Lompat ke isi

Pengguna:Shony~idwiki

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teman-teman di dunia maya lebih mengenal saya dengan nama ini: Shony. Nama lengkap saya Wilson Lalengke. Seorang Indonesia tulen yang lahir sebagai anak pertama dari sebuah keluarga petani miskin 40-an tahun lalu dengan nama kecil Wilson dan nama keluarga (Fam) Lalengke. Dilahirkan di sebuah kampung kecil, Kasingoli, yang sudah musnah ditinggal pergi para penghuninya di pedalaman Propinsi Sulawesi Tengah. Orantua dan semua keluarga serta teman sekampung saya dengan nama kecil “Soni”. Pasalnya, kata “Wilson” adalah produk Barat yang tidak dikenal di komunitas kampung kecil tradisional tersebut. Akhirnya, sang Ibunda saya memungut tiga huruf terakhir dari kata itu, S-O-N, dan menambahinya dengan I, menjadi SONI, yang kemudian bermetamorfosa kepada bentuk panggilan akrabnya saat ini yakni “Shony”. Proses evolusi nama ini terinsipirasi oleh sebuah cerita spesial saat Wilson mengunjungi Jepang, melalui Youth Invitation Program yang disponsori oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pertengahan tahun 2000, di negeri mana dia bertemu dan “berteman” dengan seorang putri Jepang bernama Shino.

Sebagai anak dari keluarga miskin, di masa kecil saya sering mengalami kehidupan sulit, bahkan acap kali hanya makan “ondo” (umbi beracun yang tumbuh liar di hutan) karena setiap tahun dilanda paceklik. Di usia sekolah, saya masuk sekolah dasar di desa Lemo, sebuah sekolah yang hanya berdinding bambu, meja bambu, berlantai tanah dan beratap rumbia. Pada saat itu, di awal tahun 1970-an, saya masih sempat mengalami proses pembelajaran menggunakan “batu tulis” sebagai media tulis-menulis utama bagi murid, karena ketiadaan buku tulis di desa saya. Ke sekolah tidak menggunakan alas kaki dan bila hujan menggunakan payung daun pisang. Saat musim hujan, sungai meluap, tidak bisa ke sekolah, karena tidak bisa menyebrang sungai. Dalam kondisi seperti itu, biasanya saya, dan juga teman-teman masa kecil, minta bantuan orang dewasa yang kebetulan lewat untuk mengantarkan sampai ke seberang.

Menilik latar belakang keluarga dan masa kecil saya yang pahit itu, saya sulit untuk bermimpi bisa mencapai cita-cita bersekolah relatif tinggi ke jenjang pascasarjana di luar negeri. Tahun 2007 ini, saya baru saja menyelesaikan studi pasca-sarjana, Master in Applied Ethics, tahun akademis 2006/2007, atas dukungan finansial dari Komisi Eropa melalui program beasiswa Erasmus Mundus. Saya belajar pada sebuah Konsorsium Universitas yang terdiri atas Universitas Linkoping (Swedia), Universitas Utrecht (Belanda), dan Universitas Ilmu dan Tekhnologi Norwegia (Norwegia). Ini merupakan program master kedua bagi saya setelah tahun lalu (2006) saya menyelesaikan studi pasca-sarjana, Master in Global Ethics, di Universitas Birmingham, Inggris, atas beasiswa Ford Foundation – International Fellowships Program, yang di Indonesia dikelola oleh the Indonesian International Education Foundation (IIEF), berkedudukan di Jakarta.

Seperti banyak diketahui bahwa mengenyam pendidikan, apalagi di tingkat pendidikan tinggi, bagi warga termarginalkan di tanah air merupakan kesulitan yang belum teratasi hingga kini, maka banyak orang selalu bertanya apa kiat saya tatkala menghadapi kendala di sepanjang usaha studi saya. Singkat saja: tipsnya adalah keteguhan yang tiada berbatas dalam menggapai cita-cita dan tujuan hidup.

Ketika memasuki jenjang pendidikan SMP dan SMA di Poso, Propinsi Sulawesi Tengah, saya harus bersekolah sambil bekerja pada keluarga yang bersedia mengongkosi pendidikannya. Demikianlah saya boleh bersekolah di pagi hari dan harus mengerjakan berbagai pekerjaan di rumah layaknya pembantu rumah tangga sepulang sekolah hingga malam hari pada keluarga yang telah berbaik hati menyekolahkannya. Tugas utama harian saya antara lain menimba air dari sungai, membersihkan halaman, membersihkan rumah, masak, mencuci dan menyetrika pakaian seluruh anggota keluarga, dan merawat seorang yang sudah sangat tua (nenek) di keluarga itu. Salah satu bagian dari tugas merawat manula (manusia lanjut usia) tersebut adalah membersihkan tinja si-nenek, baik dari pispot maupun yang berceceran di tempat tidurnya.

Saya juga pernah melakoni pekerjaan sambilan di keluarga tersebut sebagai peternak ayam buras dan bertanam sayuran. Bila masa panen telah tiba, terpaksa saya harus bangun lebih subuh untuk berangkat ke Pasar Sentral – Poso, berjualan sayuran dan telur ayam. Kehidupan seperti ini saya jalani antara tahun 1979 hingga 1985 dengan sabar demi mewujudkan keinginannya bersekolah.

Setamat SMA, saya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena masalah klasik, terbentur biaya. Sialnya, tidak ada keluarga yang mau menampung saya untuk bekerja sambil kuliah. Maklum biaya kuliah jauh lebih tinggi berkali-kali lipat dari biaya sekolah di SMA. Menyadari akan hal tersebut, saya akhirnya ikut berkongsi dengan seorang teman membuka usaha kecil-kecilan pembuatan minyak kelapa. Sulawesi Tengah dan Utara terkenal dengan pohon nyiur yang melimpah. Jadi kami berdua mengusahakan pengerjaan minyak goreng dari buah kelapa dan dijual dari rumah ke rumah di kota Poso. Pekerjaan ini saya jalani selama hampir setahun pada tahun 1986, sebelum akhirnya ia “terdampar” ke Sumatera.

Sekitar Oktober 1986, dengan bantuan keluarga dokter Chris Rumantir, saya merantau ke Bandung, dan kemudian ke Pekanbaru, Propinsi Riau. Tujuan utama saya merantau adalah untuk mencari pekerjaan, belum terpikirkan untuk melanjutkan pendidikan. Pikiran saya sederhana saja, dapatkan pekerjaan, dan bila keuangan sudah memadai ia akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Kenyataannya, mencari pekerjaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu, atas saran dari keluarga dokter Chris, tempat saya lagi-lagi bekerja membantu pekerjaan di rumah seperti masa-masa SMP dan SMA, saya akhirnya mencoba peruntungan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Riau, di Pekanbaru. Nasib mujur, saya diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, untuk program studi PMP-KN, jenjang Diploma-2, tahun 1987 dan diselesaikan tepat 2 tahun setelahnya.

Sebelum berangkat kuliah ke Eropa, saya tercatat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Kantor Walikota Pekanbaru. Seperti halnya dalam menempuh studi, perjalanan karier saya juga penuh lika-liku yang sulit. Dimulai dari menjadi guru honorer selepas menamatkan program Diploma-2, di sebuah SMP swasta di pinggiran kota Pekanbaru pada tahun 1989. Setahun kemudian saya mendapat tugas sebagai guru CPNS ke sebuah SMP negeri di kecamatan terpencil di Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Lebih dua tahun bertugas di sana, saya kemudian meminta mutasi tugas ke Pekanbaru, terutama dimotivasi oleh keinginan melanjutkan studi. Tahun 1994, saya baru dapat melanjutkan kuliah dengan status “izin belajar” di jenjang S-1 di universitas yang sama sambil tetap menjalankan tugas sehari-hari sebagai PNS.

Saya sudah menikah. Istri saya, Winarsih yang biasa disapa Wiwin. Kami telah dikaruniai empat orang anak – Winda, Anggi, Angga, Anggun. Saya ngefans berat dengan Ebiet G Ade dan menyukai lagu-lagu baladanya. Hobi memancing, sedikit tennis meja, dan menjalin jaringan persahabatan maya. Kata orang saya agak perfeksionis, dan mungkin karena itu saya sering ketinggalan kereta alias terlambat dalam membangun diri.