Kabuenga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kabuenga merupakan tradisi mencari pasangan hidup khas Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.[1] Tradisi ini bermula ketika kaum para pemuda maupun gadis setempat jarang mempunyai kesempatan bertemu.[2] Dahulu para pemuda sering berlayar untuk merantau atau lebih banyak di laut sehingga sulit bertemu dengan para gadis.[2] Karena itulah, para lelaki dan perempuan lajang kemudian dipertemukan dalam Tradisi Kabuenga.[2] Tradisi ritual Kabuenga yang dianggap mengandung nilai-nilai sakral oleh masyarakat Wakatobi, pada masa lampai digelar sekali dalam setahun, yakni pada setiap usai merayakan Hari Raya Idul Fitri.[3] Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sebagai momentum paling tepat menggelar tradisi Kabuenga karena pada hari besar umat Islam, masyarakat Wakatobi yang merantau di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri, pulang kampung atau mudik lebaran.[3]

Etnologi[sunting | sunting sumber]

Tradisi Kabuenga bermula pada legenda La Lili Alamu, putra mahkota kerajaan Kambode di Pulau Kapota, yang melatar belakangi tradisi masyarakat di kepulauan Wakatobi ini. Sebagai pria yang telah beranjak dewasa, La Lili Alamu merasa bahwa telah tiba waktunya bagi seorang wanita untuk bersanding dengannya. Niat ini pun di sampaikan kepada ayahnya, Raja Kambode.[4]

Di hadapan ayahnya, La Lili Alamu menyebut Wa Siogena, nama seorang wanita yang datang dari kalangan rakyat jelata. Bayangan Wa Siogena selalu ada di dalam pikiran, bahkan hadir dalam mimpi-mimpi sang putra raja ini. Mengetahui bahwa yang ingin dipinang anaknya adalah seorang wanita dari kalangan rakyat jelata, memuncak lah kemarahan sang Raja, tentu saja ayah La Lili Alamu menolak mentah-mentah rencana ini.[4]

Kekecewaan yang begitu mendalam meliputi hati La Lili Alamu. Timbullah keinginan nya untuk merantau ke tempat-tempat yang jauh. Sang ibu merestui, sang ayah pun merelakan nya dengan harapan putra nya akan melupakan pujaan hati nya, Wa Siogena. Tahun demi tahun telah berlalu, berbagai tempat pun telah di singgahi oleh La Lili Alamu, banyak sudah wanita yang di kenal nya namun Wa Siogena tetap tersimpan dalam ingatan dan sanubarinya.[4]

Sepulangnya La Lili Alamu dari tanah rantau, Raja Kambode mengadakan sayembara untuk mencari pasangan hidup bagi anak nya. Dikumpulkanlah wanita-wanita bangsawan dari penjuru negeri. Raja Kambode pun bertitah, “Putra ku akan memilih Sarung Leja buatan tangan kalian yang semuanya akan di kumpulkan di sebuah ayunan kain. Wanita yang memintal Sarung Leja yang terpilih oleh anak ku, maka dialah yang akan menjadi istrinya”.[4]

Sampai di sini akhir cerita dari kisah tradisional Wakatobi ini rasanya sudah bisa ditebak. La Lili Alamu memilih sarung buatan Wa Siogena yang terletak di bagian paling bawah tumpukan sarung-sarung leja yang semuanya tergantung di sebuah kain yang terikat bak ayunan. Raja Kambode pun tak dapat mengelak lagi, meski bukan keturunan bangsawan, jodoh sudah di tentukan. Maka menikah lah La Lili Alamu dengan Wa Siogena.[4]

Prosesi[sunting | sunting sumber]

Altar atau ayunan kabuenga lebih dulu dipersiapkan untuk menjadi media pertemuan bagi muda-mudi di kabupaten kepulauan itu saat tradisi Kabuenga dirayakan. Tradisi pencarian pasangan hidup yang dinanti-nantikan oleh seluruh masyarakat di kecamatan wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi ini selain telah menjadi ritual tahunan tradisi ini juga menyuguhkan tontotan unik dan menarik. Para pasangan muda-mudi yang selama ini tidak memiliki saluran untuk berkomunikasi melalui tradisi ini mereka secara langsung bisa saling bertemu dan menyatakan ikrar untuk menjadi pasangan hidup. Dalam tradisi kabuenga ini, kaum perempuan yang sudah akil balik berkumpul melingkari altar kabuenga sambil menggunakan pakaian adat khas wakatobi dan menyiapkan sajian makanan tradisional yang dihiasi dengan beragam aksesoris namun nilai naturalnya tetap terjaga. Tarian Pajoge yang diiringi irama gendang dan bunyi gong mengawali proses sakral ini. Selain kaum muda-mudi, kalangan orang tua juga memainkan tarian ini. Bagi laki-laki yang ikut serta dalam tarian ini, diwajibkan untuk merogoh kocek dan memberikan uang kepada kaum perempuan. Makna filosofis Tarian Pajoge ini, menceritakan kehidupan setiap kaum laki-laki di kabupaten Wakatobi yang sebagian besar hidupnya selalu menjadi perantau. Dalam perantauan, kaum laki-laki bernazar saat pulang kampung halaman wajib menyumbangkan sebagian pendapatannya kepada para penari-penari yang menyambutnya. Untuk mengiringi prosesi kabuenga, para pemangku adat kemudian mengelilingi ayunan kabuenga yang berdiri ditengah lapangan terbuka sambil mengalunkan irama lagu tradisional. Prosesi ini sebagai sebuah simbol penghayatan nilai-nilai sakral ritual ini yang melambangkan kekuatan jiwa dan kebersamaan masyarakat wakatobi.[5]

Proses selanjutnya, para kaum wanita baik tua dan muda berjalan bersama—sama mengelilingi altar kabuenga sebanyak 7 kali sambil melantunkan syair dan pantun serta membawa minuman ringan yang akan dipersembahkan kepada setiap laki-laki yang nantinya akan menjadi calon pasangan hidup kaum wanita didaerah ini. Selain dalam momentum seperti ini, biasanya tradisi balas pantun ini dilakukan saat memasuki puncak bulan purnama di mana para kaum wanita hanya berada di dalam rumah sedangkan kaum laki-laki hanya berada di luar rumah. Proses akulturasi masyarakat didaerah ini lambat laun telah mengubah tradisi kabuenga yang diwariskan oleh nenek moyang masyarakat di kepulauan wakatobi ini. Pencarian pasangan hidup tidak lagi dilakukan seperti dulu di mana seluruh prosesi harus dilakukan secara tertutup.[5]

Kini tradisi itu mulai berubah dan dilakukan secara terbuka. Meski demikian, tradisi ini tetap dianggap sakral karena tradisi ini tidak semata hanya menjadi ajang pencarian pasangan hidup, tetapi menjadi wahana untuk memperkuat nilai kebersamaan masyarakat di kepulauan wakatobi. Kaum perempuan yang berada dalam barisan ini disebut sebagai kelompok Kadandio. Setiap perempuan yang membawa minuman ringan dipersembahkan kepada seorang laki-laki yang diyakininya akan menjadi pasangan hidupnya. Dalam tradisi ini, setiap perempuan harus memperlihatkan prilaku sopan santun kepada seorang laki-laki yang akan mendapat suguhan minuman persembahan sang perempuan. Tradisi ini disebut sebagai Adat Posambui. Setelah kaum perempuan kini giliran kaum laki-laki yang mengelilingi altar kabuenga. Bila para kaum perempuan membawa minuman ringan para kaum laki-laki pun melakukan hal serupa, tetapi bedanya para laki-laki mempersembahkan beragam sajian makanan dan barang seperti sarung dan pakaian. Dalam prpses ini kaum laki-laki juga mengelilingi altar sebanyak 7 kali sambil melantunkan pantun.[5]

Setelah balas pantun antara kaum laki-laki dan perempuan digelar setiap laki-laki dan wanita yang telah mengikrarkan diri untuk menempuh pasangan hidup diantar menuju ayunan kabuenga. Setiap pasangan duduk di atas ayunan sambil diayun oleh pemangku adat yang sejak awal telah mengelilingi altar ini. Irama syair dan pantun yang dinyayikan oleh para pemangku adat terus bersahutan mengiringi setiap pasangan yang berada di atas ayunan. Khusus untuk perempuan ayunan kabuenga ini menjadi ajang penilaian bagi setiap laki-laki yang akan menjadi calon pasangan hidupnya. Calon laki-laki pasangan mereka masing-masing sudah bisa melihat apakah calonnya memiliki etika dan moral yang santun atau memiliki karakter yang lemah lembut termasuk sifat baik dan buruknya.[5]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ritual Kabuenga Diarsipkan 2016-03-05 di Wayback Machine. diakses 28 April 2015
  2. ^ a b c Kabuenga tradisi cari jodoh diakses 28 April 2015
  3. ^ a b Kabuenga tradisi leluhur masyarakat wakatobi diakses 28 April 2015
  4. ^ a b c d e Kabuenga diakses 28 April 2015
  5. ^ a b c d Prosesi Kabuenga Diarsipkan 2016-03-06 di Wayback Machine. diakses 28 April 2015