Lompat ke isi

Pengguna:Meliana Aryuni

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Persahabatan Karena Sampah

"Ya Allah, Jeni, kenapa plastik rotinya dibuang sembarang? Di sana ada kotak sampah," tunjuk Rania kepada salah satu temannya. Dengan wajah cemberut Jeni memasukan plastik roti tadi ke dalam kotak sampah.

"Nah, gitu dong. Kan enak lihat depan kelas kita jadi bersih," puji Rania. Dia mencoba membuat Jeni tersenyum, tetapi Jeni belum bisa melakukannya.

Rania dan beberapa teman lainnya yang membawa bekal biasa makan di taman depan kelas. Rania selalu membawa bekal yang dibawa dari rumah dalam sebuah wadah makan lengkap dengan botol minum. Ibunya tidak mau membiarkan Rania jajan sembarang. Kejadian setahun yang lalu sudah membuat ibu Rania trauma untuk memberikan uang jajan kepada Rania.

"Nanti kamu jajan di kantin aja, ya. Beli makanan yang bukan Chiki," pesan ibu Rania ketika itu. Rania mengingat pesan itu. Hari itu ibu Rania tidak sempat memasak sarapan atau camilan buat Rania. Sakit kepala dan tubuhnya terasa lemas sehingga membuat dia tidak bisa jauh dari tempat tidur. Rania pun terpaksa membeli nasi uduk di warung bu Suti untuk sarapan.

Setelah sarapan, Rani pergi ke sekolah dengan membawa botol air minum dan uang 5 ribu. Rania yang tidak pernah jajan bingung saat tiba di kantin sekolah. Beberapa chiki tergantung pada seutas tali. Rania menepis keinginannya untuk membeli chiki. Dia teringat dengan pesan ibunya sebelum berangkat tadi.

Ketika matanya menatap jajanan berbentuk bulat dan ditusuk seperti sate dengan bubuk merah, Rania tergiur. Lalu, dia mengambil 1 tusuk dan memberikan uang kepada penjaga kantin. Setelah menerima uang kembalian, Rania duduk di taman depan kelas dan langsung menyantap jajanannya.

Tampak sekali Rania menikmati jajanannya. "Tumben enggak bawa bekal, Ran?" tanya Jeni yang menyantap chiki dengan taburan bon cabe di sana.

"Ibuku sakit, Jen," jawab Rania singkat sambil meneruskan makan. Setelah selesai, Rania mencuci tangannya dan membuang stik sate tadi ke kotak sampah, diikuti oleh Jeni. Lalu, mereka masuk ke kelas.

Pelajaran kembali berlangsung, tetapi Rania terlihat tidak tenang. Jeni yang duduk di sebelah Rania menyadari keadaan itu. Dia berbisik kepada Rania. "Ada apa, Ran?"

"Perutku sakit, Jen. Aku ke toilet dulu, ya," ucap Rania dengan wajah yang mulai terlihat berkeringat. Beberapa saat kemudian, Rania telah kembali, tetapi wajahnya masih terlihat kesakitan. Akhirnya, Rania mengadu kepada bu Arni.

"Jeni, temani Rania ke UKS, ya," pinta bu Arni ikut cemas.

Di UKS, Rania diperiksa. Setelah diberi obat oleh perawat, rasa mulas di perut Rania mulai berkurang. "Nanti jangan pernah lagi makan jajanan kayak tadi, ya," nasihat perawat UKS. Rania hanya mengangguk.

"Hari ini bekalnya pempek, ya, tapi Ibu enggak bawain cuko. Enggak apa, 'kan?" tanya ibu Rania saat memasukkan bekal ke dalam tasnya. Rania menyalami punggung tangan sang ibu, lalu berjalan ke luar rumah. Rania harus datang lebih cepat karena hari ini jadwal piketnya.

Sesampai di sekolah, beberapa teman-temannya sedang menyapu kelas, sedangkan yang lain sibuk berkejaran di taman depan kelas. Rania meletakkan tasnya, lalu mengambil sapu untuk menunaikan tugasnya.

Seperti biasanya, Luna yang hari ini seharusnya piket bersama Rania tidak melaksanakan tugasnya. Dia berdiri di depan kelas sambil makan kacang atom. Tawanya terdengar nyaring alias berisik. Rania kesal dengan tingkah Luna.

Rania meneruskan menyapu kelas, tetapi gerakannya berhenti saat melihat Luna melempar bungkus kacang atom di lantai depan kelas. Rania mulai kesal dan mendekati Luna.

"Ini, itu ada kotak sampah," ucap Rania tegas dengan menyodorkan bungkus kacang atom tadi. Ucapan itu disambut Luna dengan perasaan kesal. Dengan kasar dia mengambil bungkus yang diberikan kepadanya itu, lalu membuangnya di depan Rania, bukan di kotak sampah. Luna gengsi mengikuti perintah Rania.

"Enak aja merintah-merintah orang. Buang aja sendiri!" ucap Luna ketus. Rania pura-pura tidak mendengar, dia lanjut menyapu.

"Hei, lihat ada orang sok bersih! Buang sampah dikit aja minta aku yang melakukannya!"

Rania mendengar semua ucapan Luna. Rania ingin sekali membalas ucapan itu, tetapi dia mencoba untuk menahannya. Dia tidak ingin membuat keributan di sekolah, malu.

Dengan langkah tegak, Rania kembali ke tempat Luna. Dengan cepat dia mengambil bungkus kacang itu dan meletakkannya di kotak sampah. Lalu, dia kembali lagi menghadap Luna.

"Tuan putri, sampahnya sudah saya buang. Sekarang tuan putri mau minta buang apa lagi?" sindir Rania. Semua siswa berkerumun di dekat mereka. Berbagai sindiran dari teman-temannya yang lain membuat Luna terlihat menunduk.

Kejadian itu berhenti saat bu Arni, wali kelas mereka datang. Rania meletakkan sapunya dan Luna duduk di kursinya sambil melirik sinis ke arah Rania. Dia begitu marah kepada Rania.

"Awas saja kau, ya. Tunggu saja pembalasanku," gumam Luna dan terdengar oleh Rania. Namun, Rania tidak memedulikanya.

Rania dan Luna masuk dan duduk di kursi masing-masing. Luna selalu melirik ke arah Rania, sedangkan bu Arni menerangkan materi di depan kelas. Pelajaran bu Arni hari ini tidak lama, hanya sejam. Setelah bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan ke luar kelas menuju tempat primadona di sekolah ini, yaitu kantin.

Setelah membereskan alat tulis dari atas meja, Rania yang berniat duduk di bawah pohon akasia sambil menggambar. Namun, langkahnya terhenti saat dia melihat Luna begitu kesulitan untuk berdiri. Rania mendekati dan menyodorkan tangannya.

"Ayo, kita istirahat, Lun," ujar Rania dan dibalas palingan kepala dari Luna. Rania pun pergi meninggalkan Luna dengan membawa kotak bekalnya. Seperti biasa dia akan makan di taman depan kelas. Bekal nasi goreng buatan ibu selalu enak, Rania menyantapnya bersama Jeni.

Bertepatan dengan bunyi bel, bekal Rania sudah habis tak bersisa. Dia dan Jeni masuk ke kelas. Betapa terkejutnya Rania saat melihat Luna masih di posisinya dengan mata sembab.

"Kamu enggak istirahat ya dari tadi?" tanya Rania peduli. Meskipun wajah Luna tampak kesal, dia tetap berusaha untuk membuat kondisinya tidak ketahuan.

"Aku ... aku ... kalian bisa membantuku?" tanya Luna terbata. Rania dan Jeni saling pandang. Mereka tak percaya Luna meminta bantuan! Apa yang terjadi dengan gadis sombong itu? Pikir Rania dan Jeni.

"Tolong bersihkan permen karet di kursiku," jawabnya lesu. Rania mau tertawa, tetapi takut nanti Luna bertambah sedih. Rania memilih diam dan mencari bekas ranting di taman depan kelas. Setelah ketemu, dia mencoba membuang bekas permen karet di rok Luna.

"Ini biang keroknya!" ujar Jeni. "Terima kasih, Rania, Jeni," ujar Luna yang tak bisa menyembunyikan kelegaannya.

"Kok bisa ada permen karet di sini sih?" tanya Jeni dengan nada ketus.

"Aku yang salah. Sisa permen karet itu milikku. Aku malas membuangnya ke luar sehingga kuletakkan di laci meja. Tanpa kusadari, permen karet itu terdorong ke luar laci sehingga membuat lengket rokku di sana," jelas Luna.

"Hemmm ... ini pelajaran untuk kita agar tidak sembarangan membuang sampah. Kan yang rugi kita sendiri?" ucap Rania.

Jeni mengangguk, begitu juga dengan Luna. "Terima kasih, Teman," ucap Luna tiba-tiba.

Sejak saat itu, sikap Luna terhadap Rania mulai berubah. Luna bahkan mau mengikuti jejak Rania, yaitu membawa bekal makanan dan minuman dari rumah. Mereka pun sering bertukar bekal saat makan. Tak ada lagi wajah jutek Luna dan mulut ketusnya. Sampah menjadi jembatan bagi persahabatan di antara mereka.