Tujuan hukum

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Teori Etika Tujuan Hukum)

Tujuan hukum merupakan hal sasaran atau hal apa yang ingin dicapai melalui suatu proses pemberlakuan secara sah sistem hukum dalam suatu negara atau masyarakat tertentu. dampaknya, tentu adalah tujuan aktual suatu undang-undang atau peraturan yang tidak boleh bertentangan dengan hakikat dan tujuan sistem hukum. oleh sebab itu sangat diperlukan secara filsafah di refleksikan apa yang menjadi tujuan utama dari sebuah sistem hukum. dan setiap teori menetapkan suatu tujuan hukum sesuai dengan filsafah manusia dan filsafah politik tertentu. terdapat tujuh teori etika tujuan hukum yang di kemukakan oleh banayak ahli yang mana hal tersebut tentunya masih relevan hingga saat ini.

Kedamaian dan ketertiban[sunting | sunting sumber]

Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa tujuan hukum adalah kedamaian.[1]ia bertolah dari suatu antropologi. Menurutnya manusia dikuasai oleh dorongan-dorongan keinginan-keinginan rasioanal, bukan oleh kehendak bebas atau pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Perilaku manusia tidak diarahkan oleh nilai-nilai disadari atau oleh keputusan kehendak mengenai apa yang baik, melainkan oleh naluri untuk mempertahankan diri untuk memenuhi dorongan-dorongan alamiahnya. Hobbes menyampaikan fakta kebebasan, kehendak bebas, rasionalitas, dan nilai-nilai moral yang bersumber dari pertimbangan akal budi. Itulah "keadaan alamiah" dari manusia.

Namun lain halnya dengan Aristoteles yang menggambarkan manusia sebagai mahluk sosial (zoon politikon) karena berdasarkan rasionalitasnya.[2]Namun Hobbes berpandangan lain bahwa sosialitas sebagai suatu karakteristik hakiki manusia. Secara primodial manusia tidak berhakikat sosial. Keadaan alamiah dicirikan dengan keadaan anarki tanpa suatu keadaan organisasi politik maupun sistem hukum. Konflik terbuka antar individu sering terjadi dikarenakan keingginan terhadap tiga hal, yang pertama keingginan mendapatkan dan memiliki sesuatu yang mana menyebabkan mereka saling bersaing atau berkompetisi antar sesamanya. Kedua, rasa takut terhadap serangan dari lawan, mendorong seseorang terlebih dahulu untuk memerangi sesamanya. Jadi, dari pada diserang lebih dahulu, lebih baik menyerang lebih dahulu. Ketiga, egoisme ( dalam arti sikap dasar ofensif untuk mengejar kepenuhan bagi kepentingan, keinginan dan kehormatan diri sendiri saja).

Hobbes menyimpulkan dalam state of nature, manusia dihihat oleh sesamanya adalah serigala buas yang selalu mangancam. dan kehidupan bersama ditandai oleh perang semua lawan semua. (bellum omnium contra omnes). Hidup manusia menjadi terasing, miskin, tidak menyenangkan, brutal, dan pendek.[3]Teori Hobbes boleh dikatakan bercorak realistis, karena ia mengakui fakta negatif kodrat manusia. Secara realistis, Hobbes melihat bahwa menurut kodratnya manusia memang cenderung egoistis. Selanjutnya, ia juga secara akurat menemukan bahwa kedamaian dan ketertiban merupakan tujuan penting yang dikehendaki oleh setiap negara dan masyarakat. Tidak ada satupun negara yang bisa bertahan tanpa kedamaian dan ketertiban. Keamanan dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi pengembangan kesejahteraan umum suatu masyarakat. Kehidupan setiap individu pun tergantung pada rasa aman dan damai. Untuk semua itu, hukum selalu perlu ditegakkan. Di sinilah letaknya kegamblangan dari teori Hobbes, yakni karena ia bertitik tolak dari asumsi negatif mengenai kodrat sosial manusia, maka kedamaian dan ketertiban dengan sendirinya jelas sebagai tujuan hukum.[3]

Akan tetapi, betapapun pentingnya, kedamaian harus dianggap sebagai tujuan minimal saja, dan bukan sebagai suatu tujuan yang mencukupi bagi masyarakat manusiawi. Artinya, tujuan yang sebenarnya dari suatu masyarakat atau negara bukanlah sekedar mempertahankan eksistensinya, melainkan menuju suatu eksistensi sosial di mana setiap anggota dapat mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera. Apabila suatu negara gagal memberikan jaminan kedamaian dan kesejahteraan bagi para warganya, maka secara prinsipiil tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan eksistensinya. Konsekuensinya, negara dan sistem hukum harus mengarah kepada sesuatu yang lebih tinggi daripada sekedar kedamaian dan ketertiban. Kedamaian dan ketertiban hanyalah "tujuan negatif" dari hukum, dalam arti absensi perang dan konflik terbuka. Harus terdapat sesuatu yang lain sebagai tujuan hukum.[4]

Moralitas[sunting | sunting sumber]

Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), seorang Romawi pengikut Stoisisme, berpendapat bahwa tujuan kodrati dari hukum adalah moralitas. Hukum positif suatu negara (human law) dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan tindakan-tindakan moral dengan memerintahkan perilaku yang secara moral baik, dan melarang perbuatan-perbuatan yang secara moral jahat.[5] Perbedaan antara yang benar dan yang salah tidak bersifat konvensional, dalam arti tidak merupakan produk dari mores suatu masyarakat, tidak pula berupa keyakinan-keyakinan tertentu dari suatu bangsa atau sebuah komunitas. Diinspirasi oleh Stoisisme, Cicero berpendapat bahwa hukum moral terpatri dalam hakikat alam semesta.

Hukum moral tidak lain dari hukum kodrat (natural law) yang di dalamnya Rasio ilahi memerintahkan perbuatan yang harus dilakukan dan melarang perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Dalam batasan itu, manusia bijaksana adalah manusia yang hidup sesuai dengan penentuan Rasio ilahi yang mengejawantah dalam Alam. Setiap orang mendapatkan sepercik Rasio ilahi yang mendorongnya kepada kebijaksanaan dan perbuatan yang benar. Namun manusia mewarisi juga kecenderungan-kecenderungan dan gairah-gairah yang dapat menjauhkannya dari perbuatan baik. Oleh karena itu, setiap masyarakat mempunyai sistem hukum yang mengarahkan dan mewajibkan para warganya untuk melakukan apa yang baik secara moral dan untuk menjauhi apapun yang jahat secara moral. Misalnya, hukum positif harus mewajibkan setiap warga negara untuk membayar utangnya dan untuk mengatakan kebenaran (tidak berdusta), karena perbuatan- perbuatan ini diperintahkan oleh hukum kodrat. Sebaliknya, hukum positif harus melarang pembunuhan dan pemerkosaan, karena perbuatan-perbuatan tersebut dilarang oleh hukum kodrat.[5]

Cicero menempatkan hukum moral dalam bingkai hukum kodrat yang merupakan pengejawantahan Rasio ilahi. Konsekuensinya, hukum moral harus bersifat rasional. Perintah dan larangan moral harus masuk akal. Hukum manapun yang menyimpang dari hukum moral harus dianggap tidak masuk akal, dan karena itu tidak bisa dibenarkan secara rasional. Jadi, apabila menurut akal sehat setiap orang yang berhutang diwajibkan untuk membayar hutangnya, maka hukum yang bertentangan dengan kewajiban itu tidak dapat dibenarkan. Begitu pula apabila hukum kodrat yang rasional melarang pembunuhan, maka hukum positif manapun harus melarang hal yang sama. Singkatnya, karena hukum moral menjadi hukum rasional, maka harus disimpulkan bahwa hanya tujuan yang rasional dari hukum positif yang sesuai dengan moralitas.[5]

Kedengarannya teori dari Cicero amat menarik, namun bukannya tanpa prob- lem. Memang tidak diragukan bahwa dalam masyarakat manapun moralitas menawarkan standar-standar perilaku yang dengannya hukum positif dapat diuji. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa hukum selalu bertujuan pada pewajiban setiap perbuatan yang baik secara moral dan pelarangan setiap perbuatan yang jahat secara moral. Sebagai contoh, tentu secara moral dianggap tidak pantas bahwa seorang anak bersikap terhadap orangtuanya tanpa rasa hormat. Namun kelancangan si anak tidak bisa dikatakan sebagai tindakan melawan hukum. Kalaupun ada hukum positif yang mengatur perilaku si anak, dikhawatirkan bahwa hukum tersebut tidak dapat dipaksakan (unenforceable) karena pemaksaannya bisa melanggar privasi keluarga. Suatu hukum yang unenforceable, menurut hakikatnya, akan menggerogoti penghargaan terhadap hukum itu sendiri.[5]

Hak-hak asasi manusia[sunting | sunting sumber]

Pandangan bahwa tujuan hukum bertalian erat dengan hak-hak kodrati (natu- ral rights), tercermin secara jelas dalam filsafat John Locke (1632-1704).[6] Menurutnya, setiap individu manusia memiliki hak-hak kodrati, dan hukum bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Setiap warga negara memiliki berbagai hak legal yang didasarkan atas sistem hukum; misalnya, hak untuk memilih wakil rakyat dan hak untuk mendapatkan upah minimum yang layak. Namun sebagai manusia, setiap orang memiliki pula hak-hak kodrati, yakni hak-hak dasar sebagai manusia atau hak-hak yang tak terasingkan (inalienable rights) dari martabatnya sebagai manusia (human rights). Menurut Locke, hak-hak itu meliputi hak atas kehidupan (right of life), hak atas kebebasan (right of liberty), dan hak atas milik (right of property).[7]Hak-hak tersebut bersumber dari kodrat manusia dan independen terhadap setiap bentuk sistem hukum ataupun konvensi suatu masyarakat. Oleh karena itu, dengan kekuasaan politik yang mutlak sekalipun, tak seorangpun boleh mencabut atau menghapuskan hak-hak tersebut.[7]

Akan tetapi, penegakan hak-hak asasi bisa tidak pasti, terutama dalam kondisi sosial-politik yang anarkis atau di bawah pemerintahan tirani dan totaliter. Maka, menurut Locke, negara perlu didirikan sebagai institusi untuk melindungi hak-hak asasi setiap individu warga negara. Hukum negara bertujuan untuk melindungi hidup setiap warga negara dengan melarang pembunuhan, mengamankan hak milik dengan cara melarang pencurian dan perampokan, dan menjamin kebebasan berbicara dan berserikat. Singkatnya, tujuan hukum ialah memastikan perlindungan dan penegakan hak-hak asasi.[6]

Kebaikan Umum (the common good)[sunting | sunting sumber]

Menurut St. Thomas Aquinas (1225-1274), pencapaian "kebaikan umum" (bonum commune) merupakan tujuan hukum positif.[8]Istilah Aquinas "bonum" sebenarnya sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena kata "baik" dan "kebaikan" cenderung berkonotasi moral. Walaupun begitu, di sini "bonum" diterjemahkan sebagai "kebaikan", tetapi dalam arti yang dimaksudkan Aquinas, yakni sesuatu yang positif bagi manusia dalam rangka mencapai tujuan akhir hidupnya, yakni memandang kemuliaan Allah (visio beatifica Dei). Dalam arti itu, "kebaikan" selalu bersifat teleologis, hanya manusia yang bisa dengan kesadarannya terarah kepada kebaikan dan mencintai kebaikan.[8]

Kebenaran (truth) dan keadilan (jus-tice) merupakan bentuk-bentuk partikular dari kebaikan. Dalam perspektif pengertian tersebut, sistem hukum positif harus terarah kepada kebaikan; tujuannya ialah menghasilkan kebaikan sebanyak mungkin dan mereduksi kemungkinan kejahatan sejauh mungkin. Kebaikan siapa yang harus diusahakan? Aquinas berpendapat bahwa, sebagai suatu instrumen dalam menjalankan kekuasaan publik, hukum harus me- mihak kebaikan umum masyarakat.[8]

Teori ini secara jelas melawan egoisme etis, yakni pandangan bahwa setiap pelaku moral harus selalu bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Kualitas baik dan jahat dari suatu perbuatan diukur berdasarkan efeknya terhadap kepentingan si pelaku. Menurut pandangan ini, sungguh tidak masuk akal bahwa suatu kepentingan pribadi dikorbankan demi kesejahteraan orang-orang lain. Hanya jika pengorbanan itu mendatangkan keuntungan pribadi, perbuatannya boleh dianggap baik dan masuk akal. Sebaliknya, kolektivisme ekstrim menganut paham bahwa tidak masuk akal kebaikan banyak orang dikorbankan demi kesejahteraan seorang pribadi atau demi orang-orang lain yang bukan warga masyarakat atau negara yang sama. Setiap negara atau masyarakat harus memperjuangkan kebaikan umum bagi warganya.[8]

Kemanusiaan[sunting | sunting sumber]

Hukum suatu negara semestinya bertujuan memajukan kemanusiaan, tanpa membedakan warga negara dan orang asing. Artinya, jiwa suatu sistem hukum adalah memperjuangkan kesejahteraan siapapun sebagai manusia. Pandangan ini antara lain dianut oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Dalam bukunya Principles of Morals and Legislation, Bentham tanpa ragu-ragu mempertahankan pendapat bahwa setiap hukum dan undang-undang harus dinilai menurut prinsip kemanfaatan.[9] Sesuatu dianggap bermanfaat jika memiliki kecenderungan untuk menghasilkan efek-efek yang baik dan menghindari efek-efek yang buruk. Karena Bentham percaya bahwa kebaikan dan kejahatan intrinsik dapat diukur menurut rasa senang dan rasa sakit, maka ia menyamakan kemanfaatan dengan kecenderungan untuk memperbesar kesenangan atau kebahagiaan dan mengurangi penderitaan atau kemalangan.[10]

Apakah sistem hukum dari suatu negara harus ditakar menurut manfaatnya bagi warganya saja atau bagi segenap umat manusia? Bentham tidak memberikan jawaban yang eksplisit. Ia sering menekankan pentingnya kesejahteraan umum suatu masyarakat atau komunitas. Dalam arti ini pandangan Bentham sejalan dengan teori Aquinas bahwa hukum harus bertujuan mencapai kesejahteraan umum. Akan tetapi, Bentham tidak berhenti di situ. Sebagai seorang utilitarian ia berpendapat bahwa setiap pelaku moral (moral agent) harus mengutamakan tindakan yang menghasilkan kebaikan dan yang menghindari kejahatan bagi setiap orang sejauh terjangkau oleh efek tindakannya. Dengan kata lain, nilai moral suatu perbuatan diukur berdasarkan kecenderungan efeknya yang baik dan menyenangkan bagi siapapun. Semakin banyak orang mengalami manfaat dari suatu perbuatan, semakin tinggi nilai moralnya. Prinsip "the greatest happiness for the greatest number" tidak dibatasi bagi warga negara atau anggota komunitas saja. Bagi Bentham, hak mendapatkan kebahagiaan dari suatu perbuatan moral bersumber dari status kemanusiaan, bukan status politik kewarganegaraan.[10]

Akan tetapi teori Bentham tentang tujuan hukum mengandung kelemahan juga. Dapat ditanyakan, apakah dalam penyusunan undang-undang, kesejahteraan atau kepentingan warga suatu negara harus diperhitungkan atau diperlakukan sama dengan orang asing? Jika, demi kemanusiaan, sistem hukum negara Inggris harus peduli pula terhadap orang-orang yang bukan berkewarganegaraan Inggris, maka 98 Vol. 1 No. 2 Oktober 2001 undang-undang keimigrasian Inggris harus mengizinkan siapapun dari negara mana- pun untuk datang dan tinggal di Inggris, negara yang dianggap lebih makmur. Hal ini jelas tak mungkin, mengingat kelonggaran undang-undang tersebut hanya berarti penurunan standar kesejahteraan umum di Inggris, selain membuka jalan bagi ketidak- pastian sosial yang semakin besar. Oleh karena itu, betapapun kuatnya para utilitar- ian mempertahankan pendapatnya, para legislator akan tetap berpendirian bahwa mereka tidak berada pada posisi kewajiban moral untuk secara hukum mem- perlakukan orang-orang asing sama seperti warga negara. Dengan kata lain, kewajiban moral untuk selalu bersikap baik terhadap semua orang sebagai manusia, tidak mengandung konsekuensi logis bahwa sistem hukum suatu negara harus memperlakukan semua orang secara sama saja tanpa membedakan status politik kewarganegaraannya.[10]

Kebebasan[sunting | sunting sumber]

Seorang utilitarian memandang hukum dari perspektif manfaatnya, yakni kecenderungannya untuk menghasilkan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Akan tetapi, Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa tak seorang pun boleh diperlakukan sebagai alat atau tujuan bagi orang lain; masing-masing person harus dihormati sebagai tujuan pada dirinya. Konsekuensinya, tak seorang pun boleh memaksakan kehendaknya terhadap orang lain. Setiap orang harus dihormati kebebasannya untuk memilih dan mengambil keputusan sesuai kehendaknya. Pandangan ini menyiratkan bahwa tujuan hukum ialah menjamin kebebasan.[5]

Dengan "kebebasan" Kant maksudkan kebebasan moral dari setiap orang untuk secara otonom memilih apa yang baik dari antara alternatif-alternatif dan untuk mengekspresikan kehendaknya dalam tindakan tanpa dibatasi oleh orang atau instansi eksternal lain. Setiap orang memiliki budi praktis (practical reason), yakni kemampuan untuk memutuskan secara rasional antara kemungkinan-kemungkinan bertindak. Konsekuensinya, setiap person harus dihormati, dalam arti ia diperkenankan oleh orang-orang lain untuk menggunakan kemampuan budinya dan mengambil keputusan sendiri tentang apa yang ia kehendaki. Akan tetapi kebebasan bukan hanya sekedar kehendak yang bebas (free will) atau kebebasan untuk memilih dari antara alternatif-alternatif yang ditawarkan. Kebebasan juga mewajibkan adanya kemampuan untuk melaksanakan apa yang baik yang dikehendaki. Karena itu, seorang person tidak bebas apabila ia bertindak melawan kehendaknya, misalnya karena ia dipaksa dari luar untuk bertindak demikian.[5]

Keadilan[sunting | sunting sumber]

Dalam bukunya Jurisprudence, Sir John William Salmond (wafat 1924), seorang ahli hukum terkemuka dari Inggris, berpendapat bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan.14 Untuk memahami arti "keadilan" (justice) yang dimaksud, ia mempertentangkannya dengan "ketidakadilan" (injustice). Ketidakadilan berarti tindakan melanggar hak orang lain, baik berupa tindakan individual maupun berupa praktek berdasarkan sistem tertentu. Tindakan yang tidak adil selalu memperlakukan orang lain secara tidak sewajarnya (unfairly). Dalam arti itu, keadilan berarti fair- ness. Pertama, fairness mewajibkan bahwa "one treats like cases alike". Jadi, keadilan mengandaikan impartiality di mana baik favoritisme dan vindiktivisme tidak mendapatkan tempat. Kedua, fairness mewajibkan bahwa setiap orang diperlakukan sebagaimana mestinya. Artinya, tidak adil apabila semua anak pejabat dimenangkan dalam semua tender. Keadilan berarti mekanisme dan syarat tender semua proyek harus diaplikasi sebagai mana mestinya pada semua peserta tender secara fair. Jadi, setiap orang harus diakui eksistensinya dan dihargai kualitas atau jasa yang ditawarkannya.[11]

Akan tetapi, teori tersebut mengundang pertanyaan mengenai kriteria keadilan. Apa yang bisa dijadikan kriteria untuk mengukur keadilan? Kriteria berarti ukuran atau alat uji yang dengannya sesuatu bisa dinilai atau dipertimbangkan. Kertas lakmus dapat dipakai sebagai alat pengukur adanya unsur kimiawi asam; begitu pula termometer bisa dipakai untuk mengukur derajat temperatur. Tetapi dengan apa keadilan dan ketidakadilan diukur? Konon di Amerika Serikat terdapat jenis pajak pendapatan yang harus dibayar oleh seorang pegawai sesuai tingkat kesarjanaannya (the graduated income tax). Pemberlakuan jenis pajak ini dianggap tidak adil karena mereka yang bekerja keras sampai mendapatkan gelar sarjana harus membayar lebih mahal dari mereka yang malas atau tidak mau bekerja keras di bangku univer- sitas. Sebaliknya, pemberlakuan tersebut dinilai adil karena seorang dengan gelar sarjana bisa mendapatkan gaji yang tinggi, dan oleh karena itu dapat pula dengan lebih mudah memberikan sejumlah uangnya kepada negara.

Kasus hukuman mati bisa menjadi contoh lain tentang ketidakpastian kriteria keadilan. Apakah hukuman mati boleh dianggap sebagai perlakuan yang adil terhadap seseorang yang terbukti telah mencabut nyawa orang lain sehingga ia harus kehilangan nyawanya sendiri sebagai ganti? Atau, hukuman mati harus dianggap sebagai praktek yang kejam dan tak berperikemanusiaan? Apakah hukuman sebagai ganjaran (desert) merupakan kriteria dari keadilan, atau justru berarti suatu ketidakadilan? Agaknya kita harus tiba pada kesimpulan bahwa prinsip "treating similar cases similarly" dan "treat- ing a person as he deserves" tidak selalu jelas dan pasti kriteria penerapannya. Maka sejauh kriteria keadilan dan ketidakadilan sulit diidentifikasi, sejauh itu pula keadilan sepatutnya tidak dijadikan tujuan utama hukum. Kesulitannya terletak pada fakta bahwa tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai, sesuatu yang memberi arah terhadap tindakan. Ketidakpastian tujuan tentu gagal memberikan arah yang jelas, sehingga dengan sendirinya tidak jelas pula keberhasilan dan kegagalan tindakan akan diukur.[11]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hobbes, 1950: bab 13, 17, dan 26.
  2. ^ Aristotle, Politics, buku I.
  3. ^ a b Hobbes, Leviathan, chapter XIII.
  4. ^ Hobbes, Leviathan, chapters XIV-XV.
  5. ^ a b c d e f DR. H. R. ABDUSSALAM, SIK,. SH,. MH., ADRI DESAS FURYANTO, SH. MH. (2020). TEORI HUKUM. JAKARTA: PTIK. 
  6. ^ a b John Locke, Second Treatise on Government, chapters I-III.
  7. ^ a b Locke, 1937: bab 2 dan 9.
  8. ^ a b c d Aquinas, Summa Theologica, I-II, q. 90. a.1-2; q. 92. a. 1; q. 95. a. 3-4.
  9. ^ Bentham, 1970: bab 1 dan 4.
  10. ^ a b c Bentham, 1970: bab 1 dan 4.
  11. ^ a b Salmond, 1966: 60-65.