Candigaron, Sumowono, Semarang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Candigaron
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenSemarang
KecamatanSumowono
Kode Kemendagri33.22.09.2002
Luas709,595
Jumlah penduduk4656
Kepadatan-

Candigaron adalah desa di kecamatan Sumowono, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.

Geografis[sunting | sunting sumber]

Desa Candigaron merupakan salah satu dari 16 desa di wilayah Kecamatan Sumowonodengan jarak dari ibu kota Kabupaten kurang lebih 20 Km, dengan ketinggian 850 M dari permukaan laut. Topografi di wilayah ini bergelombang hingga berbukit, dengan kemiringan 15 hingga 30 persen. Tanah yang ada di desa ini mencakup jenis gromosol dan latosol.

Utara Desa Trayu
Timur Desa Lanjan
Selatan Kabupaten Temanggung
Barat Desa Kemitir

Luas keseluruhan wilayah Candigaron ialah 709,595 ha.

Kependudukan[sunting | sunting sumber]

Jumlah kesuluruhan penduduk di Desa Candigaron adalah1.355 KK, dengan laki-laki 2.282 orang dan perempuan sebanyak 2.374. jumlah kesuluruhan penduduk Desa Candigaron adalah 4.656.

Pembagian administratif[sunting | sunting sumber]

Terdapat enam dusun di desa ini, yaitu Semanding, Candi, Bodean, Delik, Garon, Jambe. Di desa ini, per tahun 2008, terdapat 11 rukun warga dan 35 rukun tetangga.

Legenda Desa[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke 17 pada masa kerajaan Mataram ada salah satu Pujangga Kerajaan yang bernama Ki Amat Munawar, beliau dianggap melakukan kesalahan karena tidak mengindahkan perintah Raja karena membaur dengan rakyat biasa untuk mendengar aspirasi rakyat Mataram. Karena dianggap memprovokasi rakyat untuk berani kepada Penguasa yang otoriter, Ki Amat Munawar diusir dan di kutuk oleh sang Penguasa, sehingga harus mengembara ke salah satu tempat dan diikuti sepasang anak buah yang bernama Ki Semi dan Nyai Semi.

Di tempat inilah Ki Amat Munawar membuat rumah sederhana yang dihuni bersama Ki Semi dan Nyi Semi dan juga membuka lahan pertanian. Namun setelah tinggal beberapa lama merasa kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan hidup sehari – hari, sehingga Ki Amat Munawar mengutus Ki Semi menggali tanah untuk dijadikan sumber mata air.

Setelah melalui proses tirakat, dan menemukan hari yang baik Ki Semi mulai melakukan penggalian tanah dengan menggunakan alat dari besi yang bernama Grenjeng. Di lokasi penggalian tanah selain ada air, ada juga tanah padas dan bebatuan yang diperkirakan peninggalan jaman Hindu yang bersamaan dengan pembuatan Candi Gedong Songo. Karena batu – batu tersebut bertuah, maka dikumpulkan oleh Ki Semi disuatu tempat yang membentuk Candi. Karena penggalian tanah menggunakan Grenjeng maka sampai sekarang tempat tersebut bernama Kali Segrenjeng, adapun bebatuan yang dikumpulkan karena membentuk sebuah candi maka sampai sekarang tempat tersebut diberi nama Dukuh Candi (Dusun Candi).

Air yang berasal dari Kali Segrenjeng selain untuk kebutuhan air bersih juga dialirkan ke tanah yang masih Bero (sampai sekarang bernama sawah Beran). Sejak saat itu tanah Beran dibuat persawahan oleh Ki Semi dan dibantu anaknya yang bernama Ki Rusmi. Tanah Beran selain untuk mengairi sawah juga sebagai makam Ki Semi dan Nyi Semi yang dipercaya sebagai Turkoyoso atau Bubak Cithak Dusun Candi, sedangkan Ki Amat Munawar meninggal dengan tidak meninggalkan jasad atau Murco yang dipercaya sebagai Danyang Dusun Candi dan Dusun Garon.

Mengingat aliran air Kali Segrenjeng hanya bisa untuk mengairi beberapa petak sawah saja maka Ki Semi dan Nyi Semi mengutus anaknya untuk mencari sumber air yang bisa mengaliri hamparan sawah yang luas. Sedangkan Sawah Beran diserahkan kepada seorang pengembara dari pesisir. Setelah menemukan saat yang tepat, berangkatlah Ki Rusmi ke suatu tempat, dan setelah beberapa hari Ki Rusmi melihat sumber mata air yang besar. Ditempat itulah Ki Rusmi klintar-klinter (mondar – mandir) melihat sumber air yang menakjubkan sehingga tempat tersebut diberi nama Sawah Klinter (Tanah Candigaron yang berada didekat Desa Lanjan).

Sejak saat itulah Ki Rusmi membuka lahan menggarap sawah dengan cara dilajo/dilanjo, sedangkan alat yang bernama Garu dan lumbung padi yang dititipkan disuatu tempat yang sekarang bernama Dusun Garon (alat Garu). Namun mengingat usia Ki Rusmi semakin senja sehingga beliau membuat rumah sederhana yang digunakan untuk istirahat dan dihuni sampai meninggal (tempat tersebut sampai sekarang bernama Desa lanjan yang artinya Lajo/lanjo dan beliau adalah Bubak Cithak Desa Lanjan.

Bersamaan dengan dibukanya lahan pertanian baik sawah maupun tegalan, datanglah pengembara dari daerah Pesisir (Kendal) dengan tidak mau menyebut nama, sehingga orang – orang menyebut Kyai Wadi (Wadi =Rahasia) yang konon setelah ditelusuri bernama Kyai Amat Muzamil. Dengan adanya lahan yang sudah ada maka Kyai Wadi mulai belajar bertani dengan meniru Ki Rusmi. Selain bertani Kyai Wadi yang dibantu oleh alur waris Ki Semi juga menata wilayah dengan membuat pusat pemerintahan / Kademangan dengan nama Candigaron karena paduan antara Candi dan Garon.

Setelah Kyai Wadi Wafat dimakamkan di Makam Sekencur yang dipercaya sebagai Bubak Cithak atau Turkoyoso Dusun Garon.

Seiring berjalannya waktu, bertambahnya penduduk dan adanya lahan yang cukup, maka banyak pengembara menetap di daerah Candigaron. Diantaranya adalah Pangeran Sangkrip atau Pangeran Pringgo Hadisuryo yang berasal dari Ngayogjakarto Hadiningrat karena dikejar oleh penjajah Belanda yang saat itu bercokol didaerah Mataram dan sekitarnya. Beliau datang bersama anak buahnya yang bernama Ki Condro Manik dan R Bagus yang kemudian menetap didaerah tersebut yang saat itu masih menjadi belantara pohon jambe yang tidak berbuah.

Setelah beberapa bulan menetap beliau mempunyai dua orang anak yang bernama R Sebrani dan R Ragil Wuryaningsih. Namun keduanya setelah dewasa mengembara dengan tidak diketahui keberadaannya. Disekitar hutan Jambe R Bagus melakukan bertapa yang dijaga oleh seekor kepiting penjelmaan jin , namun dalam melakukan pertapaan beliau selalu terusik dan merasa terganggu oleh orang – orang wanita yang sedang Nutu maupun nyapu , sehingga R Bagus marah lalu mengutuk kalau tempat tersebut akan banyak janda dan apabila daerah tersebut ditanami buah – buahan akan tidak berbuah dibuktikan dengan peninggalan batu yang bernama Watu Dudo.

Dikarenakan Beliau membuka hutan pohon jambe, maka tempat tersebut diberi nama Dukuh Jambe. Hampir bersamaan waktu datang juga pengembara yang konon saudara dari Pangeran Sangkrip yang bernama Ki Pandan Murti dan Ki Seco Kusumo Diwongso. Kedua orang tersebut sering melakukan semedi, tirakat dan bertapa di sebuah batu batu semabari bertanam pohon Gode. Karena tempat tersebut banyak pohon Gode maka tempat tersebut diberi nama Godean, namun penduduk sekitar menyebutnya dengan sebutan Bodean karena salah mengucapkan. Maka sampai sekarang di Dusun Bodean selalu ada warga yang cidal atau ngomong tidak jelas.

Dalam proses tirakat / ritual Ki Pandan Murti dan Ki Seco Kusumo Diwongso mendapatkan banyak pengikut. Saat menjelang ajal Ki Pandan Murti meminta jazadnya untuk dimakamkan di sebelah Batu Putih, namun karena tempat tersebut amat disakralkan maka diputuskan untuk dimakamkan kearah timur utara dari tempat tersebut dengan cara sembunyi – sembunyi atau ndelik yang akhirnya tempat tersebut diberi nama Dukuh Delik.

Disisi yang lain tepatnya 4 km sebelah barat dusun Delik ada pengembara seorang prajurit Mataram Ki Dermo Yudho dan istrinya yang bernama Nyi Gadung Melati. Beliau dianggap oleh warga sekitar bisa memimpin dan mengayomi warga sekitar dalam segala hal. Karena kedekatannya antara masyarakat dengan pemimpinnya yang selalu sumanding , maka tempat tersebut diberi nama Dusun Semanding yang artinya Sanding atau dekat. Pada Saat Ki Dermo Yudho Wafat dimakamkan di Dusun Semanding dan Nyi Gadung Melati Dimakamkan di Dusun Kalisat.

Sampai sekarang Ki Dermo Yudho dipercaya menjadi Bubak Cithak atau Turkoyoso Dusun Semanding dan Nyi Gadung Melati sebagai Bubak Cithak dan Turkoyoso Dusun Kalisat.