Pita Maha: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Pinerineks (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Pinerineks (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Pita Maha''' adalah gaya dan gerakan [[seni lukis]] yang semula tumbuh dan berkembang di desa [[Ubud]], dan kemudian menyebar  ke daerah lainnya di [[Bali]]. Seni lukis yang berakar dari seni lukis klasik tradisional, mendapat sentuhan seni lukis barat, memiliki  corak dan gaya tersendiri yang khas dan unik, dilanjutkan oleh generasi penerusnya sampai sekarang, sebagai seni lukis gaya Ubud.<ref>{{Cite web|url=https://www.isi-dps.ac.id/berita/kajian-estetis-seni-lukis-gaya-pita-maha-2/|title=Kajian Estetis Seni Lukis Gaya Pita Maha|website=www.isi-dps.ac.id|access-date=2018-12-06}}</ref> Tujuan utama dari gerakan seni ini adalah untuk menjaga standar artistik yang tinggi dan untuk mencegah para seniman untuk melakukan produksi massal terhadap karya seni mereka.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=JlcL6HeY-uAC&pg=PA202&dq=pita+maha&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjXy_aH24vfAhUFuo8KHWeeAMUQ6AEIQTAE#v=onepage&q=pita%20maha&f=false|title=The Rough Guide to Bali and Lombok|last=Reader|first=Lesley|last2=Ridout|first2=Lucy|date=2002|publisher=Rough Guides|isbn=9781858289021|language=en}}</ref>
'''Pita Maha''' adalah gaya dan gerakan [[seni lukis]] yang semula tumbuh dan berkembang di desa [[Ubud]], dan kemudian menyebar ke daerah lainnya di [[Bali]]. Seni lukis yang berakar dari seni lukis klasik tradisional, mendapat sentuhan seni lukis barat, memiliki  corak dan gaya tersendiri yang khas dan unik, dilanjutkan oleh generasi penerusnya sampai sekarang, sebagai seni lukis gaya Ubud.<ref>{{Cite web|url=https://www.isi-dps.ac.id/berita/kajian-estetis-seni-lukis-gaya-pita-maha-2/|title=Kajian Estetis Seni Lukis Gaya Pita Maha|website=www.isi-dps.ac.id|access-date=2018-12-06}}</ref> Tujuan awal dari gerakan seni ini adalah untuk menjaga standar artistik yang tinggi dan untuk mencegah para seniman untuk melakukan produksi massal terhadap karya seni mereka.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=JlcL6HeY-uAC&pg=PA202&dq=pita+maha&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjXy_aH24vfAhUFuo8KHWeeAMUQ6AEIQTAE#v=onepage&q=pita%20maha&f=false|title=The Rough Guide to Bali and Lombok|last=Reader|first=Lesley|last2=Ridout|first2=Lucy|date=2002|publisher=Rough Guides|isbn=9781858289021|language=en}}</ref>


Karya-karya seni bergaya Pita Maha pada saat sekarang masih dipajang di [[Museum Puri Lukisan]] Ratna Warta di Ubud, sampai sekarang memiliki koleksi 227 lukisan dan 105 karya patung.
Karya-karya seni bergaya Pita Maha pada saat sekarang masih dipajang di [[Museum Puri Lukisan]] Ratna Warta di Ubud, sampai sekarang memiliki koleksi 227 lukisan dan 105 karya patung.

Seniman yang mengakrabi Gaya Ubud antara lain adalah I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Gusti Ketut Kobot, I Dewa Putu Bedil, Ida Bagus Nadera, Ida Bagus Rai, dll.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Zuliati|first=Zuliati|date=2016-04-29|title=Kelompok Pita Maha: Gerak Menuju Seni Lukis Modern Bali|url=http://journal.isi.ac.id/index.php/JOUSA/article/view/1479|journal=Journal of Urban Society's Arts|volume=3|issue=1|pages=44–53|doi=10.24821/jousa.v3i1.1479|issn=2355-214X}}</ref>

== Asal kata ==
Pita Maha berasal dari [[bahasa Kawi]] yang mempunyai arti ''“grand ancestor(s)”'' atau nenek moyang.<ref name=":1" />


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Pada tahun 1930-an, Bali ramai oleh pelancong [[Eropa]] dan [[Amerika]]. Pelancong-pelancong ini kemudian membeli banyak karya seni asli Bali. Sebagai akibatnya, jumlah seniman dan pengrajin di Bali semakin banyak. Akan tetapi hal ini kemudian membuat karya seni Bali turun kualitasnya karena para seniman dan pengrajin tersebut hanya mencari penjualan dan jalan mudah memproduksi karya seni, seperti imitasi picisan.
Pada tahun 1930-an, Bali ramai oleh pelancong [[Eropa]] dan [[Amerika]]. Pelancong-pelancong ini kemudian membeli banyak karya seni asli Bali. Sebagai akibatnya, jumlah seniman dan pengrajin di Bali semakin banyak. Akan tetapi hal ini kemudian membuat karya seni Bali turun kualitasnya karena para seniman dan pengrajin tersebut hanya mencari penjualan dan jalan mudah memproduksi karya seni, seperti imitasi picisan.


Untuk memerangi penurunan mutu ini, seorang bangsawan Bali, [[Cokorda Gede Agung Sukawati]] berkerja sama dengan arsitek dan juru ukirnya, [[Gusti Nyoman Lempad]], dan dengan bantuan rekanan pelukis mancanegaranya, [[Walter Spies]] dan [[Rudolf Bonnet|Rudolf Bonet]]. Empat seniman ini memprakarsai gerakan seni Pita Maha di Ubud pada tahun 1936.
Untuk memerangi penurunan mutu ini, seorang bangsawan Bali, [[Cokorda Gede Agung Sukawati]] berkerja sama dengan arsitek dan juru ukirnya, [[Gusti Nyoman Lempad]], dan dengan bantuan rekanan pelukis mancanegaranya, [[Walter Spies]] dan [[Rudolf Bonnet|Rudolf Bonet]]. Empat seniman ini memprakarsai gerakan seni Pita Maha di Ubud pada tahun 29 Januari 1936.


Pertemuan mingguan dilakukan perkumpulan ini di rumah Walter Spies di Campuhan. Dalam enam tahun, anggota Pita Maha mencapai 150 pelukis, pengukir dan pematung. Di antara mereka bahkan datang dari desa yang jauh, seperti di [[Sanur, Denpasar Selatan, Denpasar|Sanur]]. Namun, kebanyakan dari desa tetangga, seperti Nyuhkuning, [[Padangtegal, Ubud|Padang Tegal]] dan Pengosekan.
Pertemuan mingguan dilakukan perkumpulan ini di rumah Walter Spies di Campuhan. Dalam enam tahun, anggota Pita Maha mencapai 150 pelukis, pengukir dan pematung. Di antara mereka bahkan datang dari desa yang jauh, seperti di [[Sanur, Denpasar Selatan, Denpasar|Sanur]]. Namun, kebanyakan dari desa tetangga, seperti Nyuhkuning, [[Padangtegal, Ubud|Padang Tegal]] dan Pengosekan.


Para seniman diarahkan untuk menjelajahi tema-tema dan subjek-subjek baru dalam karyanya, khususnya yang [[Sekularisme|sekuler]], dan untuk memberikan ekspresi sepenuhnya untuk interprestasi pribadi mereka.<ref name=":0" />
Para seniman diarahkan untuk menjelajahi tema-tema dan subjek-subjek baru dalam karyanya, khususnya yang [[Sekularisme|sekuler]], dan untuk memberikan ekspresi sepenuhnya untuk interprestasi pribadi mereka.<ref name=":0" />

Spies dan Bonnet hidup di tengah masyarakat Ubud di bawah naungan puri. Melalui dukungan dari Tjokorda Agung Sukawati, Bonnet dan Spies yang dianggap sebagai “guru” oleh seniman tradisional Bali, lebih mudah masuk dan diterima oleh seniman setempat. Karya Spies dan Bonnet kemudian dijadikan panutan sehingga memunculkan karya-karya turunan Spies dan Bonnet yang sampai saat ini banyak terlihat di daerah Ubud, Batuan, dan Sanur. Menciptakan gaya yang disebut Gaya Ubud, Gaya Batuan, dan Gaya Sanur.<ref name=":1" />


== Polemik ==
== Polemik ==
Beberapa antropolog dan sejarawan seni mengkritik gerakan Pita Maha terlalu [[Kolonialisme|kolonialis]] dengan mempengaruhi warisan kesenian Bali dengan gagasan dan teknik artistik Barat. Di sisi lain, pendapat lainnya memandang Pita Maha sebagai suatu gerakan yang krusial untuk melestarikan kesenian lokal yang terancam.<ref name=":0" />
Beberapa antropolog dan sejarawan seni mengkritik gerakan Pita Maha sebagai gerakan yang terlalu [[Kolonialisme|kolonialis]] dengan mempengaruhi warisan kesenian Bali yang sudah mapan dengan gagasan dan teknik artistik Barat.<ref name=":0" /> Pengaruh Spies dan Bonnet tampak dalam pengolahan komposisi lukisan yang lebih dinamis, penggarapan perspektif, dan pengayaan warna. Dalam hal ini juga mulai diperkenalkan dengan bahan-bahan melukis yang didatangkan dari Belanda seperti tempera, cat air, dan cat minyak. Pengaruh tersebut terlihat dari mulai dikenalnya teknik [[chiaroscuro]] (gradasi gelap terang) khas Spies dan anatomi khas Bonnet.<ref name=":1" />

Di sisi lain, pendapat lainnya memandang Pita Maha sebagai suatu gerakan yang krusial untuk melestarikan kesenian lokal yang terancam.<ref name=":0" />


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==

Revisi per 6 Desember 2018 18.04

Pita Maha adalah gaya dan gerakan seni lukis yang semula tumbuh dan berkembang di desa Ubud, dan kemudian menyebar ke daerah lainnya di Bali. Seni lukis yang berakar dari seni lukis klasik tradisional, mendapat sentuhan seni lukis barat, memiliki  corak dan gaya tersendiri yang khas dan unik, dilanjutkan oleh generasi penerusnya sampai sekarang, sebagai seni lukis gaya Ubud.[1] Tujuan awal dari gerakan seni ini adalah untuk menjaga standar artistik yang tinggi dan untuk mencegah para seniman untuk melakukan produksi massal terhadap karya seni mereka.[2]

Karya-karya seni bergaya Pita Maha pada saat sekarang masih dipajang di Museum Puri Lukisan Ratna Warta di Ubud, sampai sekarang memiliki koleksi 227 lukisan dan 105 karya patung.

Seniman yang mengakrabi Gaya Ubud antara lain adalah I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Gusti Ketut Kobot, I Dewa Putu Bedil, Ida Bagus Nadera, Ida Bagus Rai, dll.[3]

Asal kata

Pita Maha berasal dari bahasa Kawi yang mempunyai arti “grand ancestor(s)” atau nenek moyang.[3]

Sejarah

Pada tahun 1930-an, Bali ramai oleh pelancong Eropa dan Amerika. Pelancong-pelancong ini kemudian membeli banyak karya seni asli Bali. Sebagai akibatnya, jumlah seniman dan pengrajin di Bali semakin banyak. Akan tetapi hal ini kemudian membuat karya seni Bali turun kualitasnya karena para seniman dan pengrajin tersebut hanya mencari penjualan dan jalan mudah memproduksi karya seni, seperti imitasi picisan.

Untuk memerangi penurunan mutu ini, seorang bangsawan Bali, Cokorda Gede Agung Sukawati berkerja sama dengan arsitek dan juru ukirnya, Gusti Nyoman Lempad, dan dengan bantuan rekanan pelukis mancanegaranya, Walter Spies dan Rudolf Bonet. Empat seniman ini memprakarsai gerakan seni Pita Maha di Ubud pada tahun 29 Januari 1936.

Pertemuan mingguan dilakukan perkumpulan ini di rumah Walter Spies di Campuhan. Dalam enam tahun, anggota Pita Maha mencapai 150 pelukis, pengukir dan pematung. Di antara mereka bahkan datang dari desa yang jauh, seperti di Sanur. Namun, kebanyakan dari desa tetangga, seperti Nyuhkuning, Padang Tegal dan Pengosekan.

Para seniman diarahkan untuk menjelajahi tema-tema dan subjek-subjek baru dalam karyanya, khususnya yang sekuler, dan untuk memberikan ekspresi sepenuhnya untuk interprestasi pribadi mereka.[2]

Spies dan Bonnet hidup di tengah masyarakat Ubud di bawah naungan puri. Melalui dukungan dari Tjokorda Agung Sukawati, Bonnet dan Spies yang dianggap sebagai “guru” oleh seniman tradisional Bali, lebih mudah masuk dan diterima oleh seniman setempat. Karya Spies dan Bonnet kemudian dijadikan panutan sehingga memunculkan karya-karya turunan Spies dan Bonnet yang sampai saat ini banyak terlihat di daerah Ubud, Batuan, dan Sanur. Menciptakan gaya yang disebut Gaya Ubud, Gaya Batuan, dan Gaya Sanur.[3]

Polemik

Beberapa antropolog dan sejarawan seni mengkritik gerakan Pita Maha sebagai gerakan yang terlalu kolonialis dengan mempengaruhi warisan kesenian Bali yang sudah mapan dengan gagasan dan teknik artistik Barat.[2] Pengaruh Spies dan Bonnet tampak dalam pengolahan komposisi lukisan yang lebih dinamis, penggarapan perspektif, dan pengayaan warna. Dalam hal ini juga mulai diperkenalkan dengan bahan-bahan melukis yang didatangkan dari Belanda seperti tempera, cat air, dan cat minyak. Pengaruh tersebut terlihat dari mulai dikenalnya teknik chiaroscuro (gradasi gelap terang) khas Spies dan anatomi khas Bonnet.[3]

Di sisi lain, pendapat lainnya memandang Pita Maha sebagai suatu gerakan yang krusial untuk melestarikan kesenian lokal yang terancam.[2]

Catatan kaki

  1. ^ "Kajian Estetis Seni Lukis Gaya Pita Maha". www.isi-dps.ac.id. Diakses tanggal 2018-12-06. 
  2. ^ a b c d Reader, Lesley; Ridout, Lucy (2002). The Rough Guide to Bali and Lombok (dalam bahasa Inggris). Rough Guides. ISBN 9781858289021. 
  3. ^ a b c d Zuliati, Zuliati (2016-04-29). "Kelompok Pita Maha: Gerak Menuju Seni Lukis Modern Bali". Journal of Urban Society's Arts. 3 (1): 44–53. doi:10.24821/jousa.v3i1.1479. ISSN 2355-214X.