Lompat ke isi

Verstek: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
NFarras (bicara | kontrib)
k Added {{Copy edit}} tag (Tuwingkel πŸ—Ώ)
Baris 1: Baris 1:
{{Merge|In absentia|date=Agustus 2021}}
{{Copy edit|date=Agustus 2021}}
{{Copy edit|date=Agustus 2021}}
Dalam penulisan terdapat istilah β€œ'''hukum acara tanpa hadir'''”<ref>{{Cite book|last=Muhammad|first=Abdulkadir|date=1992|title=Hukum Acara Peradata Indonesia|location=Bandung|publisher=Citra Aditya Bakti|url-status=live}}</ref> sedangkan menurut Soepomo menyebut dengan β€œ'''acara luar hadir'''” '''''(verstek''')''.<ref>{{Cite book|first=Soepomo|date=1993|title=Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri|location=Jakarta|publisher=Pradnya Paramita|url-status=live}}</ref> Mengenai persoalan dalam ''verstek'' tidak terlepas dengan ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 77Rv) dan Pasal 125 ayat (1) HIR (Pasal 73 Rv) dengan penjelasan sebagai berikut:
Dalam penulisan terdapat istilah β€œ'''hukum acara tanpa hadir'''”<ref>{{Cite book|last=Muhammad|first=Abdulkadir|date=1992|title=Hukum Acara Peradata Indonesia|location=Bandung|publisher=Citra Aditya Bakti|url-status=live}}</ref> sedangkan menurut Soepomo menyebut dengan β€œ'''acara luar hadir'''” '''''(verstek''')''.<ref>{{Cite book|first=Soepomo|date=1993|title=Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri|location=Jakarta|publisher=Pradnya Paramita|url-status=live}}</ref> Mengenai persoalan dalam ''verstek'' tidak terlepas dengan ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 77Rv) dan Pasal 125 ayat (1) HIR (Pasal 73 Rv) dengan penjelasan sebagai berikut:

Revisi per 19 Agustus 2021 05.16

Dalam penulisan terdapat istilah β€œhukum acara tanpa hadir”[1] sedangkan menurut Soepomo menyebut dengan β€œacara luar hadir” (verstek).[2] Mengenai persoalan dalam verstek tidak terlepas dengan ketentuan Pasal 124 HIR (Pasal 77Rv) dan Pasal 125 ayat (1) HIR (Pasal 73 Rv) dengan penjelasan sebagai berikut:

1.      Pasal 124 HIR, Pasal 77 Rv, Dalam hal mengatur Verstek kepada penggugat[3]

Pasal di atas menjelaskan dalam hal hakim berwenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadir penggugat dengan syarat diantaranya:

  • Apabilan penggugat tidak hadir pada sidang dengan tanpa alasan yang sah;
  • Pada peristiwa tersebut, maka hakim berwenang dalam hal memutus perkara tanpa hadirnya penggugat yang disebut putusan verstek, dalam hal ini memuat diktum sebagai berikut:
  1. Membebaskan tergugat dari perkara tersebut;
  2. Menghukum penggugat membayar biaya perkara;
  • Dalam putusan verstek tersebut maka penggugat tidak dapat mengajukan perlawanan atau verzet maupun upaya banding dan kasasi, sehingga dalam hal ini terhadap putusan tertutup upaya hukum;
  • Dalam upaya yang dilakukan penggugat dengan mengajukan kembali gugatan tersebut sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara.

2.      Pasal 125 Ayat (1) HIR, Pasal 78 Rv, Mengatur Verstek terhadap Tergugat[3]

Pasal di atas menjelaskan dalam hal hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya tergugat, dengan syarat diantaranya:

  • Dalam hal tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan dengan tanpa alasan yang sah;
  • Hal tersebut, hakim menjatuhkan putusan verstek berisi diktum sebagai berikut:
  1. Mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau
  2. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum.

Tujuan

Tujuan verstek dalam hukum acara dalam hal ini bertujuan untuk mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga dalam proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindari dari hal anarki atau kesewenangan. Dalam hal memperhatikan akibat buruk yang mungkin akan terjadi dalam hal ini apabila keabsahan proses pemeriksaan digantungkan atas kehadiran para pihak atau tergugat, sehingga undang-undang perlu mengantisipasinya dengan memalui acara pemeriksaan verstek.[3]

Referensi

  1. ^ Muhammad, Abdulkadir (1992). Hukum Acara Peradata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 
  2. ^ Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita. 1993. 
  3. ^ a b c Harahap, M. Yahya (2006). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.