakan pengungsi dan migrasi di Uni Eropa. Tempere Programme (1999) merupakan program yang dibentuk untuk kebutuhan akan kebijakan migrasi dan pengungsi di Uni Eropa dengan melibatkan partnership dengan negara-negara asal terkait sistem pengungsi, temasuk perlakuan yang adil terhadap warga Negara Dunia Ketiga dan adanya manajemen arus migrasi bersama. Setelah terbentuk Tempere Programme pada tahun 2005 dibuatlah Hague Programme yang mengatur tentang tindakan Uni Eropa terhadap terorisme, pengelolaan migrasi, kebijakan visa, pengungsi, privasi dan keamanan, serta perlawanan terhadap tindak kejahatan yang terorganisasi.

Common Europe Asylum System (CEAS) merupakan salah satu regulasi yang dihasilkan oleh program Hague dan disusun dengan tujuan untuk menangani langsung bagaimana prosedural pengajuan suaka di wilayah Eropa. Dengan adanya sistem tersebut, Uni Eropa memberikan hak penuh kepada siapapun yang mengajukan suaka berdasarkan apa yang telah disepakati dalam Konvensi Jenewa, memastikan tidak akan ada satu orang pun yang akan diserahkan (atau dikembalikan) ke kondisi awal. CEAS juga mengatur bagaimana tanggung jawab setiap negara Uni Eropa terhadap prosedural aplikasi suaka yang adil dan efisien serta bertanggung jawab untuk mengeluarkan status pengungsi yang pantas kepada setiap orang yang membutuhkan perlindungan. Selain itu, sistem ini mengharuskan setiap negara anggota Uni Eropa menyelesaikan aplikasi suaka dalam kurun waktu satu tahun.

5 Prioritas Kebijakan[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2008 diberlakukan kebijakan terkait migrasi di Eropa yang disebut sebagai Strengthening the Global Approach to Migration yang hal ini juga merujuk pada A Common Immigration Policy for Europe dan The Pacton Immigration and Asylum, hal ini digagas oleh presiden Prancis yaitu Nikola Sarkozy dan diadopsi oleh Dewan Menteri pada Oktober 2008 Inti perjanjian ini adalah untuk mengatur lima prioritas: imigrasi legal dan integrasi, pengaturan imigrasi ilegal, pengaturan batas wilayah yang lebih efektif, sistem pemberian suaka Eropa, serta migrasi dan pembangunan. Pakta tersebut menentukan standar umum sekaligus dasar dalam membentuk kebijakan nasional setiap negara anggota Uni Eropa untuk migrasi. Pembentukan pakta ini didasari oleh kepentingan Uni Eropa dan perkembangan negara asal para imigran, sehingga keduanya dapat memberikan kontribusi masing-masing dan mendukung satu sama lain. Isi dari undang-undang tersebut adalah:

  1. Imigrasi legal: mengatur imigrasi legal yang di proses penerimaannya diatur sejajar dengan kemampuan atau kebutuhan negara-negara anggota Uni Eropa untuk menerima imigran, dan pemberlakuan kebijakan Blue Card yang diberikan kepada tenaga kerja yang ahli dan diberikan fasilitas yang sangat baik dari Uni Eropa.
  2. Imigrasi ilegal: mengurus para imigran yang melakukan imigrasi ilegal dengan cara mengembalikan mereka ke negara asal dengan melakukan program Return Directives. Serta meningkatkan kerjasama antara negara-negara anggota Uni Eropa dalam hal melawan perdagangan manusia (human trafficking), penerbangan bersama untuk repatriasi dan proses penerimaan kembali para imigran.
  3. Meningkatkan keamanan perbatasan yang di kelola oleh Frontex (Pasukan keamanan Uni Eropa khusus menangani imigran gelap)
  4. Membentuk Badan Suaka Eropa
  5. Melakukan pendekatan kerjasama dengan negara-negara dunia ketiga yang merupakan asal dari para imigran.

Dalam meningkatkan keamaanan Uni Eropa menghadapi imigran yang semakin banyak dibentuklah Frontex. Frontex merupakan Pasukan keamanan Uni Eropa khusus menangani imigran gelap sesuai dengan isi poin ke 3 diatas. Frontex merupakan pasukan khusus yang diharapkan dapat membendung laju imigran ilegal yang berdatangan ke Eropa. Frontex akan memberi latihan khusus kepada penjaga keamanan lain di negara-negara anggota yang paling banyak dilanda imigran gelap. Frontex dilengkapi dengan perlengkapan canggih di perbatasan dan sistem intelijensi yang bisa mengidentifikasi imigran ilegal. Uni Eropa juga bekerjasama dengan kepolisian setiap negara anggota Uni Eropa dalam menangani kasus imigran ini. Program ini disebut dengan Thematic Programme for Cooperation on Migration.

Ketidakmerataan pembagian kuota pengungsi di Eropa akhirnya pada tahun 2011 Uni Eropa membentuk Uni Eropa European Asylum Support Office (EASO), organisasi ini dibentuk untuk melindungi dan menangani masalah pengungsi di kawasan Eropa dan memperkuat implementasi Common European Asylum System (CEAS) (European Union, 2017). Ketidakmerataan jumlah pengungsi disetiap negara Eropa akan menjadi tugas dari EASO agar pembagian Kuota Imigran dibagi secara proposional. EASO bekerjasama dengan negara asal dan negara pihak ketiga untuk merelokasi pengungsi yang ada. Hal ini dilakukan agar pengungsi mendapatkan penanganan yang tepat. Selain itu juga permasalahan finansial negara penerima menjadikan alasan dilakukannya relokasi pengungsi agar tidak memberikan beban yang lebih banyak ke negara penerima imigran.

Selain mengangani permasalahan pengungsi secara Internal dengan negara-negara yang ada di Eropa, Uni Eropa juga bekerjasama dengan negara-negara yang berdekatan dengan wilayah Eropa untuk menanggulangi dan mengurangi dampak dari pengungsi yang masuk ke Eropa. Program ini disebut dengan European Neighbourhood Policy (ENP) (EEAS “European Neighbourhood Policy”, 2017). Kebijakan ENP ini dimaksudkan untuk membantu Negara-negara tetangga Uni Eropa agar mencapai kemakmuran. Hal tersebut dilakukan oleh Uni Eropa untuk membatasi masuknya pengungsi ke kawasan Eropa setelah banyaknya konflik yang terjadi dan perekonomian yang buruk di negara-negara tetangga Uni Eropa. Dalam program European Neighbourhood Policy (ENP), bukan hanya memperkuat kerjasama di bidang politik dan ekonomi saja, UE juga membuat kerjasama untuk meningkatkan sumber daya manusia agar negara-negara sekitar Uni Eropa dapat menghasilkan lebih banyak skilled worker. Kemudian pada tahun 2015, Uni Eropa beserta negara-negara di Afrika menghelat suatu konferensi di Valletta, Malta untuk membahas krisis migrasi yang terjadi. Konferensi ini dinamakan dengan Valletta Summit on Migration. Konferensi ini bertujuan untuk meminta kerjasama dari negara-negara Afrika untuk ikut membantu menangani krisis imigran di Laut Tengah dan hasil dari konferensi ini adalah adanya kebijakan Emergency Trust Fund dari Uni Eropa untuk memajukan negara-negara Afrika dan negara-negara Afrika diminta untuk dapat menarik kembali para pengungsi ke negara asalnya. Afrika juga diminta Uni Eropa untuk bekerjasama melawan perdagangan dan penyelundupan manusia yang semakin sering terjadi pada tahun 2015 di Laut Tengah.

Penganan UE terhadap Krisis Pengungsi di Eropa[sunting | sunting sumber]

Dalam sehari, 6.000 orang mendarat di pantai-pantai Eropa, (Menurut PBB)

Seiring banyanya pengungsi yang masuk ke Eropa, Uni Eropa menghadapi krisis pengungsi yang semakin meningkat terutama negara-negara penerima pengungsi awal yang kewalahan dalam menangani para pengungsi tersebut. Kegagalan EASO dalam membagi kuota para penerima imigran yang masuk membuat Uni Eropa selaku Organisasi di Eropa untuk membuat alternatif lain guna menghambat para pengungsi yang datang langsung ke Eropa agar keamanan di eropa tetap stabil. Akhirnya pada 7 Maret 2016 diadakanlah Konferensi Brussel yang dihadiri para 28 negara anggota Uni Eropa termasuk negara Turki. Menurut Komisaris Uni Eropa untuk urusan imigrasi, Dimitris Avramopoulos, kerjasama dengan Turki adalah tema kunci–sebuah kalimat yang bisa menjadi motountuk pertemuan kali ini. Pertemuan ini bertujuan untuk mengandeng Turki dalam kerjasama dalam membantu menanggani krisis pengungsi di Eropa. Namun, Turki tidak langsung menyepakati kesepakatan kerjasama dengan Uni Eropa. Salah satu alasannya karena kompensasi yang dijanjikan Uni Eropa terlalu rendah yakni sebanyak 2,7 miliar pounsterling (Kesepakatan Uni Eropa dan Turki soal migran resmi berlaku, 2016), padahal Turki sudah menghabiskan 7.3 miliar poundsterling. Akhirnya pada 20 Maret 2016 Uni Eropa dan Turki mencapai kesepakatan kerjasama tentang penanganan para pengungsi di Eropa.

Kuota untuk relokasi migran dan pengungsi[sunting | sunting sumber]

Pada Tahun 2015, Menteri dalam negeri negara-negara anggota Uni Eropa sepakat untuk merelokasi 120.000 pengungsi dan migran di seluruh benua Eropa. Dengan rencana ini, para pengungsi dan migran akan dipindahkan dari Italia, Yunani dan Hungaria ke negara-negara anggota EU lain. Romania, Republik Ceko, Slovakia dan Hungaria memberi suara "menolak" penetapan kuota minimum jumlah orang yang harus mereka terima. Namun mayoritas anggota Uni Eropa mendukung rencana yang akan efektif dalam dua tahun ke depan. Finlandia menjadi satu-satunya negara EU yang abstain. Polandia yang awalnya menolak usulan itu, akhirnya menyetujui. PBB megatakan hampir 480.000 orang telah tiba di Eropa melalui laut tahun ini, dan kini mereka mencapai pantai Eropa dengan jumlah sekitar 6.000 orang per hari.[6]

Peningkatan pendanaan untuk PBB[sunting | sunting sumber]

Para pemimpin Eropa sepakat untuk menganggarkan dana tambahan sebesar € 1 miliar atau sekitar Rp.16 triliun, untuk membantu badan-badan PBB menangani pengungsi Suriah di Timur Tengah. Ini merupakan bagian dari upaya baru untuk mengatasi krisis pengungsi di Uni Eropa. Bantuan-bantuan tambahan akan disalurkan ke negara-negara tetangga Suriah, yang merupakan tempat pengungsian jutaan warga Suriah sejak kekerasan meletus tahun 2011. Para pemimpin Uni Eropa sepakat untuk memperkuat perbatasan-perbatasan Uni Eropa dengan negara-negara non Uni Eropa. Ketua Dewan Eropa, Donald Tusk memperingatkan bahwa gelombang terbesar pengungsi dan pendatang baru akan terjadi. Pada Tahun 2015 tercatat Sekitar setengah juta pendatang telah tiba di Eropa, yang menimbulkan perbedaan yang sangat dalam antar negara-negara EU.[7]

Solidaritas Eropa sebagai solusi[sunting | sunting sumber]

Wakil Kanselir Jerman, Sigmar Gabriel dan mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Miliband, memberikan masukan tentang apa yang harus dilakukan Eropa untuk mengatasi krisis pengungsi. Keduanya memberikan pendapat sebagai solusi menangani krisis pengungsi di Eropa.

Wakil Kanselir dan Menteri Ekonomi Jerman, Sigmar Gabriel

"Kita membutuhkan sumbangan bersama oleh Eropa, Amerika dan negara-negara Arab buat membiayai institusi yang menyalurkan bantuan di lapangan. Selain itu konfrensi negara-negara donor harus membuat loncatan ke depan, agar bisa membantu rencana pembangunan kembali dan investasi di wilayah konflik. Melengkapi rencana tersebut, Eropa, Amerika Serikat atau Kanada harus turut membuka jalur yang aman dan legal buat pengungsi. Program migrasi, penetapan jumlah kontingen, penyatuan keluarga dan cara-cara lain harus dibuat agar mereka yang terusir tidak jatuh ke tangan penyelundup, dimanfaatkan, diperas, disiksa atau bahkan dilecehkan secara seksual. Beberapa negara sejauh ini telah membuktikan diri memiliki rasa kemanusiaan dengan menampung sejumlah besar pengungsi. Dalam satu pekan di bulan September, Jerman menerima lebih banyak pengungsi ketimbang kuota yang ditetapkan Inggris untuk waktu lima tahun".[8]

Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Miliband

"Kita membutuhkan pendekatan yang adil dan terkordinasi dari kepala negara dan pemerintahan Eropa. Untuk mengatasi krisis pengungsi kita harus melihat nasib mereka yang berhasil tiba di Eropa. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dilakukan negara-negara Uni Eropa. Yang pertama adalah menerima pengungsi di Eropa dengan kemanusiaan dan cara yang bermartabat. Uni Eropa harus menyediakan bantuan keuangan dan teknis buat menjalankan operasi kemanusiaan yang terkoordinir baik di kawasan selatan. Artinya, pendatang yang traumatis itu harus mendapat makanan, air dan bantuan medis. Bahwa mereka mendapat penginapan yang layak dan aman, serta memiliki akses sanitasi yang baik. Yang kedua Uni Eropa harus berhenti berpikir seakan-akan krisis pengungsi di Laut Tengah adalah urusan negara-negara di pesisir selatan. Hampir 245.000 pengungsi tiba di Yunani tahun ini dan 200.000 lainnya akan tiba sebelum Natal. Tapi sejauh ini negara-negara Uni Eropa cuma mampu menyepakati pembagian 120.000 pengungsi yang saat ini mendekam di Italia dan Yunani. Hal itu pun harus berubah. Rencana Juncker (Jean-Claude Juncker, Presiden Komisi Eropa) adalah langkah pertama menuju kuota pengungsi buat setiap negara. Rencanya itu patut mendapat dukungan".[9]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ The EU Explained: Migration and Asylum. European Comission Directorate-general for Communication. November 2014.
  2. ^ Refugees, United Nations High Commissioner for. "The 1951 Refugee Convention". UNHCR (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-17. 
  3. ^ "Three pillars of the European Union". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2018-03-16. 
  4. ^ Anonymous (2016-12-06). "Common European Asylum System - Migration and Home Affairs - European Commission". Migration and Home Affairs - European Commission (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-17. 
  5. ^ Wolf, Sarah (2015). Migration and Refugee Governance in the Mediterranean: Europe and International Organizations at a Crossroads. New-Med Research Network, Istituto Affari Internazionali,. 
  6. ^ http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150922_dunia_migran_eu
  7. ^ http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150924_dunia_bantuan_eu_pengungsi
  8. ^ (www.dw.com), Deutsche Welle. "Guest commentary: What Europe must do to solve the refugee crisis | DW | 04.10.2015". DW.COM (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-17. 
  9. ^ (www.dw.com), Deutsche Welle. "Guest commentary: What Europe must do to solve the refugee crisis | DW | 04.10.2015". DW.COM (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-17. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Roman, Emanuela. Mediterranean Flows into Europe. Refugees or Migran. University of Palermo. hlm. 2. 

United Nations High Commissioner for Refugees, UNHCR. Convention and protocol relating to the status of refugees. UNHCR - Communications and Public Information Service.  "Suntingan xxx dikembalikan ke revisi terakhir oleh yyy"