Intoleransi laktosa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Laktosa merupakan karbohidrat sederhana yang termasuk golongan disakarida. Laktosa banyak ditemukan dalam kandungan susu atau produk berbahan dasar susu.

Intoleransi laktosa (Inggris: Lactose intolerance) adalah kondisi di mana laktase, sebuah enzim yang diperlukan untuk mencerna laktosa, mengalami penurunan kemampuan. Terdapat berbagai variasi jumlah laktosa yang dapat ditoleransi oleh penderita intoleransi laktosa sebelum gejala berkembang lebih lanjut. Gejala mungkin terjadi di antaranya sakit perut, kembung, diare, dan mual yang biasanya timbul pada tiga puluh menit hingga dua jam setelah makan atau minum makanan berbahan dasar susu.[1] Intoleransi laktosa dapat terjadi pada bayi dan anak kecil dengan penyakit diare akut, meskipun signifikansi klinisnya terbatas kecuali pada anak yang terkena diare lebih parah. Gejala intoleransi laktosa relatif umum di antara anak-anak dan remaja yang lebih tua, tetapi, cedera usus terkait jarang ditemui.[2]

Intoleransi laktosa disebabkan karena kurangnya jumlah enzim laktase di usus kecil yang berfungsi untuk memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.[3] Terdapat beberapa jenis intoleransi laktosa, antara lain primer, sekunder, perkembangan, dan bawaan. Intoleransi laktosa primer terjadi karena jumlah laktase menurun seiring bertambahnya usia.[1] Intoleransi laktosa sekunder disebabkan karena adanya cedera pada usus kecil. Cedera tersebut dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit seliak, penyakit radang usus, atau penyakit lainnya.[4] Perkembangan intoleransi laktosa dapat terjadi pada bayi prematur dan biasanya membaik dalam waktu singkat. Intoleransi laktosa bawaan adalah kelainan genetik yang sangat langka di mana laktase diproduksi dengan jumlah sangat kecil atau bahkan tidak ada sejak lahir. Timbulnya intoleransi laktosa primer merupakan jenis yang paling umum, biasanya timbul pada akhir masa kanak-kanak atau dewasa awal, tetapi prevalensi meningkat seiring bertambahnya usia.[1]

Kebanyakan orang dewasa (sekitar 68% dari populasi dunia) dipengaruhi oleh malabsorpsi laktosa.[5] Kini, kecenderungan toleransi laktosa sangat bervariasi antardaerah dan kelompok etnis. Kemampuan untuk mencerna laktosa paling umum pada orang-orang keturunan Eropa, dan pada tingkat yang lebih rendah di beberapa bagian Timur Tengah dan Afrika. Budaya makanan tradisional mencerminkan variasi lokal dalam toleransi dan secara historis banyak masyarakat telah beradaptasi dengan tingkat toleransi yang rendah dengan membuat produk susu yang mengandung lebih sedikit laktosa daripada susu segar.[5][6]

Terminologi[sunting | sunting sumber]

Susu merupakan sumber gula laktosa dengan kadar yang cukup tinggi. Salah satu ciri penderita intoleran laktosa tidak dapat mencerna susu.

Intoleransi laktosa mengacu pada kelainan di mana seseorang mengalami satu atau lebih gejala pada konsumsi zat makanan yang mengandung laktosa, biasanya banyak ditemui pada susu. Setiap individu memiliki tingkat toleransi berbeda pada laktosa. Adapun tingkatan ini diidentifikasi dari besarnya gejala yang ditimbulkan. Malabsorpsi laktosa mengacu pada kekurangan laktase secara fisiologis (yaitu, tubuh tidak memiliki kapasitas laktase yang cukup untuk mencerna jumlah laktosa yang dicerna).[2]

Yogurt merupakan salah satu olahan susu dengan kadar laktosa lebih rendah karena adanya aktivitas bakteri asam laktat.[7]

Intoleransi laktosa bukan merupakan alergi, maka penderitanya tidak mengalami alergi susu atau produk susu. Alergi makanan disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh Anda yang akan bereaksi terhadap jenis makanan tertentu. Hal ini akan menyebabkan gejala seperti ruam maupun gatal. Apabila seseorang alergi sesuatu, maka partikel kecil saja cukup untuk memicu reaksi. Sementara kebanyakan orang dengan intoleransi laktosa masih dapat mengonsumsi laktosa dalam jumlah kecil tanpa mengalami masalah, meskipun hal ini bervariasi untuk setiap orang.[8]

Gejala[sunting | sunting sumber]

Karakteristik utama dari penderita intoleransi laktosa adalah reaksi yang tidak biasa terhadap produk yang mengandung laktosa (terutama susu), termasuk kram perut, perut kembung, diare, mual, perut keroncongan, dan muntah (terutama pada remaja). Reaksi ini biasanya muncul satu setengah hingga dua jam setelah mengonsumsi produk laktosa.[1] Tingkat keparahan tanda dan gejala ini biasanya meningkat seiring dengan jumlah laktosa yang dikonsumsi, di mana kebanyakan penderita intoleran laktosa dapat mentolerir tingkat laktosa tertentu dalam makanan mereka tanpa efek buruk.[9][10]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Intoleransi laktosa disebabkan oleh kekurangan laktase dalam tubuh. Laktase merupakan enzim yang diproduksi oleh usus kecil yang diperlukan untuk mencerna laktosa menjadi glukosa dan galaktosa, yang dapat dengan mudah diserap ke dalam aliran darah.[11] Penyakit pencernaan tertentu (seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit seliak), infeksi lambung atau usus, dan cedera pada usus kecil (seperti pembedahan, trauma, kemoterapi, atau terapi radiasi) dapat mengurangi jumlah laktase yang tersedia untuk memproses laktosa secara optimal. Jika usus kecil terluka, intoleransi laktosa mungkin bersifat sementara, gejala membaik setelah usus sembuh.[12]

Orang dengan intoleransi laktosa tidak menghasilkan laktase dengan jumlah yang cukup, sehingga laktosa tetap berada dalam sistem pencernaan dan kemudian difermentasi oleh bakteri. Bakteri di usus besar akan menguraikan laktosa untuk menghasilkan asam lemak dan gas, seperti karbon dioksida, hidrogen, dan metana. Pemecahan laktosa di usus besar, dan asam serta gas yang dihasilkan, menyebabkan gejala intoleransi laktosa seperti perut kembung dan kembung.[11]

Berdasarkan penyebabnya, intoleran laktosa dapat dibedakan sebagai berikut.

Intoleransi laktosa primer[sunting | sunting sumber]

Intoleransi laktosa primer adalah jenis paling umum dan sering ditemui. Tubuh kita biasanya berhenti membuat laktase sekitar usia 5 tahun (paling dini di usia 2 tahun untuk orang Afrika-Amerika). Saat kadar laktase menurun, produk susu menjadi lebih sulit dicerna. Orang dengan intoleransi laktosa primer memproduksi laktase dengan jumlah yang jauh lebih sedikit. Hal ini yang membuat produk susu sulit dicerna saat dewasa yang disebabkan oleh gen dan umum di antara orang-orang dengan latar belakang Afrika, Asia, Hispanik, Mediterania, dan Eropa selatan. Kondisi ini jarang ditemui bagi masyarakat yang berasal dari Eropa utara atau barat.[13]

Intoleransi laktosa sekunder[sunting | sunting sumber]

Intoleransi laktosa sekunder terjadi karena adanya cedera, penyakit, atau akibat dari proses operasi. Beberapa penyebab tersebut dapat mempengaruhi usus kecil hingga menyebabkan produksi laktase menjadi semakin sedikit. Penyakit seliak dan penyakit Crohn adalah dua penyakit usus paling umum yang terkait dengan laktase rendah.[13]

Intoleransi laktosa perkembangan[sunting | sunting sumber]

Intoleransi laktosa perkembangan terjadi pada bayi yang lahir prematur usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan ini diakibatkan karena fungsi brushborder di usus halus belum maksimal. Kondisi ini biasanya dapat hilang dengan sendirinya yang hanya berlangsung beberapa saat setelah lahir.[13][14]

Intoleransi laktosa kongenital[sunting | sunting sumber]

Intoleransi laktosa kongenital sangat jarang ditemui. Kondisi ini terjadi ketika tidak ada laktase (atau dalam jumlah yang sangat kecil) yang diproduksi oleh usus kecil sejak lahir. Jenis ini merupakan kelainan genetik, di mana kedua orang tua mewariskan gen tersebut kepada anak keturunannya.[13] Mutasi genetik yang bertanggung jawab atas defisiensi laktase kongenital diturunkan dalam pola pewarisan autosomal resesif. Hal ini berarti kedua orang tua harus memiliki salinan gen yang salah untuk meneruskan kondisi tersebut.[15]

Diagnosis[sunting | sunting sumber]

Untuk menilai intoleransi laktosa, fungsi usus diuji dengan mengonsumsi lebih banyak produk susu daripada jenis makanan lain. Gejala klinis biasanya muncul dalam waktu 30 menit hingga dua jam, tergantung pada makanan dan aktivitas lain. Variabilitas substansial dalam respon (gejala mual, kram, kembung, diare, dan perut kembung) diharapkan, karena tingkat dan tingkat keparahan intoleransi laktosa bervariasi antarindividu.[16]

Langkah selanjutnya adalah menentukan penyebab defisiensi laktase, apakah disebabkan oleh intoleransi primer atau penyakit yang mendasarinya sehingga menyebabkan defisiensi laktase sekunder. Diagnosis ini harus mengarah pada penyelidikan penyakit tertentu, seperti adanya penyakit seliak yang tidak terdiagnosis, penyakit Crohn, atau enteropati lainnya ketika dicurigai defisiensi laktase sekunder hingga gastroenteritis.[2]

Tes napas hidrogen[sunting | sunting sumber]

Tes napas hidrogen dapat dilakukan setelah pasien melakukan puasa selama semalam. Kemudian sebanyak 25 gram laktosa (dalam larutan dengan air) ditelan. Jika laktosa tidak dapat dicerna, bakteri enterik akan melakukan fermentasi dan menghasilkan hidrogen. Adanya produksi hidrogen bersama dengan metana dapat dideteksi pada napas pasien dengan kromatografi gas klinis atau detektor solid-state kompak. Tes ini memakan waktu sekitar 2,5 jam untuk mendapatkan hasilnya. Jika kadar hidrogen dalam napas pasien tinggi, mereka mungkin mengalami intoleransi laktosa. Tes ini biasanya tidak dilakukan pada bayi dan anak kecil, karena dapat menyebabkan diare parah.[17]

Tes toleransi laktosa[sunting | sunting sumber]

Tes toleransi laktosa digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah setiap 10 hingga 15 menit setelah konsumsi laktosa. Sebelumnya, pasien puasa semalam, kemudian 50 gram laktosa (dalam larutan air) dikonsumsi. Sampel darah diambil sebelum konsumsi laktosa dan setelahnya selama 30 menit, 1 jam, 2 jam, dan 3 jam. Jika laktosa tidak dapat dicerna, kadar glukosa darah akan naik kurang dari 20 mg/dl atau bahkan tidak menaik.[18][19] Konsensus Amerika Utara menyatakan bahwa tes kadar glukosa darah setelah konsumsi laktosa bergantung pada metabolisme glukosa dan kurang akurat.[20] Namun, tes toleransi laktosa ini membutuhkan sampel darah pasien yang harus diambil beberapa kali sehingga kini pendekatan ini sebagian besar telah digantikan oleh tes pernapasan.

Tes keasaman kotoran[sunting | sunting sumber]

Tes ini dapat digunakan untuk mendiagnosis intoleransi laktosa pada bayi, berbeda dengan bentuk tes lainnya yang berisiko atau tidak praktis.[21] Bayi diberikan laktosa untuk diminum. Jika individu toleran, laktosa dicerna dan diserap di usus kecil; jika tidak dicerna dan diserap, laktosa akan mencapai usus besar. Bakteri di usus besar, bercampur dengan laktosa, menyebabkan keasaman dalam feses. Feses yang dikeluarkan setelah konsumsi laktosa diuji tingkat keasamannya. Jika fesesnya asam, pH kurang dari 5,5, maka bayi tidak toleran terhadap laktosa.[22]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (2014). "Lactose Intolerance". web.archive.org. Archived from the original on 2016-10-25. Diakses tanggal 2022-01-15. 
  2. ^ a b c Heyman, Melvin B. (2006). "Lactose Intolerance in Infants, Children, and Adolescents". Pediatrics. 118 (3): 1280–1281. doi:10.1542/peds.2006-1721. ISSN 0031-4005. 
  3. ^ Malik, Talia F.; Panuganti, Kiran K. (2022). Lactose Intolerance. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. PMID 30335318. 
  4. ^ Canani, Roberto Berni; Pezzella, Vincenza; Amoroso, Antonio; Cozzolino, Tommaso; Di Scala, Carmen; Passariello, Annalisa (2016-03-10). "Diagnosing and Treating Intolerance to Carbohydrates in Children". Nutrients. 8 (157): 6. doi:10.3390/nu8030157. ISSN 2072-6643. PMC 4808885alt=Dapat diakses gratis. PMID 26978392. 
  5. ^ a b Storhaug, Christian Løvold; Fosse, Svein Kjetil; Fadnes, Lars T. (2017). "Country, regional, and global estimates for lactose malabsorption in adults: a systematic review and meta-analysis". The Lancet Gastroenterology & Hepatology (dalam bahasa English). 2 (10): 738–741. doi:10.1016/S2468-1253(17)30154-1. ISSN 2468-1253. PMID 28690131. 
  6. ^ Silanikove, Nissim; Leitner, Gabriel; Merin, Uzi (2015). "The Interrelationships between Lactose Intolerance and the Modern Dairy Industry: Global Perspectives in Evolutional and Historical Backgrounds". Nutrients. 7 (9): 7312–7313. doi:10.3390/nu7095340. ISSN 2072-6643. PMC 4586535alt=Dapat diakses gratis. PMID 26404364. 
  7. ^ Laksito, Dyah; Wijaya, Rizza; Amalia Nurfitriani, Rizki (2020-07-10). "Kadar Laktosa, Gula Reduksi, dan Nilai pH Yoghurt dengan Penambahan Bekatul Selama 15 Hari Penyimpanan Refrigerasi". Jurnal Ilmu Peternakan Terapan. 3: 41. doi:10.25047/jipt.v3i2.1914. 
  8. ^ NHS (2018). "Lactose intolerance". nhs.uk (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-15. 
  9. ^ Savaiano, Dennis A.; Levitt, Michael D. (1987-02-01). "Milk Intolerance and Microbe-Containing Dairy Foods". Journal of Dairy Science (dalam bahasa English). 70 (2): 398–400. doi:10.3168/jds.S0022-0302(87)80023-1. ISSN 0022-0302. PMID 3553256. 
  10. ^ Mądry, Edyta; Krasińska, Beata; Woźniewicz, Małgorzata; Drzymała-Czyż, Sławomira; Bobkowski, Waldemar; Torlińska, Teresa; Walkowiak, Jarosław (2011). "Tolerance of different dairy products in subjects with symptomatic lactose malabsorption due to adult type hypolactasia". Gastroenterology Review/Przegląd Gastroenterologiczny (dalam bahasa english). 6 (5): 310–312. doi:10.5114/pg.2011.25381. ISSN 1895-5770. 
  11. ^ a b NHS (2021). "Lactose intolerance symptoms and treatments". www.nhsinform.scot (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-15. 
  12. ^ Cleveland Clinic Medical Professional (2019). "Lactose Intolerance: Symptoms, Diagnosis & Treatments". Cleveland Clinic. Diakses tanggal 2022-01-15. 
  13. ^ a b c d Pathak, Neha (2021). "Could You Have Lactose Intolerance?". WebMD (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-15. 
  14. ^ Saputra, Gede (2019). "Intoleransi Laktosa : Variasi Pemeriksaan Penunjang dan Tatalaksana". Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. 6 (2): 122. doi:10.33024/jikk.v6i2.2260. 
  15. ^ NHS Choices (2016). "Lactose intolerance - Causes - NHS Choices". web.archive.org. Archived from the original on 2016-07-31. Diakses tanggal 2022-01-15. 
  16. ^ Bowen, Richard (2010). "Lactose Intolerance (Lactase Non-Persistence)". www.vivo.colostate.edu. Diakses tanggal 2022-01-16. 
  17. ^ DerSarkissian, Carol (2021). "Hydrogen Breath Test for Diagnosing Lactose Intolerance". WebMD (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-16. 
  18. ^ MedlinePlus (2011). "Lactose tolerance tests: MedlinePlus Medical Encyclopedia". medlineplus.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-16. 
  19. ^ Knott, Madeline (2020). "Lactose Tolerance Test". Healthline (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-16. 
  20. ^ Jones, Jerlyn (2021). "Lactose intolerance tests: Types explained". www.medicalnewstoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-21. 
  21. ^ NDDIC (2009). "Lactose Intolerance - National Digestive Diseases Information Clearinghouse". web.archive.org. Archived from the original on 2011-11-25. Diakses tanggal 2022-01-16. 
  22. ^ Jay W., Marks (2011). "Stool Acidity Test". Diakses tanggal 2022-01-16.