Perkembangan seni pertunjukan di Indonesia
Seni pertunjukan dari masa ke masa berkembang sesuai kondisi masyarakat. Perkembangan politik, agama, pemerintahan, gaya hidup, dan kemajuan teknologi juga berpengaruh terhadap perkembangan seni pertunjukan.
Pada zaman dahulu, seni pertunjukan itu bersifat sederhana, sebelum ada gamelan iringan yang digunakan hanya sorak-sorai, tepukan tangan, bebatuan atau benda-benda alam lainnya. Pertunjukan dilaksanakan di altar dengan bentuk penonton melingkar. Tanpa adanya kelas bagi penonton. Dilakukan oleh masyarakat sekitar. Cerita atau gerakan diperoleh dari contoh orang sebelumnya. Tidak menggunakan naskah atau perencanaan secara detail dan pola cerita tetap.
Perkembangan masa kerajaan Hindu-Budha
[sunting | sunting sumber]Pada masa kerajaan Hindu-Budha, seni pertunjukan terbagi menjadi seni pertunjukan untuk rakyat jelata atau tradisional dan seni pertunjukan di kalangan keraton. Di keraton, bahasa yang digunakan lebih halus. Bukan menggunakan bahasa sehari-hari. Mempunyai aturan yang sangat ketat bahasa antar tokoh. Contohnya bahasa klasik puja-sastra (wayang orang). Dipertunjukkan hanya dikhususkan untuk orang-orang yang berada di dalam keraton, tidak untuk khalayak ramai.[1]
Perkembangan masa penyebaran Islam
[sunting | sunting sumber]Pada masa penyebaran agama Islam, seni pertunjukan dipakai sebagai alat untuk mengumpulkan masyarakat. Seni pertunjukan disipi khotbah tentang ajaran agama. seni pertunjukan yang bisa disisipi ajaran agama ada seni tari dan wayang kulit.[2]
Perkembangan masa penjajahan
[sunting | sunting sumber]Pada masa penjajahan Jepang, seni pertunjukan dilakukan secara bebas, bahkan di Semarang dapat ditemui orang yang mengamen menggunakan boneka potehi di mana-mana.[3] Oleh masyarakat Kalimantan Timur, seni pertunjukan digunakan sebagai alat untuk menyamarkan latihan gerakan bela diri. Jurus pencak silat disamarkan menjadi gerakan-gerakan tari agar tetap bisa berlatih.[4]
Perkembangan saat ini
[sunting | sunting sumber]Cerita yang disampaikan sudah bertema sangat luas sesuai perkembangan zaman dan lebih mementingkan karya pribadi seseorang. Menggunakan perencanaan secara detail serta Menggunakan kecanggihan teknologi sesuai perkembangan. Interaksi antara penonton tidak secara langsung. Pelaku bukan lagi masyarakat setempat.[5]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Basuki, Ribut. Penelitian Seni Pertunjukan. Rajawali Pers.
- ^ drs.h.moh Suryana, Drs Anwar Kurnia. Sejarah SMP kelas 7.
- ^ Redaksi Majalah Adiluhung. "Wayang, Keris, Batik dan Kuliner Tradisional". Majalah Adiluhung.
- ^ Satyawati Surya, Kiftiawati, Asril Gunawan. Warisan Budaya Kalimantan Timur. hlm. 76.
- ^ https://books.google.co.id/books?id=sFKeEAAAQBAJ&pg=PA75&dq=ciri+seni+pertunjukan+zaman+sekarang&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjCn6aWl6j-AhXq8DgGHYcSDXQQ6AF6BAgHEAI#v=onepage&q=ciri%20seni%20pertunjukan%20zaman%20sekarang&f=falseLenong: Masa Lampau, Masa Kini dan Masa Depan - Komedi Betawi
Syaiful Amri, Syaiful. Masa Lampau, Masa Kini dan Masa Depan - Komedi Betawi. line feed character di
|last=
pada posisi 307 (bantuan)