Alstonia beatricis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Alstonia beatricis
Status konservasi
Rentan
IUCN37334
Taksonomi
DivisiTracheophyta
SubdivisiSpermatophytes
KladAngiospermae
Kladmesangiosperms
Kladeudicots
Kladcore eudicots
Kladasterids
Kladlamiids
OrdoGentianales
FamiliApocynaceae
SubfamiliRauvolfioideae
TribusAlstonieae
GenusAlstonia
SpesiesAlstonia beatricis
Sidiy., 1996

Alstonia beatricis (dikenal sebagai Pule Waigeo; memiliki sinonim Alstonia sp.) yang termasuk ke dalam suku Apocynaceae merupakan tumbuhan obat berkhasiat. Terdiri dari 40 jenis Genus Alstonia yang tersebar meliputi lima belas jenis di daerah pasifik, empat jenis di daerah Australia, dua berasal dari daerah Afrika, dua belas jenis di Malesiana dan sisanya di Asia. Terdapat getah pada kayu dan kulit yang digunakan sebagai obat tradisional seperti obat mata, malaria, bahan obat penenang, penyakit diare dan disentri.[1]

Definisi umum[sunting | sunting sumber]

Pulau Waigeo merupakan bagian dari Kabupaten Raja Ampat dan salah satu pulau besar dari tiga pulau lainnya, yaitu Pulau Misool dan Pulau Salawati. Dari segi keanekaragaman floranya, Pulau Waigeo mempunyai kekayaan tumbuhan endemik yang sangat penting.[2] Tumbuhan di Pulau Waigeo sangat tinggi keanekaragamannya dikarenakan tingginya jenis-jenis tumbuhan endemik, seperti salah satunya Alstonia beatricis.

Mempunyai nama lokal Pule Waigeo (Alstonia beatricis) adalah spesies tumbuhan yang tergolong famili Apocynaceae [3], yang hanya ditemukan Pulau Waigio Raja Ampat. Alstonia beatricis merupakan salah satu endemik Papua Barat Daya (Indonesia). Suatu jenis tumbuhan dikatakan endemik apabila keberadaannya unik di suatu tempat atau wilayah dan tidak ditemukan di wilayah lain secara alami. Istilah ini biasanya diterapkan pada unit geografi suatu pulau atau kelompok pulau, tetapi kadang-kadang dapat berupa negara, tipe habitat atau wilayah [4]. Sedangkan Yuzammi dan Hidayat (2002) membatasi tumbuhan unik dan endemik sebagai jenis-jenis tumbuhan yang tiada duanya, langka dan tidak ada di tempat lain selain di lokasi tertentu saja[5].

Menurut hasil penelitian, Koordinator Program Raja Ampat Botanist Fauna dan Flora International (FFI) mengatakan bahwa beberapa pohon hanya tumbuh di Kabupaten Raja Ampat, tidak ada di belahan dunia manapun selain di Indonesia. Pohon khusus Raja Ampat yang pertama, dinamakan Alstonia beatricis, biasanya masyarakat setempat menyebutnya pohon kayu susu. Pohon ini juga belum dikenal banyak orang, manfaat saat ini yang dapat diambil dari pohon kayu susu yaitu untuk keperluan budaya setempat diambil dari hasil budidaya dan belum ada penelitian lebih lanjut tentang manfaat lain dari pohon Alstonia beatricis. [6]

Morfologi[sunting | sunting sumber]

Alstonia beatricis adalah pohon yang memiliki getah putih hidup di tanah kapur dengan penyebaran sekitar 100 dari permukaan laut. Alstonia beatricis (Pule Waigeo) termasuk spesies yang terancam punah. Pule Waigeo dijumpai hanya di puncak-puncak bukit tertentu di Pulau Waigeo. Ia merupakan pohon kecil yang masih berkerabat dengan pule (Alstonia scholaris) dan menyukai habitat yang relatif kering dan agak terbuka.[7]

Ukuran pohon kecil tinggi 5 m dengan dbh 3 cm dan Branchlets gundul. Daun berwarna hijau kekuningan di atas, lebih terang di bawah. Daun berbentuk ovale, panjang bunga 3 - 6,5 cm dan berbunga banyak. Warna bunga putih dengan bentuk sepal, turbinat 1,7 kali 1 mm, puncak membulat, bersilia, puber lembut kecuali pada bagian yang menyatu di dalam, tegak, mengkilap ketika dikeringkan. Kulit kayu dengan banyak jus putih susu.[8]

Habitat

Kelompok tumbuhan di Papua termasuk dalam kelompok vegetasi hutan hujan tropis. Kelompok ini merupakan wilayah yang memiliki habitat lebat, selalu hijau sepanjang tahun, tidak mengalami musim gugur, terdiri dari berbagai jenis pohon yang variatif dan ketinggian pohonnya ada yang mencapai 60 meter. Papua memiliki lingkungan habitat dengan wilayah vegetasi (kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan) terlengkap di Asia-Pasifik. Salah satu dari tumbuhan berkayu di papua yang termasuk langka,terancam punah ,endemik (LTE) adalah Alstonia beatricis. Pohon yang hanya ditemukan di Pulau Waigeo, Raja Ampat.[9]

Setiap Pulau Raja Ampat memiliki karakteristik tersendiri, terutama dalam hal komposisi vegetasi dan tipe habitat. Lima spesies yang ditemukan adalah endemik Pulau Waigeo ( Guioa waigeoensis, Alstonia beatricis, Calophyllum parvifolium, Schefflera apiculata, dan Nepenthes danseri) dan 42 spesies endemik New Guinea. Kelima spesies endemik tersebut telah dianggap terancam oleh IUCN. Alstonia beatricis menyukai habitat yang kering dan relatif terbuka.[10] Alstonia beatricis habitat dan ekologinya berada di vegetasi rendah (hutan terbuka) didominasi dengan ketinggian 70 m[3]. Untuk melestarikan spesies yang terancam ini, keberadaan spesies yang hidup berdampingan dan habitat yang dilindungi sangat penting[10]. Populasi beberapa spesies yang terancam didominasi oleh tanaman muda, yang mencerminkan pertumbuhan populasi di mana regenerasi dan rekrutmen masih berlanjut di beberapa lokasi. Namun, konversi habitat dan gangguan manusia jelas mengancam kelangsungan spesies ini. Ukuran populasi dan struktur spesies yang terancam dan endemik bervariasi secara spasial dengan ion format vulkanik dan karst menjadi habitat yang paling menguntungkan di mana sebagian besar spesies hidup.

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Pule Waigeo atau disebut Pohon susu (Alstonia beatricis) memiliki manfaat bagi kesehatan karena memiliki sifat antipiretik, anti energik, antimalaria dan antihipertensi. Manfaat diantaranya yaitu dapat dijadikan sebagai obat tradisional. Penggunaan tumbuhan berkhasiat obat dan aman sebagai pengobatan tradisional seringkali dimanfaatkan dan diakui masyarakat. Hal ini menjadikan kesadaran untuk kembali ke alam untuk mencapai kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami.[11] Studi Hasil dari observasi klinis seduhan serbuk kulit batang kayu susu di kabupaten Manokwari Papua Barat telah membuktikan bahwa tanaman kayu susu (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) bermanfaat sebagai antimalaria.[12] Efek antimalaria yang ditimbulkan oleh pohon kayu susu disebabkan karena senyawa aktif yang terkandung di dalam kulit batang kayu susu yaitu flavonoid, saponin, dan polifenol. Senyawa tersebut merupakan senyawa kimia yang mampu menghambat pertumbuhan parasit yaitu Plasmodium berghei.

Tanaman kayu susu juga dapat meredakan diare, luka bernanah dan diabetes dengan cara meminum air rebusan kulitnya. Selain itu, pohon tersebut dapat membersihkan organ dalam wanita dengan cara daunnya direbus bersama rimpang jahe dan dibuat menjadi jus atau ditumbuk sampai halus, saring atau peras, lalu airnya diminum. Kulit pohon pule juga bisa digunakan dengan tambahan sedikit jahe, sepotong kunyit, separuh buah pala. Setelah itu, rebus dengan cuka encer pada wadah yang tertutup rapat, setelah mendidih angkat lalu minum selagi hangat. Pohon pule memiliki getah berwarna putih susu pada bagian dalam kulit kayu. Getah dari batang pulai dapat digunakan untuk mengobati sariawan dan keseleo. Pohon pule dapat berkembang biak pada berbagai kondisi tanah dan tumbuh di area hutan hujan tropis. Sifatnya yang unggul seringkali dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan di taman dan hutan kota. Kayu pulai dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan batang pensil, topeng dan kerajinan kayu lainnya. Kayu pohon tersebut sangat kuat dan kokoh sehingga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Tingkat keawetan sifat fisis maupun mekanis dari kayu tersebut lebih baik jika dilakukan desinfeksi .[13]

Sejarah pohon kayu susu (Alstonia beatricis)

Papua memiliki lingkungan habitat dengan wilayah vegetasi (kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan) terlengkap di Asia–Pasifik. Alstonia beatricis termasuk berasal dari Kingdom Plantae. Istilah kingdom dalam biologi adalah tingkatan paling atas dari tingkatan taksonomi makhluk hidup[14]. Tumbuhan yang termasuk dalam kingdom plantae ialah makhluk hidup yang tidak dapat berpindah tempat, memiliki sel eukariotik, bersel banyak dengan dinding sel yang tersusun atas selulosa, bersifat autotrof (mampu membuat makanan sendiri), memiliki klorofil, dapat melakukan fotosintesis, menyimpan cadangan makanan dalam pati, dan mengalami pergiliran keturunan dalam siklus hidupnya[15].

Alstonia beatricis termasuk dalam Phylum Tracheophyta. Phylum merupakan suatu tingkatan di bawah Kingdom. Flora yang termasuk dalam kategori Tracheophyta adalah flora berpembuluh. Alstonia beatricis salah satu jenis flora berpembuluh angkut yang mempunyai akar sebagai alat penyerap air dan zat-zat mineral, batang untuk sarana pengangkut air, dan garam mineral ke daun, melalui pembuluh 7 xylem (pembuluh kayu) untuk proses fotosintesis dan pembuluh floem untuk mengangkut zat makanan. kelas dari Alstonia beatricis adalah Magnoliopsida yang merupakan nama takson bagi semua tumbuhan berbunga tidak termasuk monokotil. Alstonia beatricis merupakan kelas tumbuhan biji berkeping dua dari Angiospermae (tumbuhan biji tertutup). Gentianales merupakan Ordo dari Alstonia beatricis, yang salah satu bangsa tumbuhan berbunga dari kelas Magnoliopsida. Famili dari Alstonia beatricis adalah Apocynaceae. Apocynaceae merupakan salah satu suku anggota tumbuhan berbunga dari ordo Gentianales. Salah satu Genus dari Apocynaceae adalah Alstonia, Alstonia beatricis merupakan spesies dari genus Alstonia[16] (IUCN 2021).

Status perlindungan Pohon Susu (Alstonia beatricis)

Pohon susu (Alstonia beatricis ) keberadaanya saat ini dikategorikan rentan (VU) oleh IUCN[17]. Status populasi yang kecil dan tidak adanya bibit pohon susu menunjukan bahwa tumbuhan ini menghadapi masalah serius. Ketiadaan bibit yang baik dan jumlahnya yang sedikit menjadi faktor penghambat selama pertumbuhannya[18]. Dalam pelestariannya yaitu di Kebun Raya Bogor telah menambahkan koleksi pohon susu di dalamnya sebagai bentuk penanganan dan memperbanyak jumlah hidup pohon sebagai bentuk pelestarian[19].

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Andianto (2011). "Perbandingan ciri anatomi kayu dan kulit 3 jenis Pulai ( Alstonia sp.)". Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 29 (4): 356–368. 
  2. ^ Pemda Raja Ampat, Konsorsium (2006). Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat (PDF). Jakarta: Conservation International Indonesia (CII). hlm. 154. 
  3. ^ a b Sidiyasa, K (1996). "Alstonia beatricis (Apocynaceae), spesies baru dari Irian Jaya, Indonesia". Jurnal Keanekaragaman Hayati, Evolusi dan Biogeografi Tumbuhan. 41 (1): 29–31. 
  4. ^ Sudarmono (2008). "Tumbuhan Endemik Tanah Serpentin". Biodiversitas. 8 (4): 330–335. 
  5. ^ Yuzammi S, Hidayat (2002). "Flora Sulawesi, Unik, Endemik dan Langka. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI, Bogor". 
  6. ^ Sasongko, A (2020). ". Raja Ampat Miliki Tiga Jenis Pohon Endemik". Diakses tanggal 8 November 2021. 
  7. ^ LIPI (2008). "Ratusan Jenis Flora di Pulau Waigeo". Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 
  8. ^ Sidiy (1998). "Flora Malesiana". Diakses tanggal 29 September 2021. 
  9. ^ Hamidi, A (2019). Cerita 100 Pohon. Indonesia: The Global Tree Campaign. 
  10. ^ a b Widyatmoko, D (2010). "Plant a diversity and composition in mount nok and the waifol forest of Waigeo Raja Ampat island : with species reference of the threatened species". Jurnal Biologi Indonsia. 6 (2): 195–209. 
  11. ^ Wijayakusuma, H.M (2000). Ensiklopedia Milenium Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia. Jakarta: Prestasi Insan Indonesia. 
  12. ^ Rezeki RS, Saragih A, Bahri S (2012). "Observasi klinis seduhan serbuk kulit batang kayu susu (alstonia scholaris (l.) r. br.) sebagai antimalaria Di Manokwari". Journal of Pharmaceutics and Pharmacology. 1 (2): 95–103. 
  13. ^ Arinana, Diba F (2009). "Kualitas kayu pulai (alstonia scholaris) terdensifikasi (sifat fisis, mekanis dan keawetan)". Jurnal Ilmu dan Teknologi Hutan. 2 (2): 78–88. 
  14. ^ Lazfi BA (2019). Pengembangan aplikasi media pembelajaran ilmu tanaman herbal legundi [Skripsi]. Jakarta: Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. 
  15. ^ Dewi MR (2016). Pengaruh model pembelajaran kolboratif berbasis lesson study terhadap kemampuan berpikir kritis dan hasil pembelajaran IPA biologi siswa [Skripsi]. Jember: Universitas Jember. 
  16. ^ IUCN (2021). "The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2021-1". [pranala nonaktif permanen]
  17. ^ Mardiastuti A, Kusrini MD, Mulyani YA, Manullang S, Soehartono T (2008). Arahan Strategi Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam - Departemen Kehutanan R. 
  18. ^ Widyatmoko D (2010). "Plant a diversity and composition in mount nok and the waifol forest of Waigeo Raja Ampat island : with species reference of the threatened species". Jurnal Biologi Indonsia. 6 (2): 195–209. 
  19. ^ LIPI (2008). "Ratusan Jenis Flora di Pulau Waigeo". Diakses tanggal Diakses 2 Agustus 2021.