Anjing menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Anjing menurut Islam adalah salah satu hewan ciptaan Allah yang tubuhnya bersifat najis. Karena status ini, daging anjing haram untuk dimakan dan diperjualbelikan. Anjing menurut sebagian besar pendapat ulama merupakan harta yang tidak bernilai dalam pembagian harta, kecuali dalam pendapat Mazhab Hanafi. Anjing sebagai hewan pemburu oleh manusia dapat diberi makan dengan bangkai.

Di dalam Al-Qur'an terdapa beberapa ayat yang mengisahkan tentang anjing. Salah satunya pada kisah Ashabul Kahfi dalam Surah Al-Kahf. Sementara dalam hadis terdapat satu kisah mengenai seseorang yang menerima ampunan dari Allah sampai dimasukkan ke dalam surga karena memberi minum anjing yang sedang kehausan. Sementara itu, Allah mempermisalkan manusia dengan anjing dalam Surah Al-A'raf ayat 176 ketika manusia lalai dalam menunaikan tugasnya untuk ibadah dan menjadi khalifah di Bumi.

Status hukum dalam fikih[sunting | sunting sumber]

Kenajisan[sunting | sunting sumber]

Dalam hadis periwayat Abu Hurairah diketahui bahwa air liur anjing bersifat najis. Riwayatnya menyatakan bahwa Muhammad memerintahkan untuk menyucikan bejana yang telah dijilat oleh anjing. Jumlah bilasannya sebanyak tujuh kali dengan bilasan pertama menggunakan tanah dan bilasan lainnya menggunakan air.[1]  

Kenajisan anjing oleh para imam mazhab terbagi menjadi tiga pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing tidak najis. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian tubuh anjing yang najis hanya air liurnya saja. Sedangkan bulu anjing tidak najis. Di sisi lain, imam Syafi'i dan Imam Hambali menyepakati bahwa seluruh tubuh anjing adalah najis berat termasuk air liur dan keringatnya. Kedua imam ini meluaskan kenajisan anjing hingga hewan yang mengadakan perkawinan dengan anjing turut menjadi najis. Kenajisan anjing oleh imam Syafi'i dan imam Hambali disucikan dengan mencuci dengan air sebanyak enam kali dan menambahkan satu kali cucian dengan tanah. Pendapat kedua mazhab ini didasari oleh kemungkinan munculnya air liur anjing yang hukumnya harus berasal dari mulut dan tubuh anjing. Sehingga badan anjing juga bersifat najis. Semua cairan yang keluar dari tubuh anjing kemudain bersifat najis pula baik itu kencing, kotoran dan keringatnya.[2]

Pendapat kenajisan tubuh anjing oleh imam Syafi'i dan imam Hambali membuat keduanya berpendapat bahwa penyucian bekas jilatan anjing pada bejana harus melalui pembilasan sebanyak tujuh kali. Sementara pendapat kenajisan anjing oleh Imam Abu Hanifah membuat penyucian bejana yang terkena jilatan anjing dapat dilakukan hanya sekali bilas jika diyakini telah suci dan dapat hingga dua puluh kali bilas jika diyakini bahwa najis belum hilang. Sementara itu, Imam Malik yang meyakini bahwa anjing dan bekas jilatannya tidak najis hanya berpendapat bahwa membersihkan bejana yang telah dijilat oleh anjing hanya sebagai ibadah saja.[3]

Dalam pendapat bahwa air liur anjing merupakan najis berat, maka pembersihannya mengandung nilai irasional berkaitan dengan ibadah. Karena pembersihannya hanya dapat menggunakan tanah dan tidak menggunakan teknologi bahan pembersih modern misalnya produk deterjen. Nilai irasional ini muncul karena status tanah sebagai alat bersuci tidak dapat digantikan sama sekali dengan deterjen. Dalam perkara ini, ijtihad oleh manusia tidak dapat berlaku sama sekali.[4]

Keharaman[sunting | sunting sumber]

Anjing merupakan salah satu jenis makanan yang diharamkan untuk dimakan dalam ajaran Islam.[5] Pengharaman untuk memakan anjing karena disepakati oleh sebagian besar ulama bahwa anjing termasuk hewan buas yang memiliki taring yang digunakan untuk memangsa. Keharaman hewan buas bertaring ini dilandasi oleh hadis dalam Shahih Muslim melalui periwayatan Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa semua hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.[6]

Pengharaman anjing sebagai makanan juga karena sifat air liur anjing yang ditetapkan sebagai najis.[7] Pengharaman daging anjing statusnya sama dengan babi. Alasannya adalah terdapat banyak mafsadat dan mudarat di dalam daging anjing menurut ajaran Islam.[8]

Kedudukan[sunting | sunting sumber]

Kedudukan sebagai harta[sunting | sunting sumber]

Anjing dalam konteks pembagian harta dikategorikan oleh para fukaha sebagai harta yang tidak bernilai. Ketidakbernilaian anjing sebagai harta berkaitan dengan larangan menurut sariat Islam atas  jenis, cara memperoleh dan pemanfaatannya. Anjing hanya dikecualikan sebagai harta yang tidak bernilai pada kondisi darurat. Kedudukan anjing sebagai harta tidak bernilai sama dengan arak dan babi. Selain itu, kedudukan anjing sebagai harta yang tidak bernilai sama dengan barang halal yang diperoleh dengan cara dzalim atau beramal dengan harta yang didapatkan dengan cara haram. Kedudukan ini membuat setiap akad yang dilakukan atas anjing mengalai pembatalan atau dianggap tidak sah.[9]

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa anjing secara zatnya sudah haram. Sehingga kepemilikan anjing oleh non-muslim termasuk pula sebagai harta yang tidak bernilai. Penghilangan anjing dalam pendapat ini tidak perlu melakukan ganti rugi. Namun dalam Mazhab Hanafi, setiap muslim wajib mengganti kerugian akibat penghilangan harta tak bernilai milik non-muslim yang termasuk kaum Dzimmi termasuk di dalamnya yakni anjing. Karena dalam pandangan ini, harta yang tidak bernilai bagi muslim memiliki nilai guna bagi dzimmi.[10]   

Karena zat daging anjing yang haram dan najis, maka penjualan daging anjing juga menjadi haram untuk dilakukan.[11] Sebuah hadis periwayatan Jabir bin Abdullah dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menyebutkan bahwa Muhammad sebagai utusan Allah menetapkan pengharaman atas penjualan arak, bangkai, anjing dan babi. Sebuah hadis lainnya menyebutkan pengecualian penjualan anjing bagi anjing pemburu.[12] Hanya dalam Mazhab Hanafi yang memperbolehkan anjing sebagai objek akad karena menganggapnya bukan sebagai harta yang tidak bernilai.[13]

Penjualan anjing untuk kemudian dimanfaatkan uang hasil penjualannya dianggap sama dengan memakan anjing itu sendiri. Ini didasari oleh pendapat bahwa memakan hasil penjualan dari makanan yang najis sama saja dengan memakan makanan najis tersebut. Pendapat ini didasari oleh hasid yang disebutkan dalam Musnad Ahmad yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan sesuatu untuk dimakan, maka haram pula hasil penjualannya.[14]

Kedudukan sebagai peliharaan[sunting | sunting sumber]

Ijmak ulama menetapkan bahwa bangkai dapat diberikan sebagai makanan bagi anjing pemburu. Pemberiannya dapat dilakukan oleh orang yang menjadikan anjing tersebut sebagai anjing pemburu.[15]

Pengisahan[sunting | sunting sumber]

Kisah Ashabul Kahfi[sunting | sunting sumber]

Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an menyebutkan tentang anjing. Penyebutan anjing secara serangkai salah satunya dalam kisah Ashabul Kahfi atau para penghuni gua. Kisah ini disebtukan  dalam Surah Al-Kahf ayat 18.[16]

Hadis memberi minum anjing yang kehausan[sunting | sunting sumber]

Hadis memberi minum anjing yang kehausan diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dalam hadis ini dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang memberi minum seekor anjing yang kehausan. Laki-laki ini awalnya mengambil air dari sumur untuk diminum sendiri karena ia juga kehausan. Setelah keluar dari sumur, laki-laki tersebut melihat anjing yang memakan tanah basah dan mengira bahwa anjing tersebut juga kehausan. Karena itu, ia turun lagi ke dalam sumur untuk mengambilkan air bagi anjing tersebut. Anjing tersebut kemudian meminum air pemberian si laki-laki. Karena perbuatan ini, Allah memberikan rahmat dan mengampuni dosa-dosa si laki-laki. Dalam riwayat lain, dinyatakan bahwa Allah memasukkan si laki-laki ke dalam surga.[17]

Dalam kitab Riyâdh al-Shâlihîn, diriwayatkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa pemberi minum anjing yang kehausan bukanlah seorang laki-laki. Pemberi minumnya adalah seorang perempuan Yahudi yang bekerja sebagai pelacur.[18] Pemberian minum kepada anjing yang kehausan diberi balasan berupa surga karena ini merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada hewan.[19] Perbuatan ini merupakan bagian dari bersikap ramah kepada semua makhluk ciptaan Allah yang ada di permukaan Bumi.[20]

Kitab Fath al-Bâri` karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî dan Syarh Shahîh Muslim oleh Imam al-Nawawî memuat sebuah hadis mengenai seseorang yang memberi minum anjing yang kehausan. Hadis ini ditafsirkan sebagai perintah untuk berbuat baik kepada hewan. Namun kedua kitab ini memberikan batasan mengenai sasaran perbuatan baik kepada makhluk hidup lainnya termasuk hewan. Hewan yang dapat berbuat baik terhadapnya hanyalah hewan yang dihromati dan yang tidak menyebabkan kemudaratan bagi manusia. Anjing yang dalam kondisi gila tidak termasuk di dalamnya karena ada peluang untuk menggigit manusia.[21]

Bagi anjing gila atau anjing hitam yang sifatnya membahayakan manusia, syariat Islam menganjurkan untuk membunuhnya.[22] Ketentuan ini disebutkan dalam sebuah hadis pada Shahih Muslim yang berasal dari periwayatan Aisyah.[23]

Permisalan[sunting | sunting sumber]

Anjing merupakan salah satu dari bermacam-macam permisalan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Permisalan sebagai anjing diberikan kepada manusia yang tidak menunaikan tugasnya sebagai khalifah dan tugasnya untuk melaksanakan ibadah. Dalam Al-Qur'an, permisalan manusia seperti anjing disebutkan dalam Surah Al-A'raf ayat 176.[24] Dalam ayat ini, sikap anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dijadikan sebagai perumpamaan bagi manusia yang cenderung memilih kehidupan dunia dan menuruti hawa nafsunya.[25]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Abror 2019, hlm. 29.
  2. ^ Abror 2019, hlm. 30.
  3. ^ Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Hasyimi: Bandung. hlm. 14. ISBN 978-602-9715-73-6. 
  4. ^ Usman, S., dan Itang (2015). Arifin, M. Nur, ed. Filsafat Hukum Islam (PDF). Serang: Penerbit Laksita Indonesia. hlm. 80. ISBN 978-602-72411-9-0. 
  5. ^ Hanapia, A. Y., dkk. (2019). Penerapan Ekonomi Islam dalam Era Disruptif. Medan: Perdana Publishing. hlm. 64. ISBN 978-623-7160-47-2. 
  6. ^ Sabir U., dkk. 2023, hlm. 18.
  7. ^ Sabir U., dkk. 2023, hlm. 14.
  8. ^ Jamali (2021). Integritas Moral Pembentuk Karakter Sosial (PDF). Cirebon: CV. Aksara Satu. hlm. 81. ISBN 978-623-6051-00-9. 
  9. ^ Nurliana 2021, hlm. 102.
  10. ^ Nurliana 2021, hlm. 102-103.
  11. ^ Darmawan (2022). Manajemen Keuangan Syariah. Yogyakarta: UNY Press. hlm. 34. ISBN 978-602-498-351-2. 
  12. ^ Abdullah 2020, hlm. 79.
  13. ^ Abdullah 2020, hlm. 50.
  14. ^ Nurliana, Ulya, M., dan Sukiyat (2020). Hadis-Hadis Muamalah. Yogyakarta: Kalimedia. hlm. 28. 
  15. ^ Abdullah 2020, hlm. 105.
  16. ^ Fajar, Dinar Maftukh (ed.). Bunga Rampai Integrasi-Interkoneksi Sains dan Islam dalam Perspektif Pembelajaran Sains (PDF). Malang: CV. Pustaka Learning Center. hlm. 23. ISBN 978-623-94128-3-8. 
  17. ^ Dosen UIN Antasari 2020, hlm. 85.
  18. ^ Dosen UIN Antasari 2020, hlm. 85-86.
  19. ^ Rohidin (2016). Nasrudin, M., ed. Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia (PDF). Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books. hlm. 37. ISBN 978-602-7802-30-8. 
  20. ^ Rohidin (2018). Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia (PDF). Yogyakarta: FH UII Press. hlm. 54. ISBN 978-602-7802-30-8. 
  21. ^ Dosen UIN Antasari 2020, hlm. 86.
  22. ^ Saproni (2015). Panduan Praktis Akhlak Seorang Muslim. Bogor: CV. Bina Karya Utama. hlm. 59. ISBN 978-602-72023-0-6. 
  23. ^ Sabir U., dkk. 2023, hlm. 18-19.
  24. ^ Burhanuddin TR 2016, hlm. 115.
  25. ^ Burhanuddin TR 2016, hlm. 81.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Sabir U., dkk. (2023). Abusiri, ed. Makanan, Minuman dan Penyembelihan (PDF). Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia.